Majalahkribo.com – Hari kamis panas. Saya bertedu untuk pekerjaan kecil, pekerjaan yang mungkin saja saya belajar focus dan belajar kembali bahasa ibu saya dengan teks. Bukan soal baik dan buruk sebuah karya tetapi soal makna suatu karya dapat berguna untuk saya sendiri. Saya harap akan berguna. Bagi kedai drcoffe, saya bukan orang baru yang sedang minum es americano atau sederhananya kopi expreso yang metodenya hanya ditamba air putih.

Duduk dua jam lebih. Panas ditubuh telah berubah dingin. Keringat hilang dalam baju. Pelan-pelan saya belajar menerjemah bahasa dengan hati-hati; satu bahasa di Papua punya banyak perbedaan. Tapi untuk pelajaran ini saya punya definisi. Semoga akan ada diskusi nanti. Pintu ruang drcoffe mengeluarkan suara. Wanita sedikit kurus bertubuh pendek masuk dengan celana hitam batas paha, tubuhnya ditutup hingga kepala dengan sweater abu-abu. Dia memeluk dua buku dekat buah dadanya kecil.

Saya lihat hanya sekilas karena saya fokus pada teks cerpen Franz Kafka (Novelis Austria) berjudul, Sang Penunggang Ember, diterjemahkan oleh Sigit Susanto. Mata saya di layar hp dan tangan kiri jepit pulpen diatas notes. Saya menyalin bahasa Indonesia menjadi bahasa Papua suku Mee Idakebo. Begitu santai sambil minum kopi pahit dingin tanpa gula. Persis seperti seorang seniman memoles gestur dengan hati-hati. Saya memeriksa dan bongkar pasang kata dan kalimat dengan mencoba belajar teliti dengan sabar.

Sebut saja Devi, Ia duduk setelah pesan. Berhadapan dengan posisi saya sedang duduk. Devi sudah letakkan dua buku bacaan dan satu notes diatas meja. Setelah lihat wajah, ternyata Devi; wanita di TikTok, IG, YouTube dan FB. Devi punya banyak pengikut disemua media sosial. Dia membahas tentang buku. Ruang drcoffe seakan berubah saat saya tau kalau itu Devi. Saya langsung kaku, tangan berhenti, otak macam mesin yang macet; semua jiwa berkumpul bergejolak. Dua kali saya berdiri untuk pura-pura telfon; hanya untuk cari suasana yang cocok untuk ajak Devi diskusi.

“Hay Devi” sapaan saya memberanikan diri beri salam. Kita bersalaman. Hanya salam. Mendadak semua kata lari dari saya. Saya duduk lanjut pura-pura kerja kerena tubuh telah kaku. Wanita sedikit kurus ini membawa energi yang nihil, padahal saya menyukai sesuatu yang Devi bangun di media sosial, mungkin saya hanya berlebihan karena Devi artis buku. Diatas meja saya ada dua gelas es americano dan buku bacaan pemikiran modern yang ditulis oleh F. Budi Hardiman (filsuf Indonesia)

Saya kenal wajah Devi di sosmed karena Dia sudah menjadi artis buku, banyak orang termasuk saya suka Dia. Selama duduk, saya pura-pura bekerja serius, padahal dalam pikiran saya sedang memikirkan cara bagaimana saya bisa duduk diskusi dengan Devi. Saya berharap walaupun saya orang asing bagi Dia di ruang drcoffe.

Susah payah saya berhasil keluarkan kata. Kalimat pertanyaan pertama, saya hanya sebut Dia nama untuk bersalaman. Saya percaya Devi bigung dengan saya_mendadak sok kenal, sok tau. Tapi semoga Devi berpikir positif kalau saya hanya ingin diskusi seputar konten media sosial yang Dia buat dan menjadi artis bagi mereka yang menyukai dunia buku. Seperti saya juga.

Pertanyaan pertama, seakan saya tegur Devi untuk persiapan pulang dari drcoffe. Devi baru duduk, menunggu pesanan. Saya berusaha keras memberanikan diri lagi untuk berkata. Pertanyaan kedua, seakan benar-benar saya usir Devi keluar dari drcoffe.

“Kamu kuliah bagaimana?” tanya saya dengan segala keberatan. Dia diam.

