Oleh : Nomen Douw
Majalahkribo.com – Usia saya 26 tahun, baru lulus Sekolah Hukum di Universitas Pancasila Jakarta. Bapa saya Politikus murni di Kabupaten Nabire. Dari Remaja Bapa tinggal di Nabire hingga ketemu Mama. Bapa perna jadi Anggota DPR Nabire era Bupati Anselmus Petrus Youw selamah dua periode (1999-2009). Saya lahir besar hingga selesai SD-SMA di Nabire. Setelah Bapa lanjut usia, umur 70 tahun, Bapa ajak kami harus pulang kampung; mungkin Bapa berpikir masa tua hingga tutup usia harus di kampung asal kami, kampung Yogatapa, kampung yang menempel diatas gunung Blok Wabu Sugapa Intan Jaya.
Setelah kami pindah dari Nabire, tinggal setahun di Sugapa, Bapa meninggalkan kami keluarga besar. Sekarang hanya saya dengan Mama dirumah. Kaka perempuan kawin diluar daerah, kami hanya bertemu ketika Natal tiba, itu pun jarang, kebanyakan saya dengan Mama sendiri, di kampung kecil, gubuk bersama dingin, sunyi yang emas. Senyum Mama masih ada, masih muda, padahal Mama sudah usia lanjut, 73 tahun.
Saya tidak lanjut kuliah selamah 1 tahun karena Mama. Namun tahun berikutnya lanjut dan sekarang Saya sudah selesai kuliah-menetap di kampung asal Sugapa, tempat Bapa saya menjadi tanah di dusun Tanah kami, kampung Yogatapa, kampung dibawah kaki gunung Wabu. Hampir dua tahun saya berjuang di Tanah Sugapa, mempertahan keutuhan alam melalui diskusi dengan pemuda Sugapa. Saya tidak bicara Papua merdeka, Saya bicara gunung dan hutan tidak boleh dibuat luka, apalagi masyarakat oleh alat berat, diskusi kami harus melingdunggi alam Sugapa Intan Jaya.
Saya anak satu-satunya anak laki-laki dalam satu keluarga besar kami. Kaka perempuan ada tiga, Saya laki-laki bungsu yang ke empat dari tiga saudara. Jika Bapa pulang kantor, anak yang lebih dulu dicari dirumah adalah Saya. Bapa selama jadi anggota DPR (2004-2009); kemana pun Bapa pergi, sering bawah Saya, semua diskusi soal Politik bersama teman-teman politik kiri dan kanan saya dengar, saya selalu duduk disamping Bapa, walaupun saya tidak paham soal topik yang didiskusikan tapi setelah Saya selesai SMA; semakin saya baca berita dan tulisan lainya, semua diskusi Bapa dan teman-temannya yang terlindas mulai nampak. Mulai Saya pahami. Saya ingat logo Partai Politik di baju dan topi yang perna Bapa pakai saat kampanye bersama teman-teman calon lainya. Warna biru, ada bintang.
Dari umur 10 tahun, Saya rekam dalam otak soal Politik, hukum sedikit dari diskusi Bapa dengan teman Politiknya juga. Duduk di SMA, lingkungan membuat saya terlena dengan gaya hidup modern di kota, tapi ketika dirumah, Mama selalu mengajak Saya belajar, suatu ketika saya iseng belajar di ruang kerja Bapa. Beberapa buku Politik saya ketemu diatas meja. Ada buku majalah dengan banyak gambar saya ketemu, saya buka dari halaman ke halaman. Saya lebih banyak melihat Gambar. Dalam buku itu, saya lihat wajah pria berwajah india, berkaca mata bulat, berrambut hitam tebal, matanya tajam menentang. Captionya,”Aktivis Ham Muda Indonesia”
Saya sampai di Jakarta tahun 2013. Mama Kota Negara Indonesia. Karena Bapa masih dikenal Bupati, perna membantu soal politik-saya dapat beasiswa Pemda Nabire atas rekomendasi Bupati. Sampai selesai dibiayai Pemda. Saya aktif kulia di Universtias Pancasila. Selama Saya kuliah; Saya semakin tertarik dengan Politik, walaupun jurusan yang saya ambil hukum. Saya lupa narasi tentang Haris Azhar dalam buku Bapak ditas meja waktu Saya bocah. Mungkin buku hukum karena Ide Bapa saya harus kuliah Hukum. Mungkin, tapi bisa politik.
