CERPEN – Sebagian hidup berkisah di kota yang membentuk pikiran dengan lingkungan. Seperti bahasa membentuk manusia. Tanda manusia mencintai kota adalah tidak memilih musim yang bagus untuk menetap, dan tidak ada argumen lain untuk menjaga lingkungan sosial dengan baik walaupun manusia sering kalah dengan insiden.

Puluhan tahun konflik dan bencana alam datang dan pergi. Kebaikan dan keburukan itu bembentuk rasa yang dalam, seperti senja di diatas Kampung Waroki tampak lalu pergi tidak dengan luka dan rindu. Tafsir tentang objek manusia bisa macam-macam, tapi hampir banyak subjek yang menentukan objek. Manusia berhak memilih dan melaksanakan sesuatu.

Banyak cerita yang berkesan di sekitar Bukit Jati. Di kota yang mengajarkan sunyi, ramai, ketawa dan sedih. Semuanya. Kami berlari liar sampai di Pantai Maaf yang telah berubah menjadi Pantai Nabire. Bukit Jati begitu hijau dengan kebanyakan pohon jati dan pepohonan hijau lainnya. Bukit Jati menjadi pusat bermain anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2000-2010. Sekarang telah berubah karena kekuasaan makluk hidup. Bertumbuh bersama waktu.

Bukit Jati berbaring diantara jalan Pam dan jalan RRI lama; berukuran hampir besar seperti kapal induk Amerika Serikat berlabu di laut Teluk Cendrawasih, lebih besar dari pulau Pepaya, Nuburi, Babi dan Nusi. Bukit Jati yang hijau, sejuk, suasana dingin pagi dan kesepian sore dengan gelas kopi hitam tanpa gula selalu menjadi waktu yang ditunggu di teras rumah yang banyak pepohonan. Duduk dengan lagu tradisional Papua. Aroma kopi dan hujan berbaur hangat dalam petikan gitar dan lagu berbahasa ibu.

Malam begitu sunyi. Sa bertemu sebuah cerita dalam ketiduran. Cerita ini seperti Sa bertemu dengan mata. Kadang malam selalu datang dengan sunyi di kaki Bukit Jati. Suatu malam datang tanpa suara yang mengganggu kesunyian. Ada sunyi yang telah merayu; di teras rumah setelah Sa menikmati kopi pahit, singkong rebus dan sayur pepaya. Sa bertemu seorang wanita cantik yang baru nampak di sekitar Bukit Jati.

Meriam, seorang penulis lepas yang mencari inspirasi di setiap sudut kota, dusun bukit, rawa dan pesisir laut. Tinggal di sebuah rumah kecil yang dirubah menjadi penginapan yang sederhana. Rumah itu memiliki pemandangan indah, menghadap Bukit Jari. Hanya tiga puluh meter dari Sa rumah. Banyak orang di kompleks menyebutnya, Meriam adalah turis. Memang Meriam memiliki wajah lain dari kebanyakan wanita lokal yang Sa perna lihat.

Setiap pagi dan sore, Meriam suka pergi ke sebuah kedai kopi kecil yang terletak di kaki Bukit Jati. Di kedai kopi itu, Meriam menikmati secangkir kopi dan menulis. Pemandangan Bukit Jati yang hijau dan langit yang biru memberinya inspirasi untuk menulis apa pun. Kedai kopi itu memiliki suasana yang sejuk, tenang, dan memberikan ketenangan.

Suatu hari, Meriam bertemu dengan seorang pria muda yang juga sering datang ke kedai kopi tersebut. Namanya Amo, seorang fotografer yang sedang mencari inspirasi untuk proyek fotografinya. Amo memaksa diri untuk berkenalan dengan Meriam. Mereka mulai berbicara dan berbagi cerita tentang pekerjaan mereka.

Dari hari ke hari, pertemanan mereka semakin erat. Mereka sering bertukar pikiran, berbagi pengalaman, dan sering kali berkarya bersama. Amo sering mengambil foto-foto indah Bukit Jati menjadi sumber inspirasi bagi Meriam. Dan Meriam sering meminta pendapat Amo tentang tulisannya.

Waktu pun berlalu, Meriam menyadari bahwa perasaannya terhadap Amo berkembang lebih dari sekadar pertemanan. Namun, Meriam ragu untuk mengungkapkan perasaannya karena takut akan merusak hubungan persahabatan yang telah terjalin begitu baik.

Setelah seminggu, Meriam mengundang Amo untuk pergi ke Bukit Jati menikmati indahnya matahari terbit; duduk memandang Pantai Maaf yang telah berubah menjadi Pantai Nabire. Dengan kopi dari kedai kesayangan, mereka duduk di puncak Bukit Jati sambil menikmati secangkir kopi. Di saat itu, Meriam memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Amo.

“Amo, Sa merasa kalau Sa perasaan ke ko lebih dari sekadar persahabatan,” ucap Meriam, gemetar.

Amo tersenyum, “Meriam, jujur Sa juga sama. Sa selalu berpikir bagaimana caranya untuk mengungkapkan Sa perasaan sama ko,”

Mereka saling memandang, dan akhirnya menyadari bahwa mereka memiliki perasaan yang sama. Mereka pun merasakan kebahagiaan yang mendalam karena bisa menjadi lebih dari sekadar teman.

Kini, setiap pagi dan sore, Meriam dan Amo pergi ke kedai kopi di kaki Bukit Jati bersama. Mereka menikmati secangkir kopi, menulis, dan berdiskusi tentang pekerjaan media dan buku.

Bukit Jati menjadi saksi dari kisah cinta Meriam dan Amo. Cinta tumbuh di antara mereka dengan cepat. Kedai kopi itu tetap menjadi tempat yang spesial bagi mereka; tempat di mana cinta mereka tumbuh di bawah langit indah Bukit Jati.

Waktu yang lama. Perjalanan yang panjang. Sa bertemu Meriam di kedai dekat kaki Bukit Jati dengan nama Amo. Sa harus nampak menjadi seorang photografer untuk waktu yang sabar, lebih dari sabar. Sa berhenti menjadi membaca di ruang hanya Sa. Memulai menjadi photografer; melengkapi bagian yang membantu untuk seorang yang penulis tentang sosial.

Sa menjadi seorang jurnalis photografer di media ternama di kota besar. Di tahun 2024. Sa akan pergi ke Intan Jaya untuk memotret aktivitas konflik yang tidak pernah selesai untuk media luar negeri yang cukup terkenal. Bertemu Meriam membangkitkan Sa menjadi seorang yang menghormati hobby sebagai profesi menghasilkan sesuatu yang besar.

Meriam pergi dari wajah Bukit Jati. Dari kota kecil. Belum satu tahun Meriam menulis buku perjalanannya, dan catatan pembuka menitipkan rindu dan rasah bangga kepada Sa, seperti Bertrand Russell menulis catatan pembuka di buku Authority and the Individual.

โ€œDalam menyiapkan bahan-bahan buku ini saya sangat berterimakasih kepada Amo, laki-laki Papua di kaki Bukit Jati, atas bantuannya bukan saja menyangkut hal-hal detail, melainkan juga menyangkut kenyamanan cinta. Dan Aku rindu pada kondisis-kondisi saat ituโ€

(RRI Lama, Nabire 10 Januari 2024)

Oleh : Nomen Douw

Share this Link

Comments are closed.