”S2 kamu bagaimana di Inggris?” lanjut tanya saya. Dia diam lagi.

“Kamu punya konten bagus-bagus, saya suka,” lanjut saya.

“Makasih kaka,” balas Dia dengan senyum tipis yang kelihatan paksa.

Terlihat tidak aman dengan dua pertanyaan saya. Devi sudah panik. Saya kembali pura-pura kerja lagi. Dia sudah gegas keluar dari drcoffe. Begitu cepat Devi menunggu seseorang di kursi dekat pintu. Dia naik ojek online. Devi dengan saya berpisah karena dua pertanyaan yang mungkin mengganggu pikiran Dia. Mungkin Devi pulang atau pindah cafe karena saya.

Saya berpikir setelah Devi pulang. Apakah saya jahat hanya karena dua pertanyaan itu? Saya jadi bigung dengan dampak dari kita menyukai buku dan membaca; literasi soal buku apa yang Devi keluarkan di TikTok, YouTube, IG dan FB. Mungkin saya terlihat bodoh dihadapan Devi yang bersekolah diluar negeri dan pulang kembali kerja di Indonesia, di lembaga yang berkantor di Jakarta.

Devi sudah lari keluar dari drcoffe, ruangan kembali normal, semua beban pergi ikut Devi naik motor. Pikiran kembali berputar dan tangan kembali berfungsi. Saya lanjut selesaikan pekerjaan kecil yang saya belajar. Semoga cerita ini dibaca dan tidak melihat orang lain dari atas kebawah; tidak semua orang sama dan berbeda. Semoga kita tidak berhenti belajar lagi soal lain. Tentang kita duduk sama rata dan berdiri sama tinggi. Kita adalah moderen sekaligus tradisional.

Akhirnya hipotesa saya, Devi tidak punya buku yang bagus untuk dilahap dalam konten-konten media sosial. Tapi bisa saja, saya yang begitu lucu dengan privasi orang lain. Kalau begitu kita harus minta maaf jika ada hari lain mempertemukan kita yang ketiga kalinya di tempat yang sama. Saat itu juga, saya akan berusaha menjadi robot untuk membunuh semua yang kaku.

Artis menurut KBBI, ahli seni; seniman, seniwati (seperti penyanyi, pemain film, pelukis, pemain dramah) ada beberapa artis yang menulis buku dan karya mereka best seller; seperti Dee Lestari, Fiersa Besari, Ernest Prakasa, Ayudia Bing Slamet. Tapi ada banyak orang yang menjadi artis karena menulis buku yang bagus dan menjadi best seller. Tapi Devi orang yang menjadi artis karena konten yang menarik hanya dari wilayah estetika nihil dan kebetulan Dia membaca buku teks Inggris.

Kedai drcoffe buat saya bertemu dengan keindahan arogan yang pergi dengan cepat disuatu siang. Saya jadi berpikir; teks Inggris dan Lokal sama saja. Juga untuk orang-orang yang bersekolah diluar negeri; sama saja. Hanya suatu keindahan universal yang buat semua orang menikmati sesuatu yang nihil. Tidak ada sesuatu yang baru dari kebanyakan orang. Devi adalah nihil.

Saya tidak bertemu bentuk keindahan yang baru di dunia buku dan aktivitas intelektual selain aktivitas liburan luar negeri. Tidak ada kemungkinan lain seperti beberapa artis Indonesia mampu menulis buku tanpa konten lebih dulu. Semoga Devi akan melukis sejarah dengan konten dengan nihil. Saya juga. Kita juga. Akhirnya, kita hanya melaksanakan aktivitas yang biasa saja dengan berpura-pura belajar dengan waktu yang sama nihil juga.

Mungkin hasilnya kedai drcoffe tidak membuat kita diskusi dengan baik; yang lebih sosial. Hanya punya energy yang sombong dengan konten buku nihil. Kita bertemu di drcoffe waktu siang, sebelum panas siang berlalu hingga sore masuk malam. Semoga kita bertemu lagi tapi tanpa konten buku yang nihil. Devi saya tunggu pertemuan yang ketiga kalinya di drcoffe. Tanpa rencana Tuhan. Saya tunggu dengan lampu.

 

(Nomen Douw. Waena 2024

Share this Link

Comments are closed.