Oleh : Boma Sepi
CERPEN – Bukan berhari-hari. Bukan pula berturut-turut. Tapi sering sekali si Kumis bertemu sama si Suster hanya saat momen-momen tertentu dan pada waktu yang berbeda. Namun, malu-malu untuk hendak memberi-salam.
Kendati mau baku salam konon sukar dan rumit. Hendak ditegur ataupun menegur juga sangat rumit. Senyum-sapa bahkan sama sekali enggan.. Mungkin saja mereka kerap baku harap, siapa yang lebih dulu bakal memulai.
Apalagi bersentuhan sepuluh jari dalam satu tekad untuk hendak saling menjabat tangan terasa terlalu berat. Berucap sepata-kata, saling menyapa ataupun buang suara sembari jalan, itu saja dianggap menjadi pantangan.
Kepada si Kumis ini, laki-laki besar, jenggot panjang yang bukan pemberani tetapi justru pendekap kecemasan, pemalu. Selebih senyum dan ketawa. Konon mirip juga identik sama si Suster, tapi wajarlah, karena Dia itu perempuan.
Sesuatu hal yang sangat memberatkan hati, pikiran walau perasaan enggan terlibat, para dua serangkai ini adalah pemeluk “cemas dan malu” pada diri mereka secara kolekif menekan batin.
Barangkali si Kumis bertemu, berjumpa secara spontan sama si Suster tapi dianggap sepele, biasa-biasa saja. Pura-pura enggan kenal itulah alasan yang lebih dominan untuk tidak mau baku-salam. Tidak mau saling menyapa. Juga tidak mau untuk berinteraksi. Bahkan sebaliknya ditegur dan juga menegur.
***
Semakin ke sini, sudah tahun 2020 mereka bertemanan di facebok. Lalu mereka menjalin hubungan lebih dari kerabat entah siapa yang memulai. Tak menutup kemungkinan, awalnya si Kumis belum begitu kenal sama si Suster. Ketemu sekali pun enggan pernah di kota Nabire.
Sejauh itu, sapaan dua serangkai ini jauh lebih unik dan spesifik. Suasana chatingan whatsapp serta dalam via messenger makin berubah walau belum begitu akrab. Tapi itu rahasia.
Rahasia itu masih tersimpan rapi. Jika dua insan ini Tuhan satukan, barulah akan benah. Temuan dan jumpaan mereka selanjutnya, biarlah Tuhan yang senantiasa bekerja supaya bisa saling beri-salam-senyum-sapa.
Suster Bukan Jodohnya si Kumis
Apabila kita punya tekad serta ambisi yang tinggi untuk mendapatkan sesuatu maka teruslah meminta. Jika memang merasa sangat urgen atau mendadak mesti menuntut. Supaya Tuhan segera punya cara praktis untuk dapat mengabulkan sekaligus diberi suatu jawaban atau petunjuk lewat orang lain.
Berarti di tangan TUHAN-lah jodoh kita pun bakal ditakdirkan untuk hendak kita miliki. Sehingga definisi serupa ini sangat konstruktif yang kemudian mayoritas orang Kristen mendasari dalam perspektif pilih dan memilih jodoh/teman/pendamping hidup.
Sejauh ini saya memastikan bahwa orang Kristen kebanyakan masih fokus pada doktrinisasi yang justru selebihnya hanya pasrah. Jodoh di tangan Tuhan dan kemudian akan ditakdirkan menurutnya. Sampai kadang malas mau berjuang, malas juga untuk mengupayakan.
Coba kita pikir secara rasional saja bahwa selain jodoh kita diajak untuk terus berjuang. Justru kenapa jodoh bisa ditakdirkan? Kerap saya keliru dengan pernyataan, pendapat dan pandangan serta ajaran yang dikemukakan mayoritas orang Kristen.
Tentu sebagai manusia tidak terlepas dari berdoa dan bekerja rangkap berjuang sebagai landasan hidup. Serta upaya dan usaha agar kita bisa memiliki atau mendapatkan sesuatu sesuai harapan, impian, cita-cita, dan semacamnya.
