Penulis: Frater Ino Mori, SVD. (Frater TOP Seminari Petrus van Diepen)

Setiap tindakan mengandung dua kemungkinan yaitu salah atau benar. Dalam pengertian sederhana salah berarti ketidaksesuaian antara pikiran dan realitas, sebaliknya benar adalah kesesuaian antara pikiran dan realitas.

Kita perlu melihat salah sebagaimana pengertian di atas. Orang dikatakan salah ketika bertindak tidak sesuai dengan pikiran dan realitas, atau bertindak di luar kebiasaan kebiasaan universal. Sebagai contoh “Menjadi kebiasaan umum bahwa mengendarai sepeda motor harus memakai helm, ketika orang tidak memakai helm maka orang tersebut telah berbuat salah atau dikatakan salah.”

Benarkah si pengendara sepeda motor salah? Alasan klasik adalah nanti kalau jatuh bisa meninggal. Jika alasan demikian perlu ada pertanyaan lanjutan, kalau pengendara meninggal apa hubungan dengan pihak keamanan (polisi lalu lintas), atau jangan -jangan negara merasa rugi karena kehilangan pembayar pajak bagi negara. Tampaknya sangat merasionalisasikan kenyataan. Namun, dalam konteks salah-benar tindakan dan pertanyaan ini perlu diajukan.

Kembali pada soal salah. Manusia dengan kemampuan akal budi perlu mencari sebab-sebab kesalahan, bukan mencari-cari kesalahan. Kesalahan bukan hanya tindakan di luar batas kebiasaan yang lazim namun, perlu penyelidikan terhadap kesalahan- kesalahan dengan mengajukan pertanyaan yang lebih relevan; “Apa yang dibuat sehingga salah, mengapa dia berbuat salah”. Dengan mengajukan pertanyaan tersebut orang dapat menemukan jawaban yang lebih rasional dan persoalan tidak menjadi pelik, juga Tidak mudah menghakimi.

Penyelidikan terhadap kesalahan juga dapat membuka peluang untuk menemukan solusi terbaru yang kiranya dapat membantu untuk menemukan alternatif yang mungkin sedikit lebih baik walaupun belum tentu benar. Sebab, Baik Belum Tentu Benar, Benar Belum Tentu Baik

Ketika manusia mengabaikan sikap mencari sebab-akibat, yang muncul justru kebencian, amarah, merasa benar sendiri dan berprasangka buruk terhadap yang lain. Bahaya terbesar dari sikap ini ialah membenci orang secara personal yang melakukan kesalahan.

Sikap Yesus terhadap perempuan berzinah kiranya relevan terhadap soal-soal di atas. Akupun tidak menghukum engkau, Yesus tidak menghukum perempuan berzinah, tapi tidak membenarkan perbuatannya . Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi (bdk. Yoh. 8:11).

Refleksi ini kiranya membuka pikiran dan hati kita untuk melihat realitas secara jernih agar tidak mudah menghakimi kesalahan apalagi membenci orang yang berbuat salah. Falsafah Budha ini penting adanya . Kebencian tidak akan berhenti dengan kebencian lagi, hanya dengan cinta, ia adalah aturan yang abadi juga tidak membenarkan perbuatan salah

 

Share this Link

Comments are closed.