Oleh : Nomen Douw

CERPEN – Tio duduk dengan perempuan Papua peranakan Pantai dan Gunung di taman Pia Mio. Perempuan itu bernama Eca. Eca ber-rambut seperti mie goreng, berombak, kulit terang tapi tidak putih seperti orang Asia dan Eropa, tubuh tidak terlalu tinggi (162 meter), sedikit gemuk, terlihat menarik, tatapan matanya mengoda para pria, wajah loncong dengan hidung mancung kecil, Eca seperti model dalam lagu HipHop; peranakan Afrika Inggris di Amerika.

Tio dan Eca berkenalan beberapa bulan yang lalu melalui media sosial, mereka dua berkomunikasi lama dengan waktu yang berbedah, diskusi yang terus bersambung lama tentang sejarah Papua, Kongflik Politik dan seterusnya Eca lebih banyak ajak Tio membaca buku, Tio merasah berat karena Tio tidak terbiasa dengan membaca apalagi buku. Tapi, Eca terus ajak Tio baca dengan menggirim foto Eca sedang membaca buku di kedai kopi dan di rumah diatas meja belajar.

Tio mulai cari buku dan foto lalu kirim, padahal Tio hanya membaca dua tiga halaman. Dalam seminggu, Tio membeli buku baru karena Eca. Eca buat Tio membagi uang membeli buku dan berjalan-jalan. Tio suka jalan-jalan seperti Agustinus Wibowo dan Lewison wood dalam buku mereka.

Story media sosial Tio dengan buku, Eca beri emoji love, tapi kalau foto hanya perjalanan, Eca tidak perna respon, hanya melihat. Mereka berdua saling bertanya, menjadi teman dekat. Eca, bapaknya asli Papua gunung, mamanya asal Papua Pantai. Eca baru selesai kuliah di New Zeland dengan jurusan Bachelor of Arts di kampus UC. Mereka dua lancar, diskusi lewat udara, facebook, instagram dan whatsApp. Eca kuliah Antropologi tapi Dia pembaca buku umum yang konsisten.

“Io, ko tunggu sa di?” Tanya Eca setelah Tio ajak bertemu. Hari rabu sore, jam empat lewat lima menit.

“Sa tunggu di Dunkin Donuts, sa teraktir ko,” Jelas Tio siap otw dengan semangat.

“Jangan tempat begitu, cari tempat yang biasa saja!,” Balas Eca. Eca bigung dengan kata biasa.

“Biasa kaya bagimana Eca?” Tanya Tio.

“Jangan yang elit-elit, mahal dan terlalu kapitalistik. Ko stop bikin kaya dengan sa,” Balas Eca, pikiran Tio salah, Dia pikir Eca suka tempat seperti luar negeri di Papua. Rupanya Tio salah, Eca berbeda dari kebanyakan yang Tio lihat ata ketemu.

“Sa tunggu di Pia Mio?” Tanya saya, ajak duduk di taman seperti Taman Imbi di pusat kota. Dia setuju dan balas,”oke itu pas, nanti sa bawah gorengan dan minum. Ko tunggu saja.”

Sampai di taman Pia Mio, duduk menunggu 30 menit. Angin kencang yang sejuk menyambut hangat tubuh, sejuk. Eca datang menggendong totbek putih dibahu kirinya, berisi buku bacaan, Eca berpakean hitam-hitam, bersepatu kuning, bergaya layak perempuan Afrika. Farfum begitu dekat hidung, Tio ingin peluk tapi Eca teman dekat Tio. Eca bawah gorengan pisang dan air aqua putih. Sambil Eca beri Tio air putih dan meletakannya gorengan diatas meja kayu yang lapuk,”Sederhana to?” ucap Eca. Tio hanya diam dengan kaku, Eca menyalah seperti kebanyakan perempuan di kota. Tapi, Eca sederhana dalam beberapa hal.

Tempat yang sejuk, anggin mengerakkan pohon dan benda-benda ringgan, juga rambut Eca yang panjang berwarna mie kena kecap diatas kuali dan piring. Tio tanya soal buku yang sedang ramai di dinding plarfrom media orang Papua ”Perempuan Bukan Budak Laki-Laki” kata Eca, ”belum baca bukunya tapi kalau melihat judul bukunya, wajar kalian laki-laki bicara banyak”

Eca kembali tanya sama Tio, ”Apakah orang Papua punya sejarah budak di Papua dalam kebudayaanya, walaupun budak itu pembantu dan banyak konotasi, tapi budaya pembantu itu di kota, sa tidak tau Budaya orang Papua, sa tidak perna ketemu kasus seperti itu di keluarga Papua, tapi kalau kita kore dengan teori kontenporer itu ada, tapi apakah itu urgen, kita akan lebih baik dari sekarang?

