CERPEN – “Manusia adalah Homo Homini Deus_Manusia adalah Allah bagi sesamanya,” kata Ludwig Feuerbach. Quotes diatas Sa (saya) ketemu pada lembar papan kayu yang dipaku diatas batang pohon ketapan. Sa duduk tidak jauh dari pohon itu. Hanya dua meter.

Pohon ketapan kena angin yang agak keras, Sa mata ikut melihat-lihat pohon keatas langit, jangan sampai dahan kering jatuh. Dibawa pohon itu, ada dua gedung dengan kegiatan yang berbeda. Dibalik Sa dan depan Sa. Orang-orang ramai dengan fokus kegiatan mereka. Sa jadi manusia asing diantara dua gedung itu. Hanya menyaksikan dengan mata dan telinga. Tidak ada manusia yang Sa kenal. Seakan Sa bukan manusia. Hanya angin.

Tempat baru bagi Sa. Tapi Sa bertemu mereka lebih dekat dengan telinga dan mata. Sa menyaksikan dari dekat, sangat dekat. Mendengar begitu dekat dan jelas. Ada pesta adat diruang bertulisan Gedung Sophie itu; semua sejarah kehancuran menuju genosida manusia dan alam diceritakan dalam gerekan ekspresionisme dan impresionisme. Gelap menututupi kota, seperti fenomena alam ketika penyaliban Yesus dalam film dan kitab suci.

Cahaya hitam menyelimuti orang-orang yang berdiskusi di halaman Gedung Sophie. Mobil besi dan motor besi menghilang di halaman gedung dalam gelap. Sa kaget ada suara aneh dibalik Sa. Sa memutar wajah. Satu kelompok orang diskusi depan gedung bersimbol salib. Wanita, pria dan anak-anak ada disana. Sebagian orang sedang berpulang setelah ibadah dengan sopan. Sa lihat sebagian dari mereka bugil, tanpa baju dan Celana. Disamping kelompok yang bercerita dengan serius, Sa lihat ada delapan wanita dan pria sedang berhubungan seksual di taman berumput hijau.

Anak-anak kecil berlari bermain kejar-kejar disampin mereka; aktivitas diskusi dan berhubungan seksual tidak menjadi hal tabu. Sa memutar wajah kembali. Orang-orang depan Gedung Sophie diskusi santai tentang mayat-mayat berdarah dalam Gedung Sophie. Tiga belas mata mengeluarkan air mata darah dari atas tanah ibu. Mereka menanggis bersama setelah diskusi itu. Sa wajah ikut berubah sedih, mata kaca. Ada yang penting dari kematian-kematian dalam Gedung Sophie. Mayat-mayat dalam Gedung Sophie tidak mati, walau pun ada banyak orang berserakan tentara menembak dari dekat dengan berulang kali. Tidak mati-mati. Sa dengar bunyi senjata mesin dan bunyi alat berat menggusur tanah batu dan kayu.

Sa kaget dengan bunyi lagu dj dibalik Sa. Tiba-tiba. Sa putar wajah. Orang-orang itu mereka merayakan kenikmatan yang lain lagi. Music dj Alan Walker tidak berganti, kencang. Satu kelompok yang berdiskusi dan berhubungan seksual tadi sudah mabuk telanjang. Mereka berlompat-lompat. Tenggelaman dalam dunia mereka. Mereka tidak mendengar bunyi senjata dan suara alat berat dalam Gedung Sophie. Sama sekali tidak. Sudah tuli.

“Itu mayat, lihat darah”

“Kena peluru itu”

“Tuhan e…lihat satu lagi sana”

“Io, benar, alat berat masuk injak kepala itu”

“Yang sana itu sudah busuk sekali, tapi masih berdarah-darah”

“Bauh sekali, ayo kita pergi.”

“Tidak!! kita harus terus bicara, ini hidup kita, tidak boleh kita punah dengan keadaan ini”

“Io benar, semua orang belum tau tentang ini, kita harus terus ceritakan”

Dibalik Sa, bunyi musik dj telah berhenti. Ada bunyi lain dari musik dj. Sa mendengar lebih dekat tanpa membalikkan wajah dengan sengaja. Sa dengar suara napas naik turung dengan keras, bunyi tubuh telanjang bertemu, bergesek seperti orang tepuk tangan setelah pidato politik atau bernyanyi spiritual di acara KKR. Bunyi dari banyak arah. Ada yang cepat, ada yang pelan-pelan. Sa dengar suara kesakitan tapi rupanya tidak. Mereka menikmati dunia yang jauh dari manusia. Apalagi dunia dalam Gedung Sophie. Sangat jauh.

