Oleh : Boma Sepi

CERPEN – GULITA malam bergilir dengan terang benderang hari Senin pagi. Mentari pagi bersiap-siap memancarkan sinarnya. Namun sebelumnya, Anison sudah bangun sejak dini. Saya sementara masih belum bangun dari tempat dimana saya terlelap tidur di dalam kamarnya Anison. Sinar matahari kian bergegas menindis kepala dirinya secepat kilat dengan berat muatan berapian.

Panas sang surya terindikasi akan memancarkan cahaya berapian seketika sudah memasuki jam siang seperti lazimnya. Selayaknya sesuai dengan kondisi lingkungan hidup warga di daerah panas seperti di Nabire ini.

Karena akibat kepanasan matahari, kadangkala aktivitas warga terganggu dan menjadi korban. Demikianlah nasib pedagang mama-mama Papua di Pasar Karang Nabire, Papua Tengah. Begitu pun, keringat mengguyur tubuh, terbakar dan membakar kulit akibat panas sang surya. Seolah-olah bungkusan matahari kebuka terpecah belah.

Semisal orang semacam saya ini, jika kena panas matahari sangat dilematis. Mudah menyerah juga putus asa. Malas untuk mau melakukan sesuatu hal-hal yang layaknya dikerjakan atau dilakukan sebagai anak muda energik. Barangkali tubuh kecil saya mendidih, menyirami sekaligus memandikan keringat bagai air terjun Kipouwo deras mengalir arus kali Koto.

Pagi itu jarum jam menunjukkan pukul delapan, sedikit lagi menjemput panas matahari. Seantero penghuni Asrama Putra Paniai atau Aspan Nabire tampak sunyi, orang pada kosong. Hanya satu dua mahasiwa para penghuni, sisa dari tersisa yang masih berada dalam kandungan asrama tapi mereka saling diam bisu dalam kamarnya.

Ada pula sebagian besar penghuni Putra tampak bersiap-siap hendak pergi ke luar. Sehabis mandi mereka sedang memakai celana panjang, baju berkerak sama sepatu, tambah lagi mengenakan almamater kampusnya masing-masing. Tak lupa juga tas atau noken menyandang dekat bahu.

Demikianlah, mereka terlihat tampak ganteng, tampang jenius dan makin menarik perhatian hati para bidadari. Sembari mereka mempersiapkan diri hendak berangkat ke kampus ataupun pergi ke sekolah, mata saya kebuka bangun dari lelap tidur yang panjang nyaris memakan delapan jam.

Mereka bukan hanya bertujuan ke sekolah dan pergi ke kampus saja. Selain itu juga, ada penghuni lain yang hendak pergi berangkat ke tempat atau tujuan tertentu. Maklum bahwa mereka merupakan siswa dan mahasiswa tentu punya perihal urgensi yang mesti diselesaikan, yang menjadi keluhan, keperluan serta aktivitas seharian mereka yang barangkali kepadatan.

Semisal mahasiswa studi akhir yang sedang dalam tahapan PKL, KKN, Proposal, Skripsi sampai yang mau Wisuda 2023 pergi memadati Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Papua Tengah untuk masukkan “Permohonan Bantuan Dana Studi Akhir” atas permintaan Pj. Gubernur Provinsi Papua Tengah Ibu Dr. Ribka Haluk, S.Sos.,M.Si.

Mahasiswa penghuni Asrama Putra dan Putri Paniai di kota studi Nabire ini berstatus kampus serta prodinya cenderung berbeda-beda. Ada mahasiswa USWIM, STAK, STT-WP Nabire, PGSD, AKPER, dan ada juga beberapa kampus serta sekolah bagi pelajar/siswa.

Meskipun mayoritas mahasiswa bahkan pelajar Meeuwodidee (Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniyai termasuk Intan Jaya khususnya) bertekad, berniat serta berambisi cukup besar dan mempunyai inisiatif untuk pergi kuliah di luar kota Nabire sekalipun, kalau berbicara soal banyak sedikitnya kedudukan mahasiswa dan pelajar, Nabire sangat padat selalu meraih juara (jika ada tenaga pendataan spesifik yang disipkan oleh dan dari pemerintah daerah tentunya).

Setiap tahun angkatan di kota studi Nabire selalu meningkat bertambah selain Papua Barat di Manokwari dan Papua di Jayapura. Sampai kepada di luar Papua, semua kampus-kampus selalu padat dengan mahasiswa yang lahir dan besar di Papua khususnya yang berasal dari Meeuwodidee.

Hampir semua mahasiswa membanggakan dirinya dengan memukul dadah bahwa “saya berasal dari kabupaten/kota dimana mereka berasal”, tetapi sama sekali tidak ada perhatian serta kepedulian satu pun dari pemerintah daerah terhadap mahasiswa itu sendiri sebagai aset daerah setempat.

Kemauan dan ambisi serta kesukaan para siswa dan mahasiswa kebanyakan kerap terlihat nyata. Bahwasanya adalah bertujuan hanya untuk mau jelajah atau bepergian, berpetualang atau beterbangan, soal merantau demi studi atau berjuang menuntut ilmu masih dalam angan-angan, ragu-ragu serta berkemungkinan besar ada maunya.

Tentu saja, suatu ketika setelah selesai ataupun tidak dalam studinya, tetap akan berpulang kembali mendarat di Bandar Udara yang menaiki pesawat. Dermaga Samabusa bagi penyuka pelayaran kapal laut.

“Kitalah putra-putri terbaik Meeuwodidee.”

Kedua Asrama Putra dan Putri Paniai di Nabire ini,  berkedudukan alamatnya di Kelapa Dua Kalibobo, Nabire Papua Tengah. Kedua asrama ini dibangun atas landasan motto “Awetako Enaa Agapida” oleh pemimpin idealis sekaligus realis Bapak Naftali Yogi, S.Sos (almarhum) ketika menjabat Bupati Kabupaten Paniai Periode 2009-2014 silam.

Tentang latar belakang akan terbangunnya kedua asrama Putra dan Putri ini, sampai sekarang belum saya mengetahui atau memahami serupa. Bukan hanya di kota Nabire tetapi hampir semua kota seluruh Nusantara beliau bangun asrama permanen khusus siswa dan mahasiswa asal Paniai untuk layak tinggal atau huni.

Itu sebabnya, kenapa dan untuk siapa kedua asrama ini terbangun lengkap dengan fasilitasnya di kota Nabire? Tapi jelasnya, kedua asrama ini dapat disediakan atau dibangun guna mahasiswa asal Paniai agar bisa bersekolah atau berpendidikan di kota Nabire, Papua Tengah.

Karena itulah, sebagai bentuk ucapan syukur, sebagai rasa berterimakasih kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Paniai maka mereka nyalar merayakan hari jadinya (HUT) kedua asrama ini; (entah tanggal, bulan serta tempatnya di mana dan kapan?)

Jadi, saya ingin menyarankan atau memberi sebuah petunjuk kepada para calon mahasiswa asal Meeuwodidee (Paniyai, Deiyai, Dogiyai) yang sampai sekarang enggan melanjutkan perguruan tinggi lantaran tidak punya tempat tinggal.

Kendati kalian tidak mempunyai tempat tinggal, belum mempunyai keluarga serta menimbulkan berbagai macam alasan yang berkaitan erat dengan tempat tinggal, boleh langsung interaktif, konsultatif, koordinatif sekaligus kompromi dengan Pengurus Kedua Asrama Putra dan Putri Paniai di Nabire supaya mereka akomodasikan tempat buat kalian bisa tinggal/huni.

Sekalian meminta petunjuk serta pengarahan terkait betapa akses menjadi penghuni tetap pada kedua asrama tersebut. Sebab kedua asrama ini terbuka untuk umum, namun mengikat pada tata tertib, prosedural serta mekanisme organisasi asrama tersebut supaya mereka boleh dapat memberikan penjelasan kemudian kalian bisa layak tinggal/huni.

Kedua Asrama Putra dan Putri ini, ketika saya melihat, mengamati dan mencermati selama satu minggu tinggal-tidur di Asrama Putra Paniai di kamarnya Anison, penghuni bukan hanya yang berasal dari Paniai tetapi juga dari Dogiyai dan Deiyai. Untuk itulah, maka saya menyimpulkan serta yakin dan percaya bahwa mereka para penghuni akan menerima dengan penuh kasih dan hati terbuka kepada siapa saja, entah dari mana asalnya.

