Oleh : Nomen Douw
CERPEN – Pagi pasar karang ramai dengan akrivitas orang-orang Papua dan orang-orang non-Papua. Ada orang-orang keriting berkulit hitam dan orang-orang berkulit putih berambut lurus. Mereka bersepakat; mencari uang untuk bertahaan hidup, melawan kematian di Papua, kata orang ”Papua surga kecil yang jatuh ke bumi”. Gibe duduk bersama tua-tua dalam pasar karang, tepat dibalik para-para kayu, bersama mama menjual nota (ubi), keladi, sayur, ikan goreng dan daging babi.
Tua-tua botak, satu bertopi, mereka sedang diskusi santai, saling membalas tentang agama dan Tuhan, duduk diatas potongan semen yang berbentuk huruf C. Mereka tidak bercerita tentang sains di zaman Nietzsche. Gibe, anak muda kurus yang memiliki karakter rasa ingin tau tinggi dan sedang bersemangat belajar tentang filsafat Alam, Agama dan Tuhan dari koleksi bacaan, sejak duduk di sekolah menengah hingga kuliah ia suka membaca, masuk kuliah Ia mulai suka filsafat. Gibe pernah baca-baca Nietzsche dan pemikiran kritik kepada Agama dan Tuhan.
Langkah Gibe terhenti dan duduk bergabung dengan tua-tua di pasar mendengarkan diskusi tua-tua. Gibe kaget, Ia baru bertemu orang berdiskusi tentang Agama dan Tuhan di Pasar. Gibe belum perna bertemu orang-orang di pasar berdiskusi serius, selama berkunjung ke beberapa pasar, Ia baru pertama kali bertemu hal itu di pasar karang.
“Saya rajin gereja waktu kecil hingga remaja tapi setelah dewasa jarang, sekarang saya malu pergi ke gereja lagi karena banyak orang yang rajin gereja lebih melihat cara hidup kita sehari-hari dan mereka berkata seperti kebenaran Tuhan,”kata seorang tua bertopi korpri hitam kepada tua-tua yang lain, Gibe menyimak disamping mereka seperti anak muda kecil yang sedang belajar banyak hal.
“Saya juga sama,” kata tua yang lain merasakan hal yang serupa.
“Itulah manusia membunuh Tuhan hari ini di Papua bapa, banyak orang rajin pergi ke gereja tapi moral etika mereka membunuh. Pasar ini seharusnya orang agama membawah kabar baik kesini, tidak selalu mendoakan dan berpikir seperti kebenaran Tuhan kepada orang-orang yang tidak perna ke gereja untuk beribadah, maaf bapak menurut saya begitu,”sambut Gibe mendadak, tua-tua mendengarnya kaget dan bertanya.
“Kamu dapat pemikiran itu dimana anak muda?” Kata tua-tua dengan heran, biji mata mereka memandang Gibe bertutur.
“Saya membaca pemikiran filsuf Nietzsche bagian kematian Tuhan 125, dan mendudukan pikirannya pada situasi Papua,” jawab Gibe dengan tidak banyak berpikir.
“Apa lagi yang kamu baca?,” tanya tua-tua lagi. Mereka semakin penasaran dengan apa yang Gibe terangkan.
“Dia bilang, Tuhan sudah mati, kitalah yang membunuh Tuhan,” jawab Gibe.
”Kami disini tidak berpikir membunuh Tuhan walaupun tidak pergi beribadah. Sepertinya Nietzsche yang mati di Papua, banyak orang percaya Tuhan dan banyak yang tidak tau tentang Nietzsche di Papua, Dia orang baru seperti kamu anak muda kecil di pasar ini. Di pasar karang banyak orang tidak suka pergi ke gereja tapi semua orang memiliki Tuhan, percaya pada kebenaran Tuhan. Orang-orang yang membunuh Tuhan mungkin hanya ada di gereja, diluar itu mungkin ada,” jelas tua botak berbaju hitam kepada anak muda Gibe, masa mudanya dia perna menjadi guru agama di pedalaman. Masih guru di sekolah dasar (SD)
Hari minggu pagi di kios panjang, jalan utama menuju pasar karang, jam dua belas banyak orang berpulang dari tempat ibadah Kristen dan Islam dengan wajah ceriah. Jalan utama orang-orang pergi pulang gereja dan mesjid. Tiga tua-tua dan Gibe berdiri dari pagi hingga siang, menunggu orang-orang pulang ibadah. Dua hari lalu mereka bersepakat di pasar karang untuk mencari pemikiran Nietzsche tentang kematian Tuhan dalam orang-orang yang pergi ke tempat ibadah untuk Tuhan. Mereka akan menghentikan orang-orang pulang setelah beribadah dan akan bertanya lalu mereka akan
melihat respon-respon.