“Yes, No”

“Sayang enak sekali. Terus, jangan berhenti”

“Sayang”

“Oh,oh, No, Yes”

Sa pegang kepala. Heran. Ini apa? Energi apa yang terjadi setelah ibadah berakhir tadi? Begitu juga orang-orang depan Gedung Sophie. Mereka berdiskusi depan kamera, ada yang wawancara tentang mayat-mayat dalam gedung serta rentetan kejadian_menuliskan tentang bunyi senjata mesin dan bunyi alat berat. Mereka menanggis depan kamera yang menyoroti wajah. Dua dunia yang Sa mendengar, melihat dan merasakan begitu dekat. Depan Sa. Belakang Sa. Jelas sekali.

Bunyi music dj tidak sampai di Sa punya telinga lagi. Sudah berhenti. Suara langkah. Ada orang datang dari dibalik Sa. Ia duduk disamping kanan Sa. Wanita itu berambut hitam panjang, wajahnya lemah berkuning kurang darah, bibir basah, terlihat masih ada sebagian ludah yang asing. Ada juga seorang wanita datang dari depan sa, nampak. Wanita itu berwajah segar, berLrambut panjang, berjalan tegak, wajah terlihat selesai nanggis, bulu matanya menyimpan tetesan air mata. Dia duduk disamping kiri Sa. Dua wanita itu memulai diskusi setelah saling tatap tanpa suara dengan emosi.

“Ayo, kalian harus melihat penderitaan hidup depan mata. Ada kejahatan dalam Gedung Sophie itu”

“Kita harus saling berdoa satu sama lain. Roh kudus akan membalasnya. Ini semua tentang waktu, hidup ini mengalir saja”

Sa mendengarkan diskusi yang cukup panjang, saling balas dan sangat filosofis. Ada narasi besar; kata metafisika (spekulasi lebih jauh) dan budaya (cara berpikir) Seakan Sa sedang menyaksikan diskusi dua orang wanita dengan isi pikiran Aristotelianis dan Platonisme_pikiran dua filsuf klasik yang populer dari Yunani (424-348) seakan Sa tiba-tiba memulai kuliah dengan kongret, real, depan mata.

Sa dengar ada kata Plato dalam diskusi mereka: realitas dunia adalah semu, palsu dari dunia ide universal. Pengetahuan filsafat adalah yang universal dan abstrak. Sa dengar juga menurut Aristoteles: realitas adalah yang terjadi depan mata, tidak yang jauh dari kenyataan. Kata Plato: realita adalah dunia ide. Realitas utama adalah entitas individu. Sa mulai berpikir, kelompok diskusi depan Gedung Sophie sebagai Aristotelianisme. Dan kelompok dibalik Sa adalah kaum Platonisme. Dua pemikir besar ini saling berlawanan dalam melihat realita hidup manusia. Seperti dua wanita di kiri Sa di kanan. Saling mengkritik.

“Inti dari roh adalah nalar. Nalar harus kontrol hasrad untuk hidup di dunia”

“Realitas dunia ini hanya maya dan panggung sandiwara. Kita berdoa saja pada semesta ini, Dia yang akan membalas apa pun”

Dua kelompok dengan masing-masing dunia mereka_diskusi dengan segalah argumen membuat Sa ingat dua macam pemikiran manusia abab ini, di era moderen. Pertama Ekologis, pemikiran yang berpusat pada subjek manusia, melahirkan meta narativ (narasi besar) yang bernuansa manusia yaitu Humanisme, Liberalisme, Eksistelisme dll. Manusia di bentuk oleh struktur lingkungan. Orang-orang depan Gedung Sophie memperlihatkan jejaring kehidupan manusia karena kehidupan manusia di ciptakan oleh aneka struktur.

Wanita yang datang dari balik Sa terdiam setelah memahami penjelasan dari wanita yang datang dari Gedung Sophie, penjelasanya tentang sesudah kritik moderen; Ia menyebut kata filsuf Freud,”Agama sebagai illusi anak-anak atau sumber sakit jiwa.” dan juga ada kata Ludwig Feuerbach,”Agama itu penting untuk mempertahan untuk menjaga masyarakat tetap bernilai ideal, tidak ada urusan dengan Tuhan.”

Pada akhirnya hujan turun untuk pemurniaan setelah kritik. Sa bertemu orang-orang di kota berdatangan dengan baju putih bertulisan hitam, baju hitam bertulisan putih”THE NEW AGE dan POST SECURAL” tipe-tipe baru spiritualitas, dimensi Illahi dengan bentuk baru.

Pada akhirnya, dua wanita disamping kiri dan kanan Sa ini hanyalah sebuah bahasa (linguistik) Sa tidak bertemu siapa pun disini. Dibawa pohon ketapan sebelum pulang. Tapi benar, Sa baru saja bertemu Gedung Sophie dan Semua tokoh besar bertatap disana, mereka berbicara dalam teks pada alam yang sedang dihabisi oleh catatan sejarah. Tapi mereka sedih dengan kenikmatan diluar gedung itu.

Sa hanya ingat itu. Dan kata Sophie mengulang kata,“Dunia adalah ketuhanan yang ditangkap oleh seni,” kata Filsuf Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

(Nomen Douw. Padang Bulan, Februari 2024)

Share this Link

Comments are closed.