Kalau sudah begitu, tentunya ada nilai-nilai keunikan yang mesti dipetik, dijaga dan dipelihara anak muda yang sedang berkembang. Dan juga cara-cara serupa yang mahasiswa Paniai lakukan ini merupakan upaya mempereratkan serta mempersatukan sekaligus menghilangkan keegoisan daerah, wilayah bahkan dialek-dialek sesuai dengan kondisi geografisnya. Ini sesungguhnya sangat luar biasa dan menarik perhatian publik ketika dipandang orang diluar sana.

Satu lagi adalah apabila ada pertemuan/rapat/diskusi internal penghuni Putra dan Putri kedua asrama ini, mereka para penghuni rajin nyalar berkumpul dititik. Jika tempat pertemuan/rapat/diskusi itu sasarannya kena di asrama Putra berarti semua yang tinggal/huni di asrama Putri bakal merapatkan barisan untuk membahas agenda-agenda yang sudah ditentukan atau ditetapkan di asrama Putra bahkan sebaliknya di Asrama Putri Paniai di Kalibobo Nabire.

Sejumlah tata tertib juga terpampang di depan pintu gerbang kedua asrama. Supaya segenap penghuni juga para tamu mesti harus mematuhi dan menuruti tanpa terkecuali.

Salah satu poin, (1) jika ada penghuni sah yang ingin mau bermalam di luar asrama harus ada pelaporan ataupun seizin pengurus asrama; poin (2) saat makan tidak boleh ada keributan apalagi berdiri keluar masuk lebih dari satu kali (kecuali mau bab/bak), itupun harus izin keamanan.

Bukan hanya dua poin ini, selain itu ada beberapa poin yang menjadi pusat perhatian bagi seluruh penghuni maupun pengunjung. Saya juga pernah mendapat hukuman satu kali oleh keamanan yang jaga kami saat makan malam.

“Saat makan tidak boleh ribut.” Poin kedua ini yang menjadi pelanggaran saya saat makan di hari malam itu. Kemudian keamanan kasih kami lima orang dengan sangsi yang sama yakni timbakan air lalu dibagikan satu-satu mangkok air putih itu kepada tiap-tiap atau masing-masing orang yang ada dalam ruang Aula Asrama Putra sehabis santap.

Saya mendapat hukuman itupun berulah dari beberapa ade-ade penghuni asrama yang duduk berdampingan sama saya yang dimana mereka menceritakan suatu ceritera yang cukup menarik perhatian saya sampai bikin ketawa setengah mati.

Hampir saja saya mau melempar atau membuang nasi yang sedang saya makan itu di muka si humoris (belum tau namanya) tapi tak kelepasan. Saya rem karena kebetulan para penghuni rata-rata pada diam, suasana teduh, tenang, mereka bakal hormati dan hargai makanan yang sudah tersaji dan sedang mereka cicipi itu.

Semua ade-ade mahasiswa penghuni Asrama Putra baik-baik, ramah-tamah dan sopan santun. Mungkin penghuni Asrama Putri juga tentunya, tetapi barangkali saya lupa atau belum pernah mampir main-main, jalan-jalan ataupun cerita-cerita sama mereka secara tatap muka.

Jadi di sini, belum bisa saya menyimpulkan bahwa mereka baik atau tidaknya! Soalnya saya belum sempat mengenali, memahami, mendalami dan mengetahui serta merasakan tentang kebaikan mereka saat saya berada di Asrama Putra lamanya hampir satu minggu itu.

Kadang-kadang mereka berkumpul di asrama Putra atau di Putri untuk makan siang ataupun makan malam berbarengan atau bersama-sama, laki-laki juga perempuan sudah terbiasa duduk bercampuran tidak untuk berpisah-pisah atau bikin kelompok sendiri-sendiri.

Saya lihat dan amati, teman-teman perempuan penghuni Putri hampir tiga kali mendatangi makan malam bersama dengan laki-laki di asrama Putra, kelihatan sekali kalau yang datang itu juga semua baik-baik, ramah-tamah, sopan-santun, cantik-manis, unik, elok nan bijak. Juga humoris, harmonis dan romantis tentunya.