Awal tahun aktif kuliah, Saya terimah materi tentang hukum di Kampus. Dalam materi yang disampaikan dosen, ada contoh kasus disertai nama Haris Azhar sebagai pendampin hukum, wajahnya sering muncul di layar materi diinfocus. Wajahnya tidak berubah seperti dalam buku bapa saya diatas meja. Ingatan kecil saya kembali, ada wajah dalam buku Bapa.
Saya penasaran dengan isi otak Hariz Azhar, mengenal dari wajah dalam buku Bapa. Saya pelajari beberapa artikel, dan ikuti dialog di youtube. Ada beberapa tulisan yang menyebutkan Haris Azar adalah Aktivis Pembela Kemanusian, Pendiri Lokataru, Intelektuan Indonesia dan Dosen. Saya ingin bertemu dengan Hariz Azhar tapi Saya ini apa?, hanya Mahasiswa hukum yang baru mulai belajar. Belum apapa tentang hukum dan politik.
“Di Papua, yang diperbanyak Tentara, Bukan Sekolah,”Kata Hariz Azar dalam chanel youtube VDVC Talk.
Selamah Saya kuliah, Saya ikuti melalui media sosial. Saya mentokohkan Hariz Azhar selama saya kuliah, Saya ingin duduk diskusi, tapi Ilmu saya jauh, belum apa-apa, saya harus membaca buku hukum sebanyak mungkin, ,mungkin seperti Hariz Azhar. Saya ingin menjadi orang hukum di Papua seperti Haris Azar. Saya ingin menjaga Papua dari investasi buruk yang masuk dengan hukum yang dilemahkan uang lari dibawah meja. Saya ingin menjaga Sugapa dan manusia disana. Semoga Saya bertemu Hariz Azhar untuk belajar percaya diri.
Lima Tahun Saya kuliah di Jakarta tidak perna bertemu dengan Hariz Azhar, padahal satu kota, Jakarta, Saya selalu ingin ketemu, ingin cerita walaupun soal hukum tapi hanya pengantar dengan konteks Papua, tapi tidak, lima tahun tidak, bertemu sekedar saling lewat saja tidak, sekedar ketemu untuk foto saja tidak. Saya selesai kuliah dan pulang Sugapa Intan Jaya. Saya tidak berhenti membaca buku tentang Hukum dan Politik. Membawa pulang buku-buku yang Saya belanja. Ada 5 karton dengan biaya kilo Rp. 4.000.000.00.
Tiba di kampung Yogatapa, Sugapa Intan Jaya. Semua barang yang Saya bawah sudah sampai. Sugapa dingin seperti dulu. Lama tidak pulang, sepertinya tambah dingin. Tentara Indonesia sudah banyak dengan seragam lengkap menggendong senjata mesin, layak sedang berperang melawan Pertahanan Negara lain di Sugapa. Sekolah tidak bertambah, seperti dulu, padahal banyak uang, satu kampung 1 Milyar, uang memang bukan solusi, hanya sedikit. Saya jadi ingat apa kata Hariz Azhar dalam konten youtube yang saya nontong di Jakarta. Tiga tahun di kampung saya dengan Mama dan Bapa di rumah dalam kubur. Saya mulai kuliah setelah Mama Pergi tinggalkan saya. Sekarang sudah selesai kuliah, dirumah hanya saya, kadang dengan keponakan kalau Dia datang dari Nabire. Mama juga pergi setelah Bapa pergi satu tahun lamanya. Saya percaya mama dan bapa bertemu ditempat yang damai. Air mata jatuh melihat kuburan depan rumah, seperti Mama dan Bapa sedang tidur menjaga kampung kecil kita. Terimakasih.