“Yang sa tau, budak tidak ada, mungkin karena orang Papua anggap manusia lebih penting untuk keberlanjutan bangsa, ini pun sama-sama dipahami antara perempuan dan laki-laki. Sejauh ini tidak ada masalah kok, apakah dengan kita protes soal budak, patriarki dan feminis begitu akan baik-baik, kan belum tentu, ada proses kebudayaan yang panjang,” Balas Tio.

“Sa baca beberapa catatan tentang buku itu dari teman-teman facebook, memang saya yakin, sepertinya topik buku sedikit berbedah dengan isi, sa yakin juga karena melihat rekomendasi dari penulis membalas beberapa perspektif_agak tidak sesuai dengan topik, misalnya kata “budak” memiliki makna berkonotasi negatif dan buruk, budak dibahami hitam di seluruh dunia tapi biasa saja bagi orang memahami soal isu perempuan dalam politik. Bagus kalau ada sejarah yang dijelaskan, dan tulisannya tidak memberatkan hanya pada perempuan saja tapi ada juga laki-laki disana, tapi tentu sa harus baca buku itu, jangan dulu bicara. Kita dua.” Jelas Eca coba melihat dari tulisan yang bertebaran di dinding media online.

“Kritik sebuah buku itu bolehkah, atau harus balas dengan buku?” Tanya Tio.

“Tidak harus buku juga, boleh resensi to bisa, tulis di media online, ungkap kelebihan dan kekurangan, itu sah-sah saja. Tapi harus membaca buku.” Balas Eca sambil merapihkan rambut superminya yang tertiup angin; meniup masuk diantara cela pohon dan rumbut-rumput besar.

“Kenap ko suka baca buku? selesai kuliah juga ko masih baca buku, apa yang ko pikirkan?” Tanya Tio membawah Dia berdiskusi tentang aktivitas Eca di story media online. Mereka dua baru pertama kali bertemu selama diskusi satu tahun lebih lewat dunia maya.

“Seandainya kalau kami perempuan Papua baca buku semua, kamu laki-laki tidak ada apapanya, mungkin kami perempuan yang akan menulis buku judul,”Laki-laki Bukan Budak Perempuan” dan kami berdebat setelah peluncuran buku usai,” Jelas Eca dengan bangga, Dia berdiri dan duduk dalam bicara, persis seperti orang berpidato.”Terus apa lagi?” Lanjut tanya Tio.

“Kami akan tolak laki-laki elit karena kami sadar kekayan dan tampang fisik, itu hanya soal waktu, sederhana dan mewah selalu punya masalah, tidak ada yang lebih baik kok,” Jelas Eca dengan bangga lagi. Eca tidak kaku dengan Tio walaupun mereka baru pertama kali bertemu, komunikasih dan cara duduk seperti mereka sudah lama ketemu berkali-kali.

Gorengan dan air putih tadi sudah habis, seperti ada yang berkurang dari tanggan Tio dan Eca. Tio mengakhiri perjumpaan mereka dua walaupun Eca ingin lanjut cerita, pikiran Eca banyak topik, banyak hal yang dipelari dari bacaan, Tio hanya bisa bertanya dengan hati-hati.

“Kita sampai disini e..sa ada janjian dengan teman jadi, nanti kita komunikasih lain waktu,” Tawar Tio kepada Eca mengakhiri pertemuan pertama mereka.

“Ji…cepat sekali, tapi baiklah, sampai jumpa lagi,” Balas Eca ingin lanjut bercerita tapi beriklas. Eca menggunakan motor mio hitam tadi. Tio naik angkot.

Tio pamit lebih dulu, melangkah lebih dulu menunggu taksi pinggir jalan utama. Eca datang lalu ajak Tio untuk antar pulang.

“Ko pake,” Tanya Eca melihat Tio berdiri tepi jalan.

“Taksi,” Balas singkat Tio.

“Mari sa antar,” Ajak Eca.

Rumah kita tidak saling jauh-jauh. Hanya 300 meter di satu arah jalan panjang. Waktu tidak terasah sudah jam 16:00 Wit di Papua. Sudah semakin gelap. Semakin sunyi. Eca terus bicara diatas motor dibalik Tio hingga sampai di depan rumah. Eca lanjut lurus ke rumah. Tio masuk halaman rumah membuka pintu kamar.

“Da..da…!!!,” Kata Eca.

“Sampai jumpa!!,” Balas Tio.

Share this Link

Comments are closed.