Sudah tiga malam tidur bareng Anison di Asrama Putra. Saya terlelap dalam tidur yang panjang dari jam sembilan malam ketika mata saya pejamkan. Kini sudah pagi menunjukkan jam pukul delapan lebih tujuh belas menit juga belum kebangun.

Desakan suara rangkap tangan Anison perlahan menyentuh bahu saya sebelah kanan, nyaris tiga sampai empat kali berturut-turut. Anison sedang berupaya untuk hendak dibangunkan saya dari kenyenyakan tidurnya.

“Om bangun, sudah pagi!” terdengar bisikan suara kecil Anison dari dekat telinga sebelah kiri. Suara belum kedengaran semaksimal, masih samar-samar, karena selimut kecil berwarna hijau menutupi telingan bagian kanan.

Sekaligus Anison mengajak saya menyapa mentari pada hari pagi itu. Lantas saya terkejut bangun dari tempat berbaringan lalu mengangkat kepala, menjemput pagi dengan senyum dan sapa.

“Selamat pagi” saya menyapa Anison. “Sudah jam berapa, Om?”

“Jam delapan, Om,” Anison merespon pertanyaan saya sembari tersenyum manis.

Saya enggan balik balas selain tunduk berdiam. Pintu kamar nomor enam itu sedang berbunyi pertanda Anison hendak keluar dari dalam kamar. Anison mungkin pergi buang air kecil/besar (BAK/B) di kamar mandi bagian belakang kiri ketika keluar dari pintu kamarnya.

Supaya dikenal, Anison ini adalah salah seorang mahasiswa semester tujuh pada Universitas Satya Wiyata Mandala atau lebih dikenal Uswim Nabire, Papua Tengah. Ia sebenarnya mahasiswa tidak tetap, dari Kota Sorong, Papua Barat Daya pindah studi ke Nabire semenjak semester tiga tahun 2021 lalu.

Begitu pun semester ganjil 2023 ini, Anison cuti. Cuti berarti tidak mengikuti proses pembelajaran selama satu semeter seperti biasa pada lembaga akademis tetapi tetap terdaftar sebagai mahasiswa sah di kampus Uswim Nabire.

Setelah Anison berpindah studi dari kepala burung, Sorong, Anison memilih tinggal di Asrama Putra Paniai. Ia malas juga enggan suka tinggal bersama-sama dengan kerabat atau keluarga, sanak saudara siapapun termasuk kaka nomor dua.

Kepada Anison, saya sering bangga. Karena suka tidak suka, senang tidak senang, kemampuan Anison untuk menjalani hidupnya sendiri, menyendiri dan mandiri. Pada prinsipnya Ia tidak pernah mau melibatkan, merepotkan juga bergantung nasib hidupnya sama seseorang. Selain orang-orang yang kagum dan kontribusi nasehat-nasehat konstruktif bersifat teguran penghayatan dan selebihnya biaya studi yang boleh ditanggung Ayah/Bapanya.

Pujian serta kebanggaan yang datang dari saya terhadap Anison ini adalah, sekalipun tanpa kasih sayang seorang sang Ibu/Mama (telah lama tiada di bumi/meninggal), Anison selalu tersenyum, bersemangat, sangat konsisten memperjuangkan nasibnya serta biaya studinya yang terbatas, tapi kadang bikin Ayah atau Bapaknya bangga.

Sejauh ini bikin saya kagum karena Anison selalu tersenyum, penuh semangat serta antusias dan bertanggungjawab akan amanah sang Ayah untuk memperjuangkan kehidupan sehari-hari maupun kehidupan di dunia kampus, kehidupan organisasi dan kelompok-kelompok tertentu lain.

Kendatipun Anison cuti di dunia kampus atau lembaga akademis, Anison selalu proaktif dalam organisasi kedaerahan/kewilayahan semacam ikatan-ikatan atau forum-forum tertentu. Terbuka saya sampaikan, Anison juga adalah Ketua Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa/Mahasiswi Paniai Barat di kota studi Nabire 2022-2024.

Setelah Anison jadi penghuni tetap di Asrama Putra Paniai, barangkali Ia jarang bahkan sama sekali enggan suka keluar dari dalam lingkungan asrama tersebut. Akibat dari jarang keluarnya, Ia berhasil melawan kebodohan. Selalu dan terus-menerus konsisten baca buku. Tanpa jeda tak mengenal lelah.

Ketika Anison ke luar dari asrama, waktu masuk pun akan konsisten. Ketika pulang tentu tidak lebih dari jam yang sudah ditentukan atau ditargetkan sebelum Anison pergi. Jika Anison telat masuk asrama berarti tentu saja karena penting. Itupun mungkin diajak sama teman, kerabat ataupun juga dari pacarnya (jika ada) untuk jelajah atau bepergian semaunya saja.

Anison banyak menceritakan sejumlah kenangan yang sudah pernah dilalui serta pola hidup mereka selama jadi penghuni di asrama tersebut. Anison menceritakan sama saya tentang betapa sulitnya mereka (mahasiswa/mahasiswi) asal Paniai yang sedang berstudi di kota Nabire yang jarang mendapatkan perhatian serta penyaluran bantuan berupa bahan makanan (bama) bahkan dari pihak manapun termasuk Pemda Paniai.

“Sejak saya jadi penghuni sini, tidak pernah ada bantuan berupa bahan makanan (bama) bahkan tunai sebesar pun dari pemerintah daerah kabupaten Paniai khusus bagi mahasiswa dan mahasiswi di kota studi Nabire, Papua Tengah. Kalau kota studi selain Nabire belum saya ketahui. Tapi semua kayaknya sama. Saat saya di Sorong pun tidak ada bantuan yang tersalurkan dari Pemda Kabupaten Paniai,” katanya.

Kalaupun ada studi akhir, itu berurusan dengan pengurus Forum Paniai masing-masing kota studi. Pasalnya, yang layak dapat bantuan tersebut juga hanya segelintir mahasiswa studi akhir, tidak semuanya layak didapatkan. Terkhusus bagi mahasiswa serta mahasiswi tingkatan akhir yang hendak menyelesaikan studinya.

Lantas Pemda Paniai kemanakan dana Beasiswa dan Pemondokan sebagai hak demokratis yang layak didapatkan bagi mahasiswa dan mahasiswi tingkatan-bawa (turunan semester enam) dalam kerangka bantuan khusus pendidikan serta nasib hidup yang notabenanya tinggal di kos-kosan, kontrakan, sama keluarga, ataupun yang tinggal di asrama?

Karena mereka sudah, sedang dan bahkan akan terus merasakan kesulitan, kesakitan, kelaparan, kesusahan, kesedihan dan kepedihan serta hal serupa lain tentang hidup dan kehidupan mereka yang selalu menyiksa bertahan hidup di Asrama Paniai Putra dan Putri di kota studi Nabire.

Jika berturut-turut mempraktekan perihal pembiaran seperti sekarang ini, jalan buta mata di tempat, tiada perhatian dan perubahan, maka sumber daya manusia (SDM) Paniai ke depan akan hancur harapan dan generasi masa depan.

“Kami menegaskan kepada seluruh masyarakat Paniai sebagai orangtua kami, pelindung kami serta yang membiayai hidup dan kehidupan kami mahasiswa; sehingga kami meminta supaya kasih suara, pilih dan memilih pemimpin nomor satu di kabupaten Paniai dalam kontestan pilkada tahun 2024 itu harus menentukan orang yang benar-benar teruji dalam kepemimpinan supaya memprioritaskan sumber daya manusia Paniai di masa yang datang ke depan.”

Semenjak Anison pertama masuk sampai telah dinyatakan resmi menjadi penghuni tetap (sah) di asrama tersebut, Ia jatuh hati pada kamar nomor enam hingga kini belum berpindah hati. Benar-benar serta sungguh-sungguh Anison jatuh cinta kepada kamar itu lebih dari pasangan hidup.

Satu hal yang paling esensial, penting serta unik, yang bikin saya bangga dan salut sama Anison adalah, karena kamar ini dihiasi beragam benda-benda persis satu dari sekian mahasiswa yang benar-benar terdidik. Kendati saya melihat kamar ini cukup rantak sekalipun, menurutnya, hanya penilaian bagi orang baru seperti saya. Bagi dirinya, lebih dari cukup, asal nyaman dan tenang.