Saya misalnya, sebagai orang Kristen (tidak menutup kemungkinan), saya sering bergumul, berdoa meminta sesuatu sesuai hasrat serta harapan dan keluhan saya kepada yang segala sumber yaitu Tuhan, tapi tidak secara otomatis saya dapatkan hal yang saya pinta. Setelah berdoa mesti bekerja (oraet labora).
***
Pergulatan si Kumis tidak berarti. Ternyata si Suster itu jodoh kepada yang lain. Sejauh apa usaha serta upaya yang dilakukan atau dikerjakan si Kumis soal mau mendapatkan si Suster, itu hal yang lazim terjadi sebagai manusia meskipun bukan jodoh. Perihal semacam ini mesti terjadi dalam kalangan orang muda Kristen sekalipun. Kalaupun orang Kristen, tentu tidak terlepas dari keinginan untuk mau memiliki sesuatu.
Satu lagi, soal perempuan atau laki-laki yang pada dasarnya bukan jodoh, kadang saling sukai-mengukai, saling cintai mencintai, dan hal lainnya pun kerap dialami pada kalangan muda-mudi kalau diamati secara teliti dan masif.
Patut disyukuri tentang betapa usaha kamu sebab si Kumis tidak berhasil atau telah lalai untuk mendapatkan atau memiliki si Suster harapan hidupnya itu. Sebab jodoh itu takdir sang Ilahi. Kalaupun takdir berkata lain mesti bersyukur. Rasa syukurmu itu akan mengantarkan pada tempat, kepada orang yang tepat bagimu.
Semenjak SMA sudah bulatkan tekad, sebagai pendamping/teman hidupnya si Kumis, tidak lain adalah Suster atau tidak Guru. Ketika si Kumis mengenali Suster itu lewat layar hape, lebih giat serta tambah semangat berjuang untuk berteman dengan si Suster tersebut.
Bukan sekedar teman churat (teman komunikasi), selebihnya target si Kumis, adalah untuk mendapatkan atau memiliki si Suster sebagai teman semasa hidupnya. Entah kenapa, si Suster hingga kini belum merespon sebagaimana tawaran si Kumis. Mau diajak jalan serta ketemuan saja ditolak mentah.
Mungkin lupa? Takut? Tidak suka? Belum waktunya? Atau karena apa? Belum diketahui alasan sampai sekarang. Kalau tidak salah, si Suster pernah bilang: “sementara saya belum bisa, tidak ada perasaan mau kawin begitu.” Mungkin saja, si Suster ini punya banyak sekali pertimbangan entah serius atau tidak yang si Kumis tawarkan.
Soal kuliah dua serangkai ini telah selesai. Tahun 2021 si Suster sudah menjadi Alumni Akademi Keperawatan (Akper) di Nabire, Papua Tengah. Sementara itu si Kumis masih dalam pertengahan kuliah. Tahun 2022 barulah ia menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas ternama di Jayapura.
Profesi si Kumis pun samar-samar. Pasalnya, lebih dari orang yang bukan berprofesi itu pun layak dan pandai menjadi seorang pemimpin di suatu daerah, sehingga terkontaminasi setiap iringan atau jalannya organisasi pemerintahan atau birokrasi di seluruh Indonesia lebih lagi kepada manusia ambisius di Papua terkhusus.
Suster artinya berprofesi tenaga medis. Beliau bersama beberapa tenaga medis dikontrak tepat 2021. Selisih mungkin tidak makan waktu hanya berapa bulan setelah wisuda. Hingga kini si Suster sedang melayani pasien di salah satu Posyandu di pelosok desa seputar Papua Tengah. Tapi ia tidak menetap di sana, selalu pulang lalu pergi selama satu bulan sekali.
Si Kumis ini hanya orang biasa, tak ternilai, yang jalan ke mana saja ia mau. Habiskan sisa waktu hidupnya itu, mungkin di jalan. Pasalnya, ia tidak suka lamar pekerjaan, enggan suka cari kerja, tinggal duduk, diam, main hape itulah tugas kerjanya beliau.
