NABIRE – Tepih laut Teluk Umar yang teduh menyambut kami dengan sepih selain suara ombak. Menyepi dengan teduh pada bibir pasir abu-abu. Dermaga berdaun seng terpisah dengan batas laut; memanjang diatas muara kali kecil berair jernih mengalir dari darat bertemu dengan permukaan laut asing yang berwarna seperti kopi susu. Ada tiga pemuda menyambut kami menuju rumah pastori samping gereja yang atapnya meruncing tajam pada langit.
Rumah-rumah warga kebanyakan terbuat bermodal kayu besi dan kayu putih; berjejer pinggir di jalan semen utama berpetak kotak berbentuk simbol pagar, ada pohon berbuah dan tidak berbuah bertumbuh sembarang tempat, ada ayam piara dan anjing kurus dibibir pantai dan ruas rumah.
Dibawah atap rumah kayu putih bercat biru putih. Kaget dengan angin membawa dingin sore dalam rumah. Dengan cara santai, kami sedang menyambut malam di rumah kampung Goni. Saya dan Christian Dogopia baru bangun setelah tidur tiga jam di rumah guru kontrak SD YPK Ottow Geisler Goni Distrik Teluk Umar Nabire Papua Tengah. Teman guru, kita saling kaget setelah sekian tahun waktu memisahkan kita dengan aktivitas masing-masing.
“nay bangun minum kopi,” suara pak guru Viktor Waku membagunkan saya dan Christian Dogopia dari tidur panjang yang nyenyak. Sudah ada kopi dan pisang goreng tanpa tepung depan kami. Sambil menikmati, pak guru bercerita, dia sering bertahan dari lapar hanya dengan pisang goreng kering jika beras habis. Kios kecil hanya dua di kampung Goni. Pak guru curhat tentang transportasi umum ke pusat pemerintahan kabuparen Nabire dari distrik Teluk Umar dengan speatboot jolor. Tidak selalu ada.
Pak guru teman lama saya, kita berkenalan karena sepakbola, perna kami satu tim menjuarai satu iven kompetisi di Nabire Barat SP satu. Terakhir kami bertemu tahun 2017 di kota. Dia selesai dari jurusan guru di KPG Nabire SP satu lalu bertugas di kampung Goni sejak tahun 2017. Dia bercerita persahabatan yang sangat dekat dengan warga Goni selama empat tahun lebih sejak di kontrak menjadi guru di SD YPK Otto Geisler Goni. Dirumahnya menjadi tempat berkumpul pemuda kampung selain siswa-siswinya. Ia jarang pulang ke kota, berbulan-bulan bahkan tahun di kampung Goni walaupun lahir dan besar di kota.
”Anak muda biasa ramai dirumah sini, sa biasa potong dong punya rambut, ini sa punya rambut ini dong yang potong kemarin,” cerita pak guru menunjuk kepalanya sembari kami bertiga bersama Christian Dogopia santai menikmati teh dan kopi masing-masing satu teko sedang. Saya dan pak guru minum kopi hitam, Christian minum teh. Sore yang nikmat setelah perjalanan panjang, istrahat cukup dan setelah bangun minum kopi dengan pisang goreng kering. Sepi yang bermakna dari bunyi kendaraan dan suara hp.
Rumah stengga tembok berwarna coklat dan kuning muda menempel belakan gedung SD, dua pintu, untuk dua guru laki-laki dan dua guru perempuan, dapur kayu berhadapan dengan belakan gedung sekolah, jalan masuk semen hingga sampai pintu rumah berumput di potong rapi, kayu bakar untuk masak diatur pada tempatnya dengan rapih samping dapur. Ruang tamu memanjang luas, ada ruang kecil menyambung hingga dapur untuk masak mengunakan kayu.
Dinding papan rumah ditempel beberapa lukisan murid SD dengan pencil 12 warna, ada juga huruf A-Z ditempel dengan ukuran besar, ada beberapa photo kenangan pak guru waktu SMA-Kuliah ditempel tembok samping pintu yang menghadap hutan. Dilemari ada alat tulis untuk anak-anak, ada kapur tulis dan penghapus, rak paling bawah ada radio tua berkaset tua. Rumah guru yang bersih dan rapi seperti rumah belajar siswa dan siswi; dua kamar satu rumah, seperti asrama guru, tapi juga asrama siswa-siswi.
“kita turun ke laut bawah ka?” ajak pak guru kepada kami berdua. Pisang dan kopi tinggal sedikit setelah bercerita alasan kami datang ke Goni dan cerita lain.
“io, nanti dibawah teman-teman dong cari lagi,” alas Christian Dogopia menyetujui kami pergi ke rumah pastori, rumah yang disediakan warga Goni untuk kami menginap.