“Ibu, Pak, darimana? tanya mereka kepada orang-orang yang sedang pulang dari ibadah dengan wajah ceriah berpakean ibadah rapi bersih. Untuk apa kamu beribadah?”
“Pergilah orang-orang berdosa pemalas ibadah,”jawab orang-orang yang sedang pulang dari tempat ibadah. Jawabanya hampir semua sama,”Mau jadi apa?”. Banyak yang tidak bersuara, lebih memilih menghindari pergi. Tua-tua dan Gibe berdiri seperti sosok sinting, tapi bukan gila.
Mereka kembali bertemu di pasar karang, diskusi tentang pertemuan mereka dengan orang-orang ibadah. Gibe membawah naska Nietzsche tentang “Tuhan Sudah Mati” mereka ingin mengetahui; dimana orang-orang yang sebenarnya ikut pemikiran Nietzsche, bersama membunuh Tuhan. Di pasar, banyak kelompok yang sedang mencari nafka hidup menertawakan kelompok tua dan Gibe. Mereka heran, zaman kini masih ada yang mempertanyakan tentang Tuhan.
Dua kelompok anak muda miras dibawah pondok pinang, samping mama menjual pinang, mereka meminum bobo (minuman lokal), mereka sudah mabuk, banyak bicara ketika melihat tua-tua dan Gibe serius diskusi tentang naska Nietzsche, dikatai kelompok ateis padahal teis. Diskusi, atmosfer baru di pasar karang. Ibu-ibu dan laki-laki yang berdagang terkejut melihat mereka diskusi seperti kelompok penelitian di pasar. Banyak datang bertanya, tapi mereka pergi. Merasa aneh tentang diskusi mereka tentang kematian Tuhan menurut Nietzsche. Keamanan pasar karang datang bertanya, sedikit keras. Pergi seperti orang yang lain.
“Lihat ini, Nietzsche berkata, kamilah yang membunuh Tuhan, Dia tidak wacanakan tapi benar-benar Dia bilang kita telah membunuh Tuhan. Apa maksudnya,” Kata Gibe menjelaskan naska yang Dia bawah.
“Benar, Dia mengkritik kekuasaan era Nietzsche, dimana kebenaran yang mutlak, sains ilmiah lebih hidup dari alam, agama dan Tuhan, segalah hal harus dibuktikan dengan penemuan sains ilmiah, yang lain ditertawakan,” tanggap tua bertopi korpri yang serius membaca teks Nietzsche dalam salinan milik Gibe.
“Sabar-sabar, anak muda coba kamu jelaskan, siapa itu Nietzsche? Kenapa kita harus diskusi tentang pemikiran Nietzsche di disini?” tanya tua berkepala botak kepada Gibe, meminta memperjelaskan alasan Gibe dengan semangat mengiring tua-tua membaca pemikiran Nietzsche hingga mereka harus bertemu orang-orang gereja dan masjid di jalan pulang.
Nama lengkapnya, Friedrich Wilhelm Nietzche (lahir 15 Oktober 1844-25 Agustus 1900)merupakan seoran filsuf (pemikir) Jerman dan seorang ahli filologi (ilmu tentang budaya dan manusia) yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer (pengubah). Dia menulis beberapa teks kritis terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan untuk metafora, ironi dan pepatah. Dia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme (manusia sebagai titik pusat) modern yang ateistis (tidak mengakui keberadaan Tuhan dan Dewa-Dewi)
“Jadi anak muda kamu membawah kami mencari orang-orang ibadah yang membunuh Tuhan begitu?” tanya tua-tua kepada Gibe, suaranya sedikit keras, matanya memandang wajah Gibe.