Si Suster ini sedang melayani di pelosok. Daerah terpencil jauh dari bisingan kota Nabire, Papua Tengah. Kerap si Kumis banyak bertanya soal pola makan dan minum, pola tidur, pola pikir serta tata keramah, tata cara mengenakan pakaian, adat-istiadat serta hal-hal lainnya yang berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat di tempat tugas si Suster di sana.
“Tidak ada bedanya; sama dengan kita yang hidup di kota. Cuman sedikit saja yang agak berbeda. Tapi hidup di sana jauh lebih baik, aman dan terasa paling nyaman dibanding hidup di perkotaan seperti di Nabire begitu,” ujar si Suster.
Berarti kehidupan kita di perkotaan cenderung beda dengan kehidupan masyarakat di tempat yang ia layani di sana namun dalam penerapan nyaris sama. Hanya beberapa hal yang konon menjadi tradisi di sana. Dan itu sukar dikompromi atau susah untuk dilepaskan spontanitas oleh masyarakat yang mendiami di perkampungan itu.
Saat pertama kali tenaga medis itu ke sana, apa yang dirasakan? Takut? Biasa? Ataukah lebih dulu ada orang kota yang sempat interaksi dengan masyarakat di kampung itu? Ini pertanyaan-pertanyaan yang barangkali cukup serius, kerap dilontarkan si Kumis ketika video coll sama si Suster kala berada di kota Nabire, Papua Tengah.
“Sebenarnya pertama kali kita ke sana itu memang takut, tapi setelah lama-lama kita interaksi sama masyarakat di sana, itu dianggap keluarga, jadi biasa jalan bareng, duduk bareng, makan serta berolahraga berbarengan,” jelasnya.
Sejumlah pertanyaan-pertanyaan ini, yang dimana ditanyakan si Kumis pada satu kesempatan itu, justru direspon baik sama si Suster sebagai tenaga medis, pemilik jarum suntik itu. Selanjutnya entah kenapa, jarang beri kabaran, jarang telponan, jarang juga ketemu.
***
Suatu sore, cuaca Nabire makin ceria seperti senyum suci yang ditebarkan si Suster, yang dirasakan si Kumis di salah satu tempat atau lapangan bermain bola tangan (volly). Saking kencangnya senyum itu, mengajak si Kumis jatuh cinta kepada lapangan sekaligus bermain bola. Namun kedua bola mata si Kumis ini merosot tajam kepada si Suster yang sedang memakai baju hitam sore itu sebelum gelap tiba.
Sembari ia memainkan bola, kerap kedua bola mata ini menatap terus pada si Suster yang lagi asyik memainkan bola di lapangan sebelah. Pikir-pikir saja, si Suster ini benar-benar jatuh cinta atau kegemarannya pada permainan bola volly. Karena saat ia memainkan bola niscaya pintar, pandai, serius, fokus, soal lain sampai selesai baru akan dibicarakan sebentar.
Mudah-mudahan saja, selain jatuh cinta atau kegemaran pada permainan bola volly, alhasil si Suster ini pun jatuh hati pada si Kumis. Entah kenapa, sebagai orang Kristen pasrah, takdir akan berbicara dalam hati kedua hamba ini.
Salah satu pertandingan, penggalangan dana dari pemuda entah dari gereja mana (saya tidak ketahui) timnya si Suster ini meraih juara dua. Andai si Kumis pun juara merebut hati si Suster ini, maka selanjutnya secara kolektif membangun rumah tangga (atau suami-istri) seutuhnya.
Kalah Rebut Suster; Dosa si Kumis
Ini dosa-dosa si Kumis yang membuat si Suster malas tau. Hingga terabai dan sengaja lipat tangan. Gerakan pun cukup lambat, lebih kalah dari orang-orang tua soal betapa cara untuk hendak membalas sejumlah chating whatsapp serta via messenger entah satu pun.
