CERPEN – Hotel bintang empat, Biak Beach Maraw mulai dibagun 11 Maret 1991 di bibir pantai kampung Maraw, Biak, Papua. Batu peletakan pertama dilakukan oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu kala itu. Hotel Biak Beach Maraw menjadi hotel termewah di wilayah Indonesia Timur era Kaka Bas hingga Soeharto turun tambuk. Jalur penerbanganpun dibuka dengan cepat dan intens demi membuka pengembangan pariwisata, karena kecantikan alamnya maupun kaya sejarah di masa Perang Dunia II, dan telah dicanangkan sejak 1990.
Pada tanggal 17 Februari 1996 hotel Biak Beach Maraw dibuka. Satu tahun operasional berjalan, Hotel enam lantai dengan 268 kamar ini ramai pengunjung dari berbagai daerah, entah domestik maupun internasional. Banyak orang Asia dan Eropa datang dan pergi; berwisata hollyday.
Banyak orang Eropa dan Asia menginap beberapa hari hingga minggu, lalu berlanjut ke daerah lain seperti Honolulu. Beberapa anak muda di wilayah kampung Maraw diterima sebagai karyawan tetap; menjadi petugas pos keamanan, porter, staff dapur, supervisor, dan room service. Gaji cukup_satu juta rupiah dan satu juta lima ratus. Hotel beroperasi hanya empat tahun lebih setelah berfungsi pada tahun 1996.
Tahun 1998 ada tim khusus (timsus) dari Jakarta datang ke Biak, mereka lakukan pertemuan rahasia di kamar terakhir, lantai enam, kamar paling ujung nomor 268. Pertemuan sangat rahasia dengan CEO Hotel Biak Beach Maraw bersama lima orang tim khusus dari Jakarta. Pertemuan dimulai jam 10 malam, sebelum pertemuan dimulai, jaringan wilayah hotel dipusatkan pada satu tempat untuk melemahkan kekuatan jaringan diluar kontrol.
Pertemuan telah berlangsung selamah enam jam, pimpinan TNI dan Polri turut diundang, Polres Biak saat itu; putra daerah Biak (napi), Ia bersih keras dalam pertemuan rahasia, Dia berdebat soal sikap demi nasib warganya. Dalam ruang meeting, semua sepakat dengan pimpinan tim khusus dari Jakarta_mereka siap laksanakan perintah.
“Maaf Pak, walaupun saya pimpinan kepolisian di Biak, secara pribadi sebagai anak asli, dari hati, saya menolak dengan rencana ini, tolong lanjutkan kepada pimpinan,” tegas pak Kepala Kepolisian wilayah Biak.
Komitmennya tidak berubah hingga pertemuan usai, Ia tetap menolak walaupun beberapa kali ditawari dengan beberapa indikator.
Keesok paginya, kota Biak cerah, pantai-pantai di wilayah jalan raya Maraw sangat indah, air laut naik turun di atas pasir putih, indah sekali. Tim khusus terbang pagi, kembali Jakarta membawah hasil pertemuan satu malam. Satu minggu kemudian, berita duka mengkagetkan seluruh kota karang panas Biak, Kapolres Biak meninggal serangan jantung di kediaman dinasnya. Banyak warga duka, dia Kapolres yang selalu berpihak pada warga setempat. Setelah prosesi pemakaman selesai dilantik pula Kapolres baru asal kota Manado. Dilantik langsung di halaman Kantor Polres Biak oleh Kapolda Papua.
Tamu mulai berkurang hingga masuk tahun baru 1999, namun sebelum krisis moneter 1998, era mahasiswa menduduki kantor DPR menurunkan rezim Soeharto, pengunjung hotel Biak Beach Marow sudah mulai berkurang. Tamu yang dulu dari manca negara berkurang_akses keluar masuk Indonesia timur hingga Honoluru Pasific ditutup; Hotel Beach Maraw sepih, karyawan mulai menggeluh soal hak yang belum dibayar disamping utang hotel_ Rp. 187 milyar (setara Rp 674 milyar nilai 2021) masih mengantunggi.
Pertemuan kedua, kembali di panggil tim khusus dari Jakarta; CEO hotel Biak Beach Marow dan pimpinan perusahaan yang menagani pembagunan hotel Biak Beach Marow (Biak T.D.C., Bali Tourism Development Corporation [B.T.D.C.], Bank-Exspor-Impor Indonesia dan Bank Dagang Negara dan Investor lokal Papua) di undang pertemuan di Grand Inna Bali Beach di pulau Bali pada 05 Februari 1998 sebelum revolusi dikomandangkan oleh ribuan mahasiswa di Jakarta 21 Mei 1998.
Jam sembilan malam pertemuan dimulai, ruang meeting Grand Inna Beach. Rapat dipimpin langsung oleh pimpinan tim khusus Jakarta, lengkap dengan beberapa surat perjanjian diatas meja telah siapkan sebelumnya.
“Malam bapak ibu sekalian, pertemuan ini sangat penting karena dipantau langsung oleh Negara, apapun yang kami siapkan malam ini wajib untuk disepakati bersama,” ucap sambutan pimpinan pertemuan dari tim khusus. Serius dan matanya merah, wajah keras, tak senyum, seperti seorang tentara dipasukan khusus dalam film-film actin.
“Maaf bapak ibu, kami sudah siapkan beberapa surat untuk di sepakati bersama dan kami tidak terimah intruksi apapun dari kalian karena hotel yang bapak ibu telah bangun dan mengurus adalah urusan kami dan hari ini Negara dalam keadaan kurang kondusif sehingga kami berharap bapak ibu untuk segera menyetujui surat yang telah kami siapkan diatas meja,” Lanjut pimpinan rapat dengan suara tegas. Beberapa orang keberatan dengan isi surat namun tetap menandatanggani tanpa berkata [intruksi].
“Izin pak, saya keberatan dengan poin kedua, apa alasanya tentan ini?,” Tanya seorang ibu dari Papua yang tidak menahan keberatan sambil Ia berdiri dengan berani. Ibu dari pimpinan investor lokal Papua.
“Maaf ibu, tolong ditandatanggani sekarang, ini demi Negara kita bersama,” Balas ketua tim khusus membanta pertanyaan seorang ibu, asli Biak Papua.
Pertemuan ditutup setelah semua yang berkewajiban menandatangani surat persetujuan. Hari libur hingga uang perjalanan ditanggung tim khusus dari Jakarta. Tiga hari setelah pertemuan, CEO Pemda dan Investor kembali ke Papua. Aktivitas Hotel Biak Beach Maraw masih seperti biasa, tamu tidak ramai seperti dulu sebelum pertemuan. Tamu hotel hanya warga lokal, wilayah Papua.
Pengunjung dari luar Papua dan luar Indonesia berhenti setelah penerbangan estafet Garuda Indonesia dari Jakarta – Denpasar – Biak – Honolulu – Los Angeles pulang pergi [PP] di tahun 1990-an ditutup setelah pertemuan pertama di kamar 268 Hotel Biak Beach Maraw. Banyak karyawan mulai keluar dari pekerjaan mereka; perna ada aksi protes tapi dihiraukan, tak ada perubahan dari CEO Hotel Beach Maraw.
“Saya mau keluar dari pekerjaan ini, lebih baik saya melaut dapat ikan, jual, dapat uang setiap hari,” cerita Maikel Rumbiak (asli Biak) kepada temanya Yosep Talahatu (asli Maluku), teman kerja, sama-sama bekerja di Hotel Biak Beach Maraw selama tiga tahun, mereka dua sudah menjadi keluarga.
“Kawan saya juga tapi saya tunggu tahun ini saja, kalau tidak, kita keluar sama-sama. Saya juga mau pulang kampung di Ambon sana jadi nelayan saja,” balas Yesop Talahatu mengiakan kondisi mereka selamah satu tahun lebih tidak jelas dengan gaji mereka, kerja tanpa dibayar.
“Ok kawan, kita tunggu tahun ini. Kawan besok ada acara di tower jadi saya tidak masuk kerja,” ucap Maikel kepada Yosep.
“Acara apa kawan,” tanya Yosep.
“Adat kawan,” singkat Maikel. Maikel pamit pulang lebih dulu,”Saya pulang duluan kawan, ada mau persiapan,” katanya kepada Yosep.
Tangga 2 Juli 1998 banyak orang bernyanyi, menari dan teriak yel-yel merdeka dibawah tower air dekat pelabuhan Baik. Jam enam waktu di Biak, Maikel berlari pakai motor dengan teman satu kampung Yoel Rumbin (teman dekat Yosep juga) di kampung Maraw, dari jam lima warga sudah ramai, bendera bintang kejora berkibar kencang, anggin pantai Biak, sepertinya bendera itu ingin berkibar hingga nanti dan nanti, Maikel sedih melihatnya, air matanya jatuh sendiri, Ia bersama teman Yoel berdiri bergabung dalam barisan, berdiri tegak melihat bendera yang berkibar bersama langit biru; diantara nyanyian senduh yang bercerita tentang leluhurnya yang pergi (Mambesak, Black Brother).
Maikel bersama Yoel bertahan hingga enam hari bersama ratusan warga dibawah bendera, tanggal enam, mereka berhadapan dengan tentara AU (angkatan udara), AD (angkatan darat) dan AL (angkatan laut), mereka datang dengan satu perintah “bubarkan paksa” bunyi senjata seperti bunyi merjung di malam kunci tahun, banyak orang berlari, ada yang ditangkap dan dipukul, ada yang berhasil lari, ada yang kena tempak lalu terbaring diatas batangan semen dan kayu dijalan, Yoel dan Maikel berpisah diantara orang-orang yang berlari.
Yoel berhasil lari, Maikel Rumbiak diantara beberapa orang yang kena tembak, Ia berbaring lemah, napas tersendak-sendak tepi jalan, luka tembak didadah, darah seperti air yang meluber dari kantong, tidak lama, hanya lima menit Maikel tarik napas. Ia menghembuskan napas terakhir, darahnya habis dari tubuh, bola matanya melihat bendera yang berkibar diatas tower, Maikel sudah tak bernyawa, matanya terbuka, tertuju pada bendera hingga Ia dibawah kerumah sakit. Maikel Rumbiak, karyawan Hotel Beach Maraw telah meninggal, Ia telah keluar dari pekerjaanya, tidak menunggu satu tahun ikut temannya Yosep. Ternyata hanya satu malam.
Yoel sampai di kantor Manager Hotel Biak Maraw setelah ia mendengar Maikel meninggal kena tembak, setelah lapor, jawabannya mereka tidak bertanggung jawab; kejadian di luar wilayah hotel. Yoel berbalik ke kampungnya, desa Maraw. Yoel didatanggi Yosep sementara jalan pulang.
“Yoel ada apa?,” panggil Yosep dan bertanya.
“Maikel meninggal kena peluru di tower, saya berhasil lari, mau pergi lihat tapi situasi masih kacau disana,” Jelas Yoel Rumbin kepada Yosep Talahatu, wajahnya sedih, matanya berkacah, Maikel adalah sahabat baik Yoel dan Yosep, mereka punya cerita di kampung Maraw, khususnya laut yang alami dan pantai pasir putih yang indah.
“Cukamaiiii, kenapa kawan, jalan kita baku pukul,” tegas Yosep mendengar Maikel sudah tiada, Yosep nangis depan Yoel, wajah tiba-tiba merah marah, mereka berpelukan.
“Sudah Yosep, tenang, Ini bahaya kamu mau lawan tentara gabungan ka?, tidak mungkin, kita duduk di pantai, ayo jalan,”ajak Yoel tenangkan Yosep yang sedang marah, ingin membalas demi temanya.
“Saya akan keluar dari pekerjaan bodok yang tidak jelas itu, hanya perbudak kami, cukamai eh..,” jelas Yosep mendengar Yoel menjelaskan_tadi dari kantor manager Hotel Biak Beach Maraw.
Topik berita ramai dengan kejadian di tower air, banyak media melipunya, media asing ikut memberitakanya diluar negeri. Tahun 1998 hingga 2000 berbagai saluran media ramai, Negara Indonesia disoroti atas tindakan depresi dan membatasi hak berpendapat dimuka umum. Akses keluar masuk Biak terganggu hanya karena berdarah dibawah tower air. Akses dan aktivitas di Hotel Biak Beach Maraw berhenti dan aktif kembali 05 Januari 1999. Banyak karyawan memilih keluar walaupun sudah aktif, Yosep Talahatu, teman dekat Maikel Rumbiak dan Yoel sudah keluar lebih dulu; banyak pemuda asal Biak yang bekerja, sejak hotel bintang empat ini aktif pada tahun 1996 of permanen.
Operasional berjalan baik tapi tidak seperti dulu (1996-1998), ada tamu dari luar dengan tujuan wisata lanjut Honoluru Pasific, ada tim dengan beberapa utusan dari luar Negeri untuk melihat Biak dari dekat menginap di hotel Beach Maraw. Karyawan sudah tidak banyak, ada karyawan baru, kebanyakan didatangkan dari luar Papua untuk menggisi kekosongan setelah banyak karyawan memilih berhenti. Hotel Biak Beach Maraw menjadi pusat kegiatan dari berbagai eleman masyarakat dan kelas elit (1999). Isu Biak berdarah masih menjadi buah bibir masyarakat civil sosety dan lembaga aktivis dalam negeri hingga luar negeri.
Pertemuan ketiga, tanggal 13 Juni 2000, tim khusus dari Jakarta bertemu pimpinan manager Hotel Beach Maraw dan pimpinan daerah di kamar yang sama; di kamar pertemuan pertama, paling ujung lante enam, kamar nomor 268. Pertemuan jam sepuluh malam waktu di Biak. Tamu dari luar di cloased selama dua hari pertemuan dua malam, hanya dimalam hari. Satu minggu hotel sepih, ada pertemuan, masuk minggu kedua setelah tim dari Jakarta kembali; semua manajemen dan karyawan dikumpulkan dibayar satu orang satu juta lima ratus ribu dan liburkan selamah satu bulan. Tanggal 27 Juli 2000 hotel ditutup, semua manager CEO dan pemilik Hotel Beach Maraw menghilang, seakan akan ada perang atau ada ancaman nyawa jika Hotel Beach Maraw di buka setelah pertemuan dua malam di pertemuan rahasia ketiga.
Hotel Beach Maraw yang indah dan mewah sudah tak indah dan mewah oleh waktu, rumput telah bertumbuh dengan cepat dan warna telah pudar. Tahun 2008, Hotel Beach Maraw sudah dibongkar, kolam renang sudah seperti kolam ikan Lele dan Mujair, tinggal indah hanyalah Pantai Maraw yang putih menawan dan bersih air.
(Cerpen ini perna dimuat di wagadei.com)