Kampung Sugapa, jaringan internet tidak kencang, hanya bisa lihat pesan, lemot. Beberapa minggu berlalu, malam dengan kopi dan buku politik, walaupun Saya tidak tertarik dengan politik tapi di kampung, tua-tua adat memerintah saya harus calon DPR. Semenjak itu, saya mulai bongkar karton buku yang saya bawah dari Jakarta, hanya empat buku politik terselip diantara buku hukum dan sosial. Saya baca dalam tiga bulan dengan berulangkali. Saya selalu ingin cari buku Politik tapi Sugapa jauh dari akses, apa lagi toko buku, mimpi. Selamah tiga tahun di kampung, selain Saya dekat dengan kepala suku dan anak muda, Saya juga menjadi petugas penyelenggara Pemilu Bupati dan DPRD (PPD & Anggota Bawaslu). Bulan september, pagi jam 7, kepala suku menelpon saya.
“Halo Bapa,” Jawab saya.
“Anak dimana?,” Tanya kepala suku.
“Di Rumah Bapa,” Balas saya.
“Anak siap sudah, kita ketemu ada orang datang dari Jakarta bicara masalah blok Wabu ne, kita ikuti pembicaraanya saja anak,” Jelas Bapa kepada Saya.
“Ok Bapa siap, ketemu jam berapa?,” Tanya saya.
“Nanti kita jemput bandara baru kita duduk di Rumah” Jelas Bapa kepala suku.
Jam 11:45 siang waktu di Sugapa, Intan Jaya. Saya dengan kepala suku berangkat ke Bandar Udara menjemput orang dari Jakarta. Saya dengan kepala suku berdiri pintu keluar, jauh dari pesawat depan pintu pagar. Saya melihat wajah Hariz Azhar melangkah maju, seorang yang ingin Saya ketemu selamah lima tahun datang di kampung Saya, Sugapa, seperti mimpi, dalam hati Saya berkata”Welcome Tokoh favorit Saya.” Coper digenggem kaka pengacara asal Papua tinggal di Nabire, Dia kenal kepala suku dan Saya. Saya senang akan duduk diskusi bersama Hariz Azhar. Kami saling salam, Saya memeluk Hariz Azhar sambil saya berkata, ”Selamat Datang Pak Haris di Sugapa, Tanah anak Migani.” Sama-sama kaka,” Balas Hariz Azhar dengan santai.
Sudah jam 01:34 di Sugapa. Sinar Matahari menembus awan, tidak terlalu dingin. Kami empat duduk dirumah kepala suku, rumah kayu yang hangat, kami duduk melingkar diatas lantai beralas karpet. Saya mohon berterimah kasih kepada Hariz Azhar bisa datang di kampung kami. Suatu kebormatan. Saya cerita kekaguman Saya kepada Hariz Azhar, proses kuliah Saya dulu dan cerita tentang buku Bapa. Hariz Azhar hanya ketawa kecil. Saya cerita soal impian saya ketemu haris hingga tidak jadi dan sekarang saya duduk bersama, tidak Saya pikirkan, kini duduk bersama seperti teman. Hariz Azhar hanya senyum-senyum dengan wajah dan tubuh yang rileks, terlihat Dia menikmati alam dingin Sugapa menyukai alam yang berbedah. Tidak lama kemudian, Hariz Azar mulai bertanya tentang perusahaan yang masuk ke daerah, khususnya Blog Wabu yang direncakan.
Saya berikan beberapa laporan lisan kepada Hariz Azhar sesuai pertanyaan. Saya cukup tau tentang Tanah Air kami. Saya sudah 7 tahun lebih tinggal bersama anak muda dan masyarakat Sugapa Intan Jaya. Kami duduk diskusi sekitar 5 jam lebih, selama kami diskusi, Hariz Azhar terus mencacatan setiap jawaban yang kami berikan. Tidak terasah sudah sore, jam 16:23 waktu di Sugapa. Kami pake motor berkeliling kota Sugapa. Turun dari motor di kaki Gunung Wabu dan kami menunjukkan wilayah tambang Blok Wabu jika diexplorasi. Kampung saya bisa dipindahkan. Tapi dalam hati selalu saya berkata, Saya sekolah hukum, Saya akan kerja keras sampai titik darah penghabisan. Saya memohon kepada Hariz Azhar untuk bantu kami warga asli Sugapa Intan Jaya, Saya siap memimpin.
