CERPEN – Matahari pelan-pelan muncul diatas bukit kaliharapan dari tempat saya tinggal. RRI Lama Kota Baru Jalan BD Danomira. Motor ADV 160 milik bintang dogiyai saya nyalakan di samping rumah, mungkin kalau motor itu manusia, Ia akan mengeluh dengan alasan masih ngantuk, terlalu pagi. Satu jam lebih habis dalam perjalanan, melewati jalan dua jalur arah pelabuhan Samabusa Nabire Papua Tengah. Sampai di belokan setelah melewati Pantai Worbak, mungkin namanya tanjung Nafri atau Magrove, tapi saya menyebutnya Tanjung Erari, itu yang saya lihat dari aktivitas kecil.
Belok kanan tajam, masuk kiri setelah empat ratus meter bertemu papan penanda ”Erari Beach” senyum kecil dalam hati memandang laut yang tenang seperti Danau Paniai dan bukit berpohon hijau yang menghidupi surganya makluk hidup. Saya langsung ingat perjalan Levison Wood dalam bukunya Arabia, Dia menjelajahi jantung Timur Tengah, tempat dimana daerah tanpa pohon hijau dan sulit mendapatkan air bersih dan udarah hijau yang hangat seperti di Tanjung Erari, Papua.
Tanjung kecil Erari,embun basah masih diam,teduh. Angin kecil belum lewat dengan keras mengerakkan Tanjung Erari. Ada beberapa kendaraan motor mobil memarkir,beberapa orang berjalan keluar masuk rumah dan cam. Mama Erari dengan dua cucunya sedang menyapuh halaman batu kerikir pasir. Senyum mama Erari merasah saya memiliki keluarga yang dekat. Energinya terasah akan cinta kemanusian yang besar.
“titip helem di anak baju kuning sana baru bayar parkiran dua puluh ribu anak,”ucap perintah mama Erari sambil menunjuk arah, sambil mama terus menyapu daun kering dibawah pohon-pohon. Saya bergegas melangkah.
Dalam perjalanan menuju Erari tadi, saya pikir tidak ada pilihan lain selain saya ingin duduk cafe Erari menikmati kopi. Seperti minggu lalu saya duduk diskusi dengan kaka Benni Erari. Menikmati suasana seperti dalam film biografi treveling ,The Way 2010, film yang mengisahkan seorang ayah yang berjalan untuk mengenang anaknya yang baru meninggal dunia. Penuh menikmati perjalanannya.
Bibir pantai Erari sudah turung, tidak seperti minggu lalu, meluber menutupi bibir pantai seperti saya pikir banjir. Minggu ini tenang dengan ombak kecil dari air garam bersih. Suasana yang memanjakan mata pengunjung dan memandikan orang-orang, seperti bebek bermain sayapnya dengan ribut.
Energi positif yang tenang. Pengunjung sibuk dengan air laut yang bersih. Ada ikan yang diakar,mie dan hanya saya menikmati kopi di cafe Erari. Mungkin yang bosan duduk di cafe di kota,mereka hanya butuh air laut untuk mandi. Justru saya kebalikan dari kebanyakan mereka, mungkin saya bukan manusia tapi setiap manusia memiliki keunikan masing-masing dengan akalnya, seperti kata filsuf Yunani Kuno,Aristoteles”Potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau mahkluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya”
Hanya tiga puluh meter dari parkiran di sampin pos penjagaan dan kios alternatif Erari. Langkah ke cafe Erari. Dua non Papua kurus berbaju hitam sedang menyiapkan tempat bakaran, di bibir air laut satu orang membersihkan ikan mati. Kebanyakan non Papua ber-KTP Papua. Hanya beberapa orang Papua. Pengunjung bermalam hingga pagi pulang dan ada juga yang pagi datang. Dari beberapa arah terlihat tenda-tenda camping.
Ada orang tidur seperti anak burung dalam kain moderen, diikat pada dua pohon (hammock). Pagi orang-orang sudah mandi di dermaga kayu Erari. Saya berdiri depan bar cafe coffe, pesan kopi, perempuan sedikit gemuk berwajah bulat,rambut dirbondin,baju warna ping seperti warna dasar cafe Erari, terlihat indah sebagai pelayang cafe kopi kebanyakan di kota.
“mie goreng specialnya belum ada, pop mie dan pentolang goreng baru ada,” jawab pelayang cafe Erari, saya sebut saja namanya Sarlota.
“kopi hitam sama pisang goreng saja,” pesan saya sambil memandang kursi yang saya mau duduk.
Duduk di kursi dan meja yang berhadapan dengan bibir pantai Erari. Depan mata ada speatboat mesin 40pk bertulisan bantuan Dinas Perikanan Nabire Dana Otsus TA 2020. Duduk menunggu kopi dan pisang keju. Lagu dandut berbunyi dua speker hitam berukuran rak pakean anak tk dibalik saya, sepertinya di putar oleh pria baju hitam berjelana jeans pendek,kaus putih,lenggan kanan bertato jantung manusia dengan tetesan darah. Duduk di teras homestay milik keluarga Erari dengan tarif 600 ribu satu malam. Pria itu mungkin perna membunuh manusia waktu jadi anggota preman. Lihat pria itu, tiba-tiba saya ingat preman tanah abang Jakarta.