Kendati ia bergegas, gerak hati mau dibalas juga tanpa memberi solusi. Sekaligus sangat rumit sekali untuk memberi sebuah kepastian yang semestinya gampang dan praktis untuk dijawab secara spontan. Seolah si Kumis ini pemeluk dosa! Sepantas dan sewajarnya bila si Suster jauhi sebelum terlambat mendekati si Kumis. Jika bercinta mau salahkan siapa; karena sudah terlanjur mencintai lain hati.
***
Jikalau bukan si Kumis yang memulai, alhasil semua ini beriring baik-baik saja tanpa hambat, tidak diganggu oleh siapa pun, mungkin jalan secara mulus. Tidak sampai kepada tujuan, itu karena kerisauan atau sikap busuk yang mana telah ditujukan oleh si Kumis. Akhirnya lantas temanan mereka seolah runtuh, hubungan yang baru terjalin juga jadi hancur berantakan.
Sengaja tidak sengaja, benar atau tidak, awal mula ketika video coll, si Suster ini sempat berucap soal “kalau jalani pacaran bagi si Suster itu boleh-boleh saja, tiada salahnya, supaya bisa saling menyapa, baku tanya kabar, tapi selebihnya, mungkin dalam tahap penyeleksian.”
Pada akhir kalimat “tahap penyeleksian” ini yang dimaksud adalah mungkin satu-satunya alasan cerminan kepada penilaian-penilaian spesifik. Satu lagi soal dunia romantisan, untuk dapat menjejaki dan mau mencermati setiap reaksi kesalahan-kesalahan besar juga termasuk kecil yang barangkali si Kumis dilakukan atau diperbuat selama itu.
Tapi itu hanya sekadar asumsi-asumsi atau dugaan-dugaan yang tidak menyentuh hati si Kumis, karena bukan berdasarkan analisis data, bukti fakta terhadap pemilik jarum suntik. Biasa saja, semua baik adanya.
***
Kini benar-benar ia bingung tentang betapa kilatnya luput serta tanpa jejaknya. Sejatinya tidak seperti lazim semacam di tahun lalu. Terlalu cepat berubah, hilang sekejap mata, dari yang biasa lompat tangga menjadi luar biasa; entah kenapa itu bentuk serta sejenisnya.
Ketika ditanya soal kamu lagi sedang bikin apa; otomatis akan mengirim foto aktivitas kerjaan yang sedang ia lakukan tapi itu dulu, jauh beda dibanding sekarang. Oleh karena lama dan tidak kunjung dibalas hampir semua chat whatsapp juga via messenger, si Kumis nyaris mau stres.
Sebab, setahun lalu konon beda dengan gaya balasnya yang sekarang. Sungguh benar-benar berubah, jika diukur dengan gaya yang lama, kayaknya ada orang hacker akun fesbuk. Hehe. Ternyata pengelola atau pemilik akun miliknya itu adalah dirinya, si Suster.
Sering tapi juga kadang telat dibalas, satu atau dua hari kemudian. Kadang juga diabaikan, apatis begitu tanpa direspon balik. Sebabnya apa, si Kumis tidak berani untuk dapat memastikan kebenaran itu sedalam-dalamnya.
Cuman dibayangkan saja, apabila kalau ia tidak dibalas atau balik chating, itu mungkin karena: si Suster ini jarang sekali genggam hape di tangan? Sibuk masak di dapur? Lagi melayani pasien? Atau kerja tugas? Ajari adik-adik baca tulis? Atau karena tidak suka dibalas? Atau karena tugasnya padat? Bisa juga karena istirahat?
Kemungkinan-kemungkinan ini yang justru membatasi ruang keseriusan si Suster untuk baku chat sama si Kumis. Semoga tugasnya yang padat dapat diringankan. Baikkan hati supaya balikkan kayak macam di tahun lalu.
Maklum, selain urus dapur, Ia juga rajin melayani pasien di rumah entah kapan dan siapa. Jadi, begitulah aktivitas rutin yang dilakukan si Suster selama ini, hingga lupa balik respon. Lupa lagi untuk hendak dibalas chat si Kumis pendekap dosa ini. Menuntut itu dosa karenanya.
Cerita belum tamat – Nabire, 2023/11/26