Pada sebuah Jumat, 25 Februari 2022, seorang lelaki berseragam cokelat dengan dua melati di pundaknya menapakkan kaki di Bandara Torea, Fakfak. Sambutan hangat datang dari pejabat daerah dan para tokoh adat. Ia bukan orang sembarangan, ia adalah AKBP Hendriyana, S.E., M.H., Kapolres Fakfak yang baru, menggantikan AKBP Ongky Isgunawan, S.I.K. yang telah menjabat sejak 2020.
Kedatangannya saat itu menyulut harapan baru. Warga menginginkan penegakan hukum yang berwibawa, kepolisian yang bersih, dan janji perubahan di tubuh Polres Fakfak.
Namun, tiga tahun berlalu, yang hadir bukan euforia, melainkan euforia yang berbalik menjadi tanya. Harapan menjelma menjadi sorotan tajam, kekecewaan yang perlahan mengeras menjadi ketidakpercayaan.

AKBP Hendriyana Lulus Doktor Ilmu Kepolisian dengan Predikat Sangat Memuaskan (Foto layar tangkap STIK Lemdiklat Polri)
Februari 2023, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, mulai bersuara lantang. Dalam sebuah pernyataan yang tajam, ia menggugat: “Bagaimana mungkin tidak ada satu pun kasus Tipikor yang diseriusi oleh Polres Fakfak?”
Menurutnya, laporan masyarakat tentang dugaan penyelewengan dana Covid-19 mengendap begitu saja. Bahkan, ia menduga proses penyelidikan yang sempat dimulai, dihentikan secara sengaja dan ironisnya, perintah itu datang dari pucuk pimpinan sendiri.
Desakan pun mengarah ke Kapolda Papua Barat agar segera mengevaluasi total kinerja Kapolres Fakfak. LP3BH menilai, apa yang terjadi adalah bentuk nyata dari pelecehan terhadap semangat pemberantasan korupsi. “Jika benar dihentikan, ini pengkhianatan,” tegas Warinussy.
Tak berhenti di isu korupsi, publik dikejutkan kembali dengan peristiwa yang menyeret tiga nama dalam seleksi MRPB, termasuk aktivis HAM Erna Wagab.
Melalui surat Polres bernomor R/348/V/PP.1.3.10/2023, Erna dituding terlibat makar—klaim yang bahkan tidak berdasar penyelidikan, hanya merujuk pada pemberitaan media. Tuduhan ini lantas dibantah keras oleh PASTI Indonesia, organisasi masyarakat sipil yang menyebut tudingan itu sebagai fitnah terang-terangan.
Lebih memalukan, surat resmi dari Pengadilan Negeri Fakfak justru menyatakan Erna tidak memiliki catatan kriminal. Maka pertanyaannya: Siapa sebenarnya yang makar?
PASTI Indonesia bahkan menuding, “yang makar justru adalah mereka yang menyalahgunakan wewenang dan mencemarkan nama baik warga sipil.”
Janji yang Menguap Bersama Knalpot
Pada penghujung 2022, tepatnya 31 Desember, Kapolres menyatakan perang terhadap kendaraan bodong di Fakfak. Seruan lantang dan ancaman pidana disampaikan langsung ke publik.
Namun, publik menunggu… dan terus menunggu.
Dua tahun berselang, pada 25 Mei 2025, pernyataan yang sama kembali muncul. Razia besar-besaran dijanjikan. Ancaman pidana dikumandangkan ulang. Tapi, lagi-lagi, realitas di lapangan tetap tumpul.
Tak ada razia. Tak ada berita. Tak ada perubahan. Hanya sunyi dan asap knalpot kendaraan bodong yang terus berkeliaran, bahkan disebut digunakan oleh oknum aparat sendiri.
Publik pun bertanya; Masuk lewat jalur mana kendaraan-kendaraan itu? Atas izin siapa? Mengapa hukum begitu selektif?
Di tengah sorotan tajam ini, publik kembali dikejutkan. Bukan oleh tindakan hukum, melainkan oleh gelar akademik. AKBP Dr. Hendriyana, S.E., M.H., kini resmi menyandang gelar doktor dengan IPK 3,72. Predikatnya sangat memuaskan.
Sayangnya, yang belum memuaskan adalah publik Fakfak. Sebab dalam tubuh masyarakat, gelar dan jabatan tak akan berarti jika hukum hanya sebatas narasi. Di Fakfak, masyarakat menanti pemimpin yang memberi teladan, bukan hanya memberi pernyataan.
Kepolisian adalah alat negara, bukan alat pencitraan. Namun, belakangan ini, warga Fakfak mulai merasa hukum hanya tegak saat kamera menyala, lalu mati begitu berita tayang.
Kritik publik kian keras: “Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, apakah ini masih hukum? Atau panggung teater yang menyamar jadi institusi?”
Fakfak menanti lebih dari gelar. Lebih dari janji. Yang dibutuhkan saat ini bukanlah kutipan keras di media, tapi langkah nyata di lapangan.
AKBP Hendriyana mungkin telah menginjakkan kaki di Bandara Torea dengan harapan baru. Namun tiga tahun berselang, yang terbang justru kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya.
Penulis: Ronaldo Josef Letsoin
Tulisan ini ditulis berdasarkan pemberitaan: