CERPEN – Seperti kaget dari tidur. Bunyi langkah masuk lobang telinga. Terbangun setelah bunyi langkah berulangkali mengganggu tubuh yang tidur dalam lemas. Langkah dikejauhan mendekat. Kaget bangun dan saya duduk di ujung tempat tidur pasien. Ia ada disana, bunyi gesek semakin kecil tapi semakin nampak dekat. Pakean suster mencolok dalam cahaya lampuh pijar redup. Ia berjalan pelan mendekat posisi saya. Genggam kuat tongkat besi yang sudah berkarat. Menunduk arah tanah dan tidak mampu menggangkat kepala dengan usia yang sudah puluhan tahun.
”itu suster tua,”pikir saya.
”tapi kenapa jam malam begini, apakah itu pasien? tapi sudah jam malam tidak mungkin,” lanjut pikir saya dalam hati sambil berdiri dari duduk, saya agak panik.
Malam jam 02:54 waktu di Bayangkara. Hampir jam 3 subuh. Perlahan, Ia mendekat di posisi saya berdiri. Saya semakin melihat jelas dan keresahan saya tiba-tiba pergi dari pikiran. Entahlah apa yang membuat saya berani tiba-tiba. Sekali Ia melambai tangan dengan berat, memanggil saya jangan pergi. Ia berkata tapi suaranya jauh dalam tenggoron. Hanya gerak mulut dan saya tidak mendengar.
Dari kepanikan, tiba-tiba saya tersyenyum, hampir berhadapan. Hanya dua meter dari saya berdiri. Ia memberikan tangan kanan maksud memberi salam. Dengan berat saya membalas beri tangan kanan. Kulitnya lembut terasah tipis, seakan saya genggam tulang. Setelah salam, Ia tidak melepas tangan saya, menggengam lebih kuat tidak lepas. Saya menunduk untuk mendengar suara kecil dalam tenggorokan dan memastikan wajah. Saya mencium parfum zwitsal asal Belanda, saya memandang wajahnya dekat. Ia perempuan bule, sudah lanjut usia dan nenek.
”Suster Tua Belanda,” pikir saya.
“Anak muda, aku suster Aalbers,
kepala perawat waktu rumah sakit ini masih dengan nama Algemenr Centrale Ziekenhuis. Usia aku sudah 81 tahun. Aku datang bertemu dengan kamu untuk beri kamu beberapa cerita penting. Kita akan berkeliling wilayah rumah sakit ini dan melihat beberapa tayangan yang menyedihkan. Aku terluka dengan cara mereka. Ayo anak muda kita jalan,”ucap ajak suster Aalbers melangkah, suster tua Belanda, eks kepala perawat ACZH Belanda.
Masih menggenggam tanggan saya. Kami berdua melangkah pelan. “Jangan melepas tanganku,” kata suster tua. Saya tidak membalas satu kata selain mengiyakan dengan bahasa tubuh. Berjalan keluar dari ruang Delima dengan perlahan, lambat mengeser tongkat besi yang sudah karat. Suaranya tiba-tiba jelas. Saya bisa mendengar jelas setiap penjelasan sambil Ia menunjuk dinding bangunan dan benda-benda milik Belanda yang masih dipakai sekarang.
“Lihat ini anak muda, aku masih ada disini, Negaramu adalah aku, Negara mereka tidak mampu berikan sesuatu yang benar-benar serius, mereka malah menyiapkan kematian dengan cara pura-pura mengobati dengan sehat. Aku setiap hari disini, setiap menit disini, aku menyaksikan kekuatan Negara keluar masuk disini. Mereka mengalihkan yang sebenarnya untuk kalian tidak hidup, membiarkan sistem yang buruk. Aku melihat itu setiap detik, aku adalah ini anak muda,” kata suster tua dengan suara agak tinggi sambil tongkat tua mengetuk tembok dan menunjuk panel kontrol listrik pada dinding.
Malam belum pergi cepat, waktu sudah jam tiga menuju jam empat. Saya melihat dokter muda semua tidur pulas di meja piket, mereka mengenakan baju hijau muda bertopi medis seperti kelambu kecil menutup rambut. Mereka tidak kaget bangun karena suster tua dan saya lewat depan. Gesek tongkat dan cerita suster tua. Saya melihat Salomina Sayuri mengandangkan kepala diatas meja, Ia tidur, ada dua teman kos ikut tidur.
”Suster itu dokter muda namanya Salomina Sayuri, aku menyukai dia beberapa hari ini,” kata saya, harap Suster tua membagunkan dia dan kita berjalan bersama.
“hey!!! anak muda, dia baik, saya melihat dia semenjak memulai kos disini, tapi hati-hati, ada beberapa dokter muda yang sudah dalam sistem yang buruk membantu mereka, ada juga yang dipantau dari luar. Memperlambat proses yang sebenarnya. Waktu dinas mereka tidak seperti dulu, sekarang mereka kasihan, tapi saya percaya mereka terbaik untuk daerahmu anak muda,” balas suster tua Belanda.
“Suster tolong bangunkan dia, kita sama-sama jalan, saya menyukai dia,” kata saya harap pada suster tua.
“Aku tidak ingin bicara cintamu anak muda, mereka ada diruang lain kita berbeda, tolong jangan ganggu perjalanan ini dan kita lanjut anak muda,” balas Suster tua kesal, tidak ingin peduli masalah pribadi.
Tiba-tiba di ruang lain, cepat, seperti suster menekan tombol megic. Ada tulisan putih pada papan hijau ”Kamar Operasi” berjalan pelan dalam ruang dingin dan gelap, berdiri di ruang merah dari lampu merah. Terlihat dari pintu masuk, ada dua dokter dengan pakean operasi sedang sibuk memotong daging dari tubuh manusia hitam berbulu. Ada yang aneh. Diatas meja putih saya melihat botol bir bertulisan ”bintang” ada botol wiro bertulisan ”robinson” dan dua gelas bening, lainnya saya melihat alat operasi pasien.
Dua dokter bertubuh tinggi kekar sedang sibuk memotong-motong sambil bercerita tawa, asap rokok full, terlihat dari cahaya lampu merah. Bau tercium hingga pintu masuk kami berdua berdiri diam, saya menutup hidung setelah menghirup asap yang mengantar bau daging menta manusia dan rokok.
“Anak muda, sudah lihat itu? itulah yang membuat aku menanggis setiap hari disini, seperti itulah mereka lakukan kepada kalian. Ini bukan ruang operasi yang benar lagi, mereka melihat uang untuk operasi yang benar dan ada pembunuhan disini setelah ada jaminan lain. Setiap hari aku rindu Dokter Jacob Sjoerd de Vried, dia Ahli Bedah yang membantu banyak orang dengan gratis, dia jujur dan ikhlas, banyak orang tertolong waktu itu, pada tahun 1950-1962,” kata suster tua di pintu masuk ruang operasi. Sedih, emosi dan takut hilang mendadak setelah suster tua melambai tangan, menyuruh saya jangan pergi dengan suara yang saya tidak dengar.
Tangan terasa sakit, seperti sedang digenggam tangan robot, seakan suster khawatir saya pergi. Jalan ruas panjang diatas lante dua menuju ruang anak dari ruang operasi. Sebelum sampai di ruang anak, ada suara diruang lain, langkah suster tua dan saya berhenti. Suster tua berhenti dan Ia menyuruh saya dengar lebih baik. Saya dengar beberapa dokter anak diskusi keras, dua dokter saling berdebat hingga marah. ”harus operasi, tidak!, harus operasi, tidak!.”suara dua dokter dari ruang anak.
“Kenapa mereka berdebat soal melahirkan operasi dan normal,” tanya saya melihat biasa saja.
“Dulu kami tidak debat, kami semua berusaha melahirkan normal, sekarang tidak, ada dokter yang selalu ingin melahirkan operasi dengan tujuan sistem lain, aku sedih, aku menyaksikan dengan sedih dari dekat, aku adalah ini, aku masih ada, seharusnya mereka membongkar dan lakukan semua yang buruk ini tanpa aku melihat, aku tidak sanggup melihat ini semua anak muda,” kata suster tua dengan sedih campur kesal menunjuk besi tua yang keluar dari bangunan batu lama.
“Lihat itu, apa yang mereka lakukan di ruang perinatologi disana? anak muda lihat kan?” ajak suster tua perlihatkan operasi kandungan oleh dokter. Saya melihat jelas, ada lembar kandungan yang di sengsor dengan alat digital. Laser keluar masuk.
“saya melihat. Ada apa itu suster?” tanya saya.
”itu kejahatan anak muda, tidak seharusnya demikian,” balas suster tua dengan suara sedih.
Hanya menyaksikan tidak membalas. Tiba-tiba sampai di ruang belakan, ruang mesin listrik otomat yang di kelolah oleh dua ahli teknisi Belanda, Mr Tabarima dan Lakota. Ada tangga tua yang turun dari bukit ke ruang lain. Suster tua berhenti tidak turung. Bunyi alat berat, membongkar gedung Belanda yang sudah tua, sisa rumah sakit dengan nama “Rumah Sakit Hijau Dengan Senyum Kasih Yesus Kristus” di bangun tahun 1940 dengan dana $.2-Juta Dollar Amerika. Menjadi pusat pendidikan kesehatan Papua saat itu.
“Aku jadi ingat direktur rumah sakit yang buruk, Dokter Tamrin pada tahun 1970-an, Ia direktur yang jahat setelah beberapa direktur yang lain, Dokter Tamrin banyak merusak alat pelayanan dengan cara membawa keluar alat medis dari Papua, dari rumah sakit ini. Mungkin Dia sengaja karena banyak pejuang Papua merdeka berobat disini dan tertolong, aku ikut menjadi medis andalan saat itu. Sekarang aku hanya ini, menjadi saksi bisu pada kejahatan pada kalian anak muda,” jelas suster tua sambil memandang operasi alat berat merusak gedung tua dan ia menunjuk besi tua. Saya melihat wajah keriputnya sedih. Saya biasa saja.
“Aku adalah yang tersisa, mungkin mereka ingin aku menyaksikan segalah hal yang aneh untuk negaramu anak muda. Waktu kita tidak banyak, saya tidak mampu memperlihatkan semua hal dalam setiap ruangan, aku tidak mampu untuk ini, aku yang salah menjadikanmu Negara tapi sekarang aku hanya ini. Aku akan mencoba membawamu lagi jika ada waktu. Tapi tunggu, ada satu ruangan kerakhir yang anak muda harus lihat. Aku tidak ada disana. Dulu area olahraga dan helipet untuk orang sakit dari luar kota dan kami mengobati disini. Sekarang gedung tinggi yang kosong. Kamu lihat disana dilante paling atas,” jelas suster tua sambil Ia menunjuk ruang yang terbuka dalam gelap. Saya melihat terasa dekat, mengenal wajah orang disana.
“Apakah anak muda kenal mereka?” tanya suster tua.
“Ia saya kenal tapi Ia tidak mengenal saya,” jelas saya.
“Dia pemimpin yang menyedihkan hari ini, jangan menjejaki. Dia banyak bercinta dengan perawat disini, aku adalah ini, aku menyaksikan dari dekat seperti aku menyaksikan hal lain tadi. Anak muda, jaga diri baik, ini bukan solusi bagi Negaramu, semua telah berubah dan hati-hati menjadi baik dan buruk, sama-sama memiliki resiko yang besar untuk daerahmu,” kata suster tua sambil melepas tangan saya. Saya seperti terjatuh dan tertiup angin, menjauh dari tempat yang lain, terbawah pergi dalam lorong dengan kilat. Perlahan saya mendengarkan banyak langkah kaki.
Terbangun perlahan dengan kaget, yang kedua kali. Bertemu aktivitas para dokter muda lewat disamping saya duduk, setelah tidur panjang, tapi berjalan dengan suster tua Belanda. Waktu sudah jam enam lebih tiga menit. Suster tua diusir terang pagi yang datang. Seperti genggaman tangan yang tiba-tiba lepas dan saya berpisah dengan cerita suster tua.
“Om pagi,” kata dokter muda.
Seakan saya keluar dari dunia lain dan kita berjumpa kembali. Suasana dokter muda koas bergegas menunggu dokter mereka datang. Mereka bangun pagi sebelum terang menguasai gelap. Mereka bertugas untuk nilai yang positif. Salomina Sayuri sudah bangun, Dia disana dengan kulit hampir kuning dengan bola mata yang saya suka; sibuk membuka buku hijau dan mencatat serius. Malu-malu saya melihat matanya diatas masker putih, memandang hanya sebentar. Akh! malu.
“mimpi atau nyata,” bertanya pada diri sendiri. Tapi mereka ada seperti dalam perjalanan tadi, tidak ada hanya suster tua Belanda, tapi Ia dalam setiap kata selalu berkata aku adalah ini, Ia menunjuk tembok bagunan Belanda yang masih di pake dengan renovasi. Mungkin suster tua hanya bagunan Belanda yang masih merawat orang-orang sakit dan menyaksikan berbagai hal. Ia adalah tembok, besi dan daun seng yang Ia tunjuk dengan tongkat besi karat sambil berkata ”Aku Adalah Ini”
“Suster tua Belanda adalah ini,” kata saya dalam hati menyentuh bagunan Belanda di ruang Delima.
(cerita ini hanya fiksi,mohon maaf jika ada penamaan nama dan tempat)