Apa yang rantak? Satu buah printer canon, tiga colokan terminal kabel putih, laptop dua buah berbeda merek, kertas ukuran A4, cap satu buah, buku-buku bacaan persis berhamburan diatas lantai sampai lupa benahi secara beraturan rapi.

Bukan dibuang. Bukan pula sembarang taruh begitu saja. Tapi semua itu difungsikan ketika waktu luang hendak dibaca. Jika ada teman-teman penghuni asrama ataupun dari luar datang mau minta tolong, kali pertama atau berulang-kali, Anison enggan pernah menolak, tetap bekerja cepat tanpa menunggu waktu lama.

Menurut Anison membantu seseorang yang dibutuhkan itu kepercayaan mulia bagi dirinya. Ia sudah membudayakan saling membantu sesama, dan itu komitmen yang Anison pegang hingga kini belum terpudar lenyap.

Anison terus serta konsisten membantu yang dibutuhkan kepada yang kurang. Ia tidak suka pelit, tangan kasih, suka senyum, murah hati, barangkali memberi juga tanpa basa-basi, tidak harus kompromi serta negosiasi selayaknya  teman-teman serta kerabat lain.

Selain koleksi buku-buku, Anison juga giat, suka dan gemar membaca buku. Tiap waktu luang, Ia selalu dan tetap sempatkan durasi berapa menit untuk membaca buku. Itu rutin. Tidak pernah mau jeda-jeda sedikit apalagi sehari entah sesibuk apapun bentuk dan jenisnya. Baca, baca dan terus baca.

Kalau ada tamu berdatangan singgah maupun bermalam semisal saya ini, Anison bakal menerima dengan hati lapang dan terbuka. Anison pun otomatis akan dipinjamkan satu atau lebih buku jika hendak dibaca. Koleksi buku-buku yang disimpan rapi dalam lemari itupun cukup menarik juga bagus mutunya.

Semua buku-buku tersusun rapi. Lemari pun terpisah dengan pakaian yang dikemas secara beraturan, rapi dan cantik. Kualitas buku juga jangan ditanya, semua apik dan menarik. Bukan hanya itu, dalam kamar ini juga menyimpan satu buah piala, satu piagam, serta foto-foto juga menempel di dinding secara sistematis.

Kembali diawal cerita. Anison keluar dari dalam kamar sebelum dan sesudah sebagian mahasiswa yang adalah penghuni Aspan pergi menyelesaikan tugas dan kewajiban mereka. Pagi itu menjelang pukul sembilan mereka bergerak gegas pergi ke masing-masing kampus yang tersebar di Nabire, Papua Tengah. Hanya beberapa mahasiswa yang sedang berasyik-asyikan sambil berbagi cerita dalam ruangan Aula Asrama Paniai (Aspan) Putra yang terletak pada posisi tengah.

Saya hanya terdiam mendengarkan narasi-narasi mereka di dalam kamarnya Anison. Namun topik yang mereka sedang mendiskusikan itu belum saya ketahui sampai kedalaman. Tapi tawanya mereka cukup keras, terbahak-bahak. Bikin saya sampai terkejut lalu bangun dari tempat tidur. Berlalu beberapa menit kemudian buka pintu menyusuri dimana mereka berdiskusi.

Berdiri dilematis seolah-olah macam orang yang lama sakit. Sampai di mulut pintu kembali duduk di tempat malas keluar lagi. Meskipun saya penasaran dengan narasi-narasi mereka, terabaikan begitu saja. Saya masih tetap berusaha tinggal diam, bertahan pada posisi, sambil memeluk bantal sekaligus hape oppo miliknya genggam di tangan.

Beberapa menit lantas Anison dengan sopan menyetuk pintu lalu menawarkan saya datangi bermain sama teman-temannya di ruangan tamu Aspan namun saya menolak. Saya hanya duduk termenung, diam, serius main hape sambil dengar lagu-lagu png.

Tidak sampai disitu, dilanjutkan lagi baca-baca tulisan yang menarik perhatian serta minat baca saya pada beberapa laman akun facebook. Kalaupun itu bukan dalam bentuk buku, penting saya bisa baca tulisan-tulisan kritis mereka lalu mendapatkan sedikit bekal ilmu.

(Admin)

Share this Link

Comments are closed.