“Itulah wilayah Blok Wabu jika diexplorasi, bapak Hariz Azhar tolong bantu kami, kami tidak ingin kehilangan tanah kelahiran kami, dusun kami,” Mohon Saya dari atas motor hendak pulang kerumah.
“Ya, saya sudah catatat dan lihat, kami akan buat laporan kejahatan,” Jawab Haris Azhar dari tempat duduk depan.
“Makasih Bapak. Pak Haris kita cari penginapan?,” Tanya saya. Besok balik ke Jakarta, Hanya satu malam di Sugapa.
“Di Rumah kepala suku saja,” Balas Haris dengan santai.
Jam 18:45 waktu di Sugapa. Kasur dan bantal sudah siap. Kami berempat tidur berbaris dalam selimut, beberapa anak muda Sugapa Saya sudah perintahkan untuk jaga depan rumah, mereka bernyanyi-nyanyi dalam budaya sambil minum kopi tahan mata. Terlihat seperti mereka sedang kawal aspirasi mereka, aksi depan kantor dan diruas-ruas jalan. Dingin pagi membagunkan kami dari dalam selimut tebal berbulu milik kepala suku, Haris Azhar sudah bangun lebih dulu; sedang mengetik depan leptop apple, kaka Hariz menyapa Saya.
”Met pagi,”Sapa Haris Azar kepada Saya.
“Pagi juga kaka,”Balas saya. Kami dua diskusi, Dia tanya kuliah saya dan Dia tawarkan saya lanjut S2, Dia bisa urus di Jakarta. Saya mengiyakan dan akan datang ke Jakarta.
Pemuda Sugapa masih bangun dalam dingin sampai pagi, sampin tungku api dengan cangkir- cangkir kopi depan mata mereka, Saya dan mereka menjaga Hariz Azhar sampai pagi, kami bersama berharap laporannya dapat membatasi kelompok oligarki di Tanah Papua, lebih khususnya di Sugapa, Intan Jaya. Sebentar jam 10:00 waktu di Sugapa Hariz Azhar akan terbang ke Nabire dan lanjut Jakarta. “Laporan kalian saya sudah catat, kita tetap komunikasih demi untuk mempertahankan wilayah hidup kalian, kalian jangan lupa berdoa,” Jelas Haris Azhar depan pagar pintu masuk bandar udara Sugapa kepada kami. Makasih Pak Haris.
Koper hitam milik Hariz Azhar dirangkul kaka pengacara asal kota Wamena, tinggal di Nabire, berjalan pelan menuju pesawat susi air, sudah memarkir menunggu. Mereka terbang. Saya dengan pemuda Sugapa pulang berjalan kaki, biasa, kami terlahir melihat gubuk beratap daun kayu, hari-hari kami jalan kaki, pergi berkebun dan pulang; bermain dialam pohon diatas gunung berbatu emas, uranium dan aluminium. Sepanjang jalan Saya bercerita_Hariz Azar adalah pengacara ternama di Indonesia, Dia akan menyuarakan suara masyarakat Sugapa dari Ibu Kota, lebih berbisik kepada telingga Oligarki yang suka merampas kekayaan rakyat, semoga dunia tau Tanah Papua dalam garis merah, ujung perampasan negara-negara kuat dunia demi membagun Negara besi dan semen.
Beberapa bulan berlalu, Sugapa berlalu seperti biasa_ sunyi ketika mulai jam enam, suasan baru ketika Intan Jaya, ada patroli militer gabungan Indonesia, sering bunyi tembakan, kami anggap biasa saja, pertama kami panik. Waktu yang cepat, Saya mulai pikir kiamat akan cepat, seperti lamaran Kitab Suci. Tahun 2021 berlalu. Perayaan Natal tidak seperti dulu; berlari saat bulan terang picah malam hari dengan teman dihalaman Gereja dan Sekolah. Ramai. Sekarang Saya tidak melihat anak-anak seperti kami. Sunyi, mungkin karena sering ada perang. Penjara ketakutan. Suatu hari, ketika santai minum kopi di teras rumah, santai mengelus napas halus, nikmati hangatnya kopi, ”kasihan generasi ini, tidak menikmati masa kanak-kanak” pikir saya.
Bulan Febluari, tahun 2022, berbagai media ramai dengan nama Haris Azhar. Pemuda-pemuda Intan Jaya yang bekerja di Kantor Pemerintah mereka bercerita soal Hariz Azhar. Saya mendengar dan Saya mampir di tempat Wife untuk memastikan informasih, wife milik kantor Bupati. Saya ketik nama di situs google “Haris Azar” semua berita muncul, Saya baca satu per satu, termasuk laporan investigasi dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua” berhalaman 17. Ada beberapa laporan menyebutkan nama elit pemerintahan Negara bermain proyek di tanah Papua. Ada nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) di sebutkan dalam diskusi NgeHamTam di konten youtube Haris Azar.
Malam di rumah Saya, pemuda Sugapa berkumpul dan diskusi sambil kami berjemur dengan bara api, ada kopi dan teh. Saya memimpin diskusi. Duduk hingga pagi. Kesimpulanya kami berdoa agar elit pemerintah yang memegang proyek di Papua ditindas dengan hukum yang berkeadilan. Saya selalu ingat kata Haris Azhar di bandar udara Sugapa, ”Keterangan kalian saya bawah, saya akan buat laporan, akan memperkuat hasil riset kami di Jakarta,” Aris minta kami jangan lupa berdoa karena Orang Papua lawan kekuatan besar. Di seluruh Gereja, Saya sudah membagi surat untuk mendoakan upaya-upaya Haris Azhar di Ibu Kota Jakarta.
Selasa pagi Saya di wilayah Kantor Bupati, duduk depan pagar untuk keperluan Wife lagi. Wife sudah aktif. Membaca semua berita tentang Haris Azhar. Haris Azhar dan Fatia dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) ke Polisi. Berita ramai dari berbagai sumber media.
“Sudah dua kali (somasi), dia tidak mau minta maaf. Sekarang kita ambil jalur hukum jadi saya pidanakan dan perdatakan,” kata Luhut di Polda Metro Jaya, Rabu (22/9/2021) melalui media online Liputan 6. Kami sudah paham, siapa sebenarnya mereka yang ingin miliki Gunung Blok Wabu dengan menghapus kampung Sugapa. Tanah Air Kami. Kami semakin kuat dengan semua berita. Kami akan menjadi martir, kami adalah patriot sejak kecil, kami lahir dari alam Sugapa, mati dan hidup kami disini.
“Secara pribadi saya tidak akan tinggal diam dengan kasus ini dan saya akan sangat-sangat proaktif, ini saya akan melaporkan balik sejumlah hal,” kata Haris Azar dalam konferensi pers Komite Nasional Pembaruan Agraria, Minggu (20/3) melalui media CNN Indonesia.
Kami mendukung Hariz Azhar, siang malam kami duduk dengan api panas, minum kopi dan teh, diskusi tentang gunung Wabu dan perjuangan Haris Azhar dengan elit Negara. Kami akan saksikan proses hukum yang berkeadilan. Biar hanya lewat Wife Free milik kantor Bupati. Kami merasa ini perjuangan, sebelum rakyat mati, kami pemuda Sugapa lebih dulu mati. Sugapa adalah seluruh hidup kami.
Selagi napas masih ada, kami akan ada terus untuk tanah air kami Sugapa, seperti suara kebenaran Haris Azhar ,”Penderitaan orang Papua dia tidak bisa diberengus dan ditempatkan di dalam penjara,” Ujar Haris Azhar secara virtual, Sabtu (19/3) di media CNNIndonesia.
(Tulisan Fiksi, Mohon maaf jika ada kesamaan tokoh, lokasi dan waktu yang sama)