“Jadi yang kita ingin melihat adalah kritik Nietzsche pada moralitas, bagian moral inilah dia berkata ”Kitalah yang Membunuh Tuhan,” lanjut Gibe memastikan apa yang ingin melihat dari orang-orang gereja dan mesjid, bukan agama, gereja dan Tuhan tapi orang-orang yang ingin membunuh Tuhan dari dalam diri mereka, menurut Nietzsche mereka membunuh Tuhan,” tapi kalian (tua-tua) berbedah dengan Nietzsche, dia bilang memang,Tuhan telah Mati, tapi kalian tidak, kalian percaya Tuhan ada tapi tidak untuk agama karena orang-orang gereja membunuh moralitas dalam diri mereka,” lanjut kata Gibe kepada tua-tua.
“Di pasar karang sini, semua orang akan mengganggap kamu gila jika kamu teriak-teriak,Tuhan sudah mati, seperti orang sinting dalam teks Nietzsche 125 berjudul ”si orang sinting” yang dianggap gila karena karena mencari Tuhan di pasar, tapi kata Nietzsche kita bersama membunuhnya semua orang yang mendengar tidak paham, seperti jika kamu berkata disini anak muda, semua orang percaya Tuhan adalah kehidupan di pasar karang ini, mungkin Nietzsche tinggal semua tapi disini tidak, mungkin hanya Ibadah dan agama berbasis KTP negara,”ucap guru tua, menyikapi kata Gibe tentang Nietzsche kepada mereka.
Manusialah memberikan moralitas. Mana yang buruk, mana yang baik. Kematian Tuhan adalah kematian dari dalam. Sains, metafisika dan teknologi menciptakan ateisme dan terciptalah pembunuhan Tuhan, ateisme itulah membunuh Tuhan. Orang-orang pemuja kebenaran dan pemuja sainstivik adalah pembunuh Tuhan. Tua-tua dan Gibe sudah duduk hampir sore dari pagi, berbicra saling balas tentang pemikiran Nietzsche.
Orang-orang pasar karang serius mendengar, mereka merasa benar tentang pemikiran Nietzsche bagian pembunuhan Tuhan dari moralitas tapi tidak untuk pergi dari Tuhan, sains ilmiah tidak ada di pasar karang, seakan Tuhan telah membunuh mereka. Kitalah yang membunuh Tuhan, orang-orang pemuja kebenaran, seperti orang-orang pasar karang membunuh sains ilmiah untuk Tuhan.
Orang-orang pasar karang tidak membunuh Tuhan, mereka bukan menyembah kebenaran tapi mereka percaya Tuhan adalah kehidupan, ketika orang beragama yang taat datang belanja di pasar karang, tidak perna tua-tua dan Gibe berpikir tentang moralitas kebenaran pada orang-orang gereja dan mesjid yang datang. Berbedah ketika tua-tua dan Gibe bertemu orang-orang agama ketika pulang ibadah dijalan kios panjang, mereka memandangnya dari kebenaran hidup dan wujud moralitas. Orang-orang agama taat menjadi budak kebenaran menurut Nietzsche dan kitalah yang membunuh Tuhan.
“Rajin beribadahlah kalau ingin hidup benar,”kata orang-orang gereja atau mesjid ketika pulang ibadah kepada tua-tua dan Gibe yang bertanya.
“Kami tidak mengenal Ibadah tapi bagian kebenaran kami tau dari Doa, kami tidak menghakimi orang lain dengan maralitas kebenaran seratus persen,” kata tua-tua.
Sore telah membunuh siang diatas pasar karang, seakan benar-benar manusia telah membunuh Tuhan, tapi mana mungkin manusia melakukan hal itu; menghentikan keseluruhan hidup bumi? Apakah kita telah membunuh Tuhan dari cara kita menjadi pemuja kebenaran hadapan orang lain, menghakimi? bagaimana dengan orang-orang yang hidup berbedah, menyembah Tuhan dalam doa? Mungkin bagi Nietzsceh Tuhan Sudah Mati Baginnya tapi di Papua tidak ada tempat untuk Nietzsche bagian “Tuhan Sudah Mati” tapi ide lain tentang kritik moralitas, Nietzsche ada di Papua.
(Cerpen Filsafat)