“permisi,” ucap Sarlota membawah kopi hitam untuk saya. Parfum Sarlota tajam masuk dalam lobang hidung saya, bau kopi menghilang mendadak, kalau Sarlota pacarku, pasti saya peluk tanpa kata memuji.
Kopi tupruk yang enak dengan sedikit gula, selerah saya. Wajah pantai erari yang tenang tedu dengan kopi seperti nona Erari dari pria yang dicintainya, seperti juga parfum Sarlota yang memicuh keinginan saya untuk memeluknya tapi cukup setiap pagi Pantai Erari memeluk saya dengan suasana teduh dengan rasah kopi yang harmoni. Nikmatnya teduh.
Memandang ujung laut yang batasnya kaki bukit hijau alami setelah menarik kopi dengan bibir dan memasukannya dalam tubuh. Lagu dandut tidak berhenti keluar dibalik saya, masuk keras dalam telingga. Mengganggu tapi baik untuk saya melatih focus. Erari tempat wisata, saya menghargai orang-orang yang manikmati hak mereka karena semua orang di Erari membayar, kecuali mereka melanggar aturan pantai Erari atau mengganggu orang lain tanpa alasan. Hak pemilik Erari melaran dan tidak.
“maaf kaka lama,” Sarlota minta maaf sambil meletakan pisang keju diatas meja berwarna coklat depan perut. Lagu dandut belum berhenti, hanya volume yang berkurang. Ngopi,pisang keju dan angin kecil menampar cafe Erari lapis dengan jiwa saya. Harmoni yang sejuk. Matahari hampir diatas kepala.
Orang-orang lebih banyak mandi, seperti burung-burung musim kemarau yang baru bertemu air. Asap kecil dari tungku ikan bakar disampin saya tutup sebagian wajah. Non Papua yang tadi bersiap membakar ikan. Asap tidak membawa aroma ikan bakar. Ada aroma kopi Erari lebih kuat dari aroma yang lain, tapi aroma parfum Sarlota saja yang bisa kalahkan aroma kopi.
Lagu dandut berhenti dengan waktu, mungkin orang-orang non Papua melihat saya punya buku diatas meja lalu sibuk dengan catatan dalam handphone. Waktu bersantai di Erari adalah mendapi emas. Sepih disekitar cafe Erari. Saya tiba-tiba menikmati kesunyian ini tanpa lagu yang keras, cocok dengan pagi yang kaku dengan hari yang baru. Berganti dengan waktu yang tidak mungkin berganti. Seakan sunyi pergi sekedip mata setelah anak Papua kurus berjelana coklat panjang berpakean timnas sepakbola Belanda berkata,”kaka duduk baru sa putar-putar lagu e.” “Io.” singkat saya.
Seperti warna air putih dalam gelas dikuasai air warna hitam yang lebih banyak,putih menghilang. Tiba-tiba suasana sepih tadi pergi dari saya, berubah dengan music disco, seperti acara goyang menghalau harmoni Erari, hanya saja orang-orang tidak dancer. Semakin matahari panas, semakin banyak orang datang ke Erari. Orang Papua tidak banyak. Lupa kalau hari ini minggu, mungkin orang Papua mereka kebanyakan di gereja, tidak seperti saya, memikirkan sesuatu yang positif di Erari tanpa berpikir tempat ibadah.
Beberapa kelompok yang camping sedang menyimpang. Mereka menikmati liburan hari minggu dengan membuang penat selamah satu minggu focus bekerja di rumah,kantor dan kebun. Refreksi penting bagi orang yang bekerja, tapi bukan hanya untuk orang yang menghabiskan hari-hari untuk bekerja tapi perlu untuk manusia yang hidup, ingin hidup dan hidup. Toh, juga akan mati.
Volume lagu berkurang,mungkin mama Erari tau,” setiap orang yang datang ke Erari tidak semua menikmati yang sesuatu yang ribut.” mama Erari. Saya tidak menyukai sesuatu yang ribut, mengganggu kenikmatan kesunyian yang jauh dari kota. Lagu birisik berlanjut tidak berganti sepih. Saya duduk berpura-pura menikmati iramah lagu dengan menggoyangkan kepala yang bentuk seperti buah nenas ini.
Hanya membayangkan kalau tempat yang saya duduk ini ditemani suara indah dari Wem Misido, Jhon Mofu dan Metu Imbiri, mungkin cerita akan berbeda dengan kata yang indah untuk cinta kasih sayang kepada siapa saja. Apalagi ada kopi di Erari dengan hangatnya. Setiap waktu manusia adalah pribadi dalam waktu yang dibawah-bahwa makluk yang aneh sekaligus baik. Seperti saya, Erari punya waktu yang tepat untuk saya dalam saya. Kedamaian dan tenang adalah sesuatu saya coba menikmati dengan sederhana.
Seperti kata filsuf asal Jerman Imanuel Kant, ”waktu adalah bagian dari akal budi manusia. Ia tidak berada di alam, melainkan di dalam pikiran manusia. Sebagian bagian dari pikiran manusia,waktu membantu manusia sampai pada pengetahuan tentang dunia.”
(Cerpen Traveling)