Kami tiga berjalan keluar dari rumah melalui pintu keluar dapur, tembus belakan gedung SD. Pak guru menanggung kelas enam SD, tahun lalu Ia berhasil mencetak murid berprestasi dengan ujian nasional dengan nilai yang cukup tinggi, masuk sepuluh besar se-kota Kab. Nabire. Dalam ceritanya, guru aktif ada empat di SD YPK Otto Geisler Goni, ASN (Aparatur Sipil Negara) hanya Ibu guru sebagai kepala sekolah, lebihnya honorer selama 5-10 tahun sampai hari ini masih aktif mengajar, termasuk pak guru Viktor Waku.
Dalam bercerita tentang masalah yang Dia perna alami tapi masyarakat turun tanggan misalnya; Kepala Dinas Pendidikan pernah mau hentikan dari pak guru di SD YPK Otto Geisler tapi masyarakat dengan kompak menahannya untuk tetap menjadi guru di SD YPK Otto Geisler Goni. Masyarakat melihat dia mampu mendidik dan menjadikan siswa-siswi berprestasi. Guru asal Waropen ini bercerita tentang akses keluar dari kampung Goni ke Kota. Aksesnya hanya jalan diatas laut, itu pun jarang ketika speatboat datang dari kota. Kalau tidak Ikut kapal ikan dagang yang berjalan seperti kura-kura.
Berjalan diatas jalan semen utama kampung Goni, rumah warna yang bertenaga tata surya, rumah-rumah yang rapi dan bersih, hanya beberapa sampah plastik, got batu semen kecil seperti kali kecil, air yang bersih dan mengalir dingin. Ada sebagian rumah kayu berpanggung. Dibawa lampu tenaga surya mama asal kampung Goni yang bertugas postu sedang duduk diskusi di teras rumah pastori setelah membantu kami makan malam.
“nay, cass handphone disanakah, ikut mereka dua,” tanya pak guru kepada saya setelah Chiristian dan Angki lewat ke salah satu rumah berlistrik diesel, cass handphone.
“ayo jalan,” balas saya menggiyakan. Sampai di rumah kayu putih diatas panggung, ada Angki sedang berbaring diruang tamu, dua anak berumur 12 tahun sedang duduk santai tidak bersuara, Christian sedang mandi. Samping Angki ada terminal putih dengan lima handphone dalam tali cass, saya ikut mencas handphone. Setelah Christian mandi, saya lanjut mandi dan meminjam handuk.
Rumah yang sederhana tapi mewa, ada beberapa lukisan Yesus pada dinding papan rumah, tv, speaker music aktif dan non aktif, kipas angin berputar depan saya terasah saya kembali ke kota. Dapur ada wanita berbaju biru sedang membersihkan sayur dalam loyang hitam, lakinya ada disumur memegang senter cass, Dia menyiapkan air untuk saya mandi, sumur bersih seperti air minum dalam kemasang, ada lampuh aktif dalam kamar mandi, saya mandi, air dingin, terasah sehat dan segar. Rumah yang rapi seperti rumah-rumah di kota, bahkan kalah. Kayu bakar diletakkan dipondok khusus untuk dikeringkan dengan teratur.
Malam jam 19:00 waktu di Kampung Goni. Keluar sebentar untuk kembali. Chiristian, Angki dan saya Duduk di jalan raya kampung Goni sambil menunggu handphone terisi full, duduk dibawah lampuh utama satu-satunya bertenaga tata surya depan jalan masuk aula gedung desa.
Warga yang sangat ramah, bocah-bocah yang menghargai orang-orang lebih tua, setiap warga dan bocah yang melintasi mereka menyapa dengan ramah setelah kami menyapa lebih dulu dengan kata “Met malam” Goni tanpa jaringan telkomsel tapi internet sudah aktif tahun kemaring. Orang-orang Goni cara berpikir etitutnya sudah maju sebelum Internet aktif.
“telfon tidak bisa, Internet bisa. Kami bisa menyaksikan dunia, Rusia versus Ukraina dan banyak isu kami biasa ikuti dari kami punya kampung kecil ini,” Cerita kepala kampung Goni dirumah pastori di ruang teras, sampin Gereja GBI (Gereja Babtis Indonesia). Sama hal cerita pak guru setelah saya tanya tentang telekomunikasi.
Sore hari, matahari sedang pulang seperti biasa manusia diseluruh dunia menyaksikan sore. Setelah malam berlalu dengan banyak cerita dari warga Goni, kami berpisah di bibir pantai. Kami berfoto untuk berpisah, mesin dan ombak memukul kita lebih dalam, mejauh dari dermaga Goni. Pak Guru melambaikan tanggan dan kami membalas hingga jarak memperkecil pandangan kami. Hilang.
“selamat tinggal dan selamat bertugas kawan,” kata saya setelah kami berfoto bersama di bibir pantai Goni.
“terimakasih juga kawan, luar biasa kalian sudah melayani masyarakat Goni. Tuhan memberkati kamu semua. Hati-hati dijalan, sampai jumpa kawan,” balas pak guru.
(Nomen Douw)