CERPEN – Sore jam empat. Orang- orang ramai dengan kendaraan di jalan umum. Jalan jeruk nipis belum terlalu gelap. Cahaya kecil lampu Kafe Kakao Kita nampak indah dari jalan diantara pepohonan yang sedikit menghitam. Ko datang seakan merampas waktu.
Duduk seperti biasa setelah sa pesan kopi susu panas. Sa duduk bersama perasaan yang muncul pertama kali mampir dengan Wens. Duduk dengan banyak pertanyaan pada kursi kosong fiksi dalam dada dan kursi kosong depan mata secara kenyataan.
Datang suara orang berdoa dengan teriak melalui pengeras suara. Dekat dalam telingga. Memaklumi; setiap kelompok punya cara masing-masing bertemu Tuhan. Sebelah kiri dari posisi sa duduk, depan kedai ada pohon ketapan yang tinggi berdiri menghitam gelap seperti monster yang berdiri menakutkan.
Menatap pohon ketapan membikin sa ingat kisah SMP. Cerita lama datang seperti baru terjadi kemaring. Sa dengan teman-teman kumpul buah ketapan yang kuning memakan isinya. Rasa macam isi buah kelapa yang kering. Sa tidak bertemu anak-anak bermain karet, kelereng atau sepakbola dibawah pohon ketapan seperti kita waktu sore.
Dunia telah berubah jauh dari dulu kita moderen dan sekarang postmoderen. Banyak hal yang baru. Moderen dan Postmoderisme yang tidak jelas batas gerak pada pola hidup manusia. Dari fisik kepada maya yang kebanyakan non material.
Rambut ombak hitam, pendek ikat belakang. Cahaya mata dan wajah membuat sa berpikir berbedah dari hari pertama sa datang minum kopi. Hari yang kosong tiba-tiba berkelahi. Menghayal kita punya banyak cerita yang serius. Lampu dalam keranjang burung, melihat sa kebawah. Ada buku dan kopi diatas meja.
Duduk di meja yang hanya dua bangku. Tidak ada meja yang dibuat untuk duduk seorang diri. Setiap kedai selalu tersedia untuk dua orang dan lebih dari dua orang. Sa hanya perpikir, seandanya ko duduk depