Fakfak, majalahkribo.com – Di sebuah rumah di Fakfak, Papua, pada Kamis (12/6/2025) malam, sekelompok aktivis dari Solidaritas Selamatkan Manusia dan Tanah Mbaham Matta Fakfak Papua (SSMTMMFP) berkumpul untuk membahas rencana investasi migas dan tambang yang tengah dirancang oleh pemerintah. Namun, diskusi yang dimulai pukul 17.00 WP itu tiba-tiba terganggu oleh kedatangan dua orang berpakaian preman yang mengaku sebagai tentara.

Menurut Hiryet Hegemur, peserta diskusi yang terlibat langsung dalam negosiasi dengan aparat, dua orang tersebut datang dan menanyakan tentang diskusi mereka. “Kami sedang duduk bersama membicarakan masa depan tanah kami, tanah adat, lalu tiba-tiba datang dua orang berpakaian preman, mengaku tentara, dan menanyakan macam-macam soal diskusi kami,” ujar Hiryet.

Aparat tersebut juga meminta izin untuk masuk ke rumah tempat diskusi berlangsung dan mengambil dokumentasi kegiatan. Namun, permintaan itu ditolak secara halus dengan melakukan negosiasi di teras. Setelah itu, mereka pergi, tetapi pemantauan terus berlangsung dari jarak jauh.

Insiden ini dinilai oleh SSMTMMFP sebagai bentuk intimidasi, pembungkaman, dan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi. “Negara ini katanya demokrasi, katanya ada hukum. Tapi aparat malah mengintervensi ruang diskusi kami. Ini bentuk pelanggaran terhadap hak berekspresi dan berkumpul,” ujar Sekretaris Jenderal Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP) Elias Hindom.
Masyarakat adat Fakfak menolak segala bentuk investasi yang tidak berpihak pada keselamatan manusia dan tanah Mbaham Matta. Mereka juga mendesak negara menghentikan segala bentuk pendekatan militeristik terhadap masyarakat adat dan menghormati proses diskusi dan konsolidasi akar rumput sebagai bagian dari demokrasi.

Rencana Investasi yang Dinilai sebagai Ancaman

Rencana investasi migas dan tambang yang tengah dirancang oleh pemerintah dinilai oleh masyarakat adat Fakfak sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup mereka. Investasi di tanah Papua selama ini dinilai banyak menimbulkan konflik, perampasan ruang hidup, hingga kekerasan.

“Ini bukan sekadar soal garis batas distrik, ini soal bagaimana tanah dan hutan kami dipetakan secara sepihak lalu dijual kepada perusahaan-perusahaan besar tanpa melibatkan pemilik sah wilayah ini yaitu kami, orang Mbaham Matta,” ujar Elias Hindom.

Tuntutan Solidaritas SSMTMMFP

Solidaritas SSMTMMFP menyerukan agar pemerintah pusat segera menghentikan seluruh proses pemetaan wilayah di Fakfak yang dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Mereka juga menuntut agar semua proses perencanaan investasi di atas tanah Mbaham Matta dihentikan secara permanen.

“Kami tidak akan tinggal diam. Tanah ini tidak untuk dijual, tidak untuk diserahkan kepada pemodal, tidak untuk dihancurkan atas nama pertumbuhan ekonomi. Fakfak bukan proyek investasi, Fakfak adalah rumah kami,” tegas Hindom.

Masyarakat adat Fakfak mengaku telah belajar dari daerah-daerah lain di Papua yang terdapat proyek investasi dan mengalami konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dan negara. Saat ini, SSMTMMFP terus membangun kesadaran kolektif di kampung-kampung untuk menolak segala bentuk ekspansi investasi yang merusak.

Share this Link

Comments are closed.