CERPEN – Daeng Ipul menulis perjalanan bertemu dengan orang-orang wilayah adat meepago, khususnya di Enagotadi Paniai, ada delapan judul yang saya ketemu di blog pribadinya. Daeng Ipul menulis saat Ia memulai lintas dari Nabire. Dia punya tulisan gaya travelin yang enak dibaca dan dipahami, seperti Agustinus Wibowo dalam buku ”Garis Batas”, Eric Weiner dalam buku ”Man Sekeks God, Levison Wood dalam buku ”Arabia”, Pedro Tafur dalam buku ”Wajah Eropa Abab Ke-15” dan Sigit Susanto dalam buku ”Menyurusi Lorong-Lorong Dunia”
Daeng Ipul menulis sangat humanis, berhati-hati dan detail data dengan dialog khas Papua yang deskriptif dan informatif dari dekat. Saya coba ikut belajar menulis seperti Daeng Ipul dalam blognya atau belajar menjadi orang-orang yang saya sebut diatas. Ada beberapa cerita lama waktu saya bocah ingusan datang dalam kepala ketika kembali menginjak Enagotadi Paniai, lebih khususnya di wilayah Kampung Awabutu dan Kampung Dagouto. Dua kampung yang berhubungan melalui jalan perahu tradisional (meekoma) sebelum tahun 2016. Awabutu bagian sudut kecil dari kota Enagotadi (ibu kota Kabupaten Paniai), kota yang cukup tua (1938). Dusun yang membagi beberapa cerita kecil dalam ingatan.
Dagouto, kampung di ujung kaki bukit Wegee, ujung kaki kecil dari puncak Tembagapura, kampung tanjung yang indah di kelilingi sungai Eka yang bersambung dengan danau Paniai. Kampung Dagouto mengukir banyak kisah. Waktu bocah (5-7 thn), saya ikut Mama Almarhuma Gobadama dan Mamade Gobai, berjualan kacang tanah di Pasar Enagotadi Paniai bertemu dengan kampung Awabutu dalam pasar setelah bermalam di kampung Dagouto.
Beraktivitas pagi di lorong jalan kota Enagotadi. Berjalan santai melipat tangan dalam jaket tebal dengan diam, saya sudah tidak mengenal orang-orang saling lewat dijalan, mungkin kita saling kenal tapi kita sudah banyak berubah. Tapi ada ruang yang kita saling ingat, semua cerita berlari datang dalam pikiran tanpa saya harus memanggil dengan paksa. Seperti tayangan film diputar kembali. Seakan mereka dan mama Almarhumah dan Mamade bercerita dengan saya, tapi mereka tidak ada.
Setiap lorong jalan mengingatkan saya pada cerita sederhana yang natural. Banyak yang telah berubah karena perkembangan pikiran manusia yang umumnya selalu berubah dari waktu ke waktu, seperti proses hidup orang Eropa sebelum lagos diandalkan, atau berpisah dengan mitos. Ruang hidup kota pun berubah ikut manusia yang selalu bergerak,seperti pasar sentral yang dulu depan Bandara Udara ”Awetako Ena Agapida” berpindah arah danau, dan juga lapangan Soeharto berubah menjadi lapang tanah liat dengan empat kuburan korban penembakan Paniai berdarah (8 Desember 2014) berjejer arah timur depan Kantor Koramil 02 Enagotadi.
Waktu mengubah segalanya, seperti manusia kepada kota. Awabutu dan Dagouto; kami berlari di lapangan terbang menyaksikan pesawat Ama, Maff dan Trigana Air ambil napas untuk terbang diatas bukit Bobaigo seperti burung putih besar tinggalkan pohon. Saya menyaksikan pertandingan sepakbola di lapangan Soeharto antara kampung, kami ikut bermain bertelanjang kaki setelah pertandingan dewasa usai. Malam datang membawa dingin dan kami pulang.
Ikut mencari ikan di Danau Paniai dengan berbagai cara, memancing, jalah dan menangkap dengan tangan saat air naik. Sekarang sudah berubah dan saya tidak melihat anak-anak mencari ikan dengan cara seperti dulu, mungkin ada cara lain menghabiskan waktu bermain yang lain. Semua manusia pernah menjadi bocah ingusan dan memiliki cara berteman dengan lingkungan. Dagouto dan Awabutu dalam cerita saya tidak usai dengan pengetahuan baru setelah dewasa dengan kota.
Letak matahari datang dan pergi tidak berubah dari dahulu saya bocah ingusan hingga dewasa. Itulah salah satu hukum Tuhan yang tidak berkesudahan. Berubah. Hanya manusia yang berubah dengan banyak sebab dan akibat. Matahari selalu terbit diatas pundak bukit yang membatasi wilayah Intan Jaya, Tembagapura dan Puncak, diatas Enagotadi Paniai, dusun Kopo dan dusun Madi hingga menghilang diatas bukit Paniai Barat dengan senja kecil yang meredup tinggalkan negeri Wissel Meren yang dingin (27C)
Berdiri di samping kios yang berdekatan dengan Apotik diantara barisan rumah. Dulu rumah tidak banyak tapi sekarang telah bersusun, ujung kios yang berbaris dibelakang bandar udara. Depan pasar lama. Saya ingat, tempat ini saya sering kaget melihat dua manusia sakit jiwa tidur bangun menjadikan rumah. Tempat yang saya pernah tidur siang, menunggu mamade dan mama berjualan ikan dan kacang diambil di Tibai Mapia dan ikan danau Paniai. Pasar dipenuhi manusia Paniai dari banyak dusun dan kampung. Pasar sudah lebih ramai, mungkin karena orang-orang lebih mudah dapat uang untuk kembali ke pasar dan kembali lagi. Pulang balik.
Datang pagi buta dari kampung Dagouto menggunakan perahu tradisional milik mamade, sampai di dermaga tanah dan kayu buah di dusun, dusun Awabutu. Dalam perjalan, saya duduk depan perahu memeluk tubuh dingin sambil makan ubi bakar dan ikan mujaer bakar dengan gaya rakus. Setiap hari saya makan ikan, udang dan ubi bakar. Dulu saya tidak melihat ikan gabus dan udang yang bergizi dan tebal, sekarang saya bertemu di pasar, lebih banyak yang telah berubah;.ada udang dan ikan gabus. Seperti saya yang telah berubah dari bocah kecil menjadi pria gemuk.
Depan kios, saya menunggu none (keponakan) Hengki Gobai, akan pergi ke kampung Dagouto melalui jalan berbatu. jalan baru ini sering disebut (idiom) ”jalan tidak tau malu” karena orang kadang mandi di pinggir jalan tanpa malu dengan orang yang melintas. Jalan tersambung dibangun pada tahun 2016 sampai ke kampung Dagauto dan seterusnya, sebelumnya orang hanya menggunakan speedboat dan perahu tradisional. Orang mencari uang berubah dari lebih banyak speed boat ke kendaraan roda empat dan dua.
Berdiri depan kios setelah belanja aqua, sambil minum santai dipinggir jalan menuju bandar udara; pikiran saya di hampiri dua orang gila bernama Bemude Degei dan Pikopi Pigai, dua orang gila yang menjadi akrap dalam ingatan saya. Setiap hari di pasar. Mama suka beri mereka kacang tanah dan ubi kalau mereka mampir dekat jualan, lebih kepada Bemude. Sebagai bocah yang lugu, saya perna takut, tapi Mama bilang jangan takut, tidak papa, seakan semua mama mengajarkan keberanian berkelahi dengan waktu dikemudian hari sudah semakin kritis pada moralitas hidup.
Hari ini, hidup harus kuat dengan banyak gaya hidup yang menjadi cobaan setiap saat. Kita yang dulu harus lebih baik dari kemarin dan akan datang. Mungkin sekarang ini juga, kita suka saling marah karena banyak informasi datang melalui banyak medium, nilai sosial jadi biasa, tidak seperti dulu karena waktu terus mengubah manusia karena perdebatan pemikiran manusia ikut mempengaruhi. Bukan saja manusia tapi ruang kota, ruang lingkungan dan alam, tapi Manusia adalah titik tolak dari semua isi bumi yang hidup.
“Setelah sebuah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali. Segala sesuatu adalah gerak, namun bukan oleh tenaga….. Gerak itu alami, mengalir spontan. Karena itulah pergantian menjadi mudah. Yang lama berakhir, yang baru terlahir. Keduanya berlangsung dalam saat yang telah ditentukan, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan,” ___I Ching (buku titik balik peradaban)
Catatan ini hanya sebuah coretan perjalanan yang tersimpan pada tahun yang lalu. Semacam sedikit berjalan kembali mengingat masa lalu yang belum banyak berubah dari zaman yang datang tanpa permisi hari ini. Melihat perubahan. Apapun perjalanannya, saya selalu anggap sebuah perjalanan yang penting, seperti kata Santo Agustinus, ”Dunia ini seperti sebuah buku; mereka yang tidak melakukan perjalanan hanya membaca satu halaman”
Zaman tidak samua buruk kalau manusia tidak menjadi filter, ada yang memang harus berubah ikut zaman tapi ada yang tidak, dan kita mesti bersama menjaga mati-matian demi keberlangsungan hidup hari ini dan kedepan dikemudian hari. Dua kampung penting bagi ingatan saya, Dagouto dan Awabutu. Untuk orang-orang disana tetap kuat dan bermimpi menang. Terimakasih sudah ingatkan saya pada memory lama dan memberikan saya energi positif depan kios sebelum pasar lama Awabutu dan makasih untuk perjalanan ini.
“Perjalanan membuat takjub, lalu mengubahmu menjadi pencerita,” __Ibnu Batutah
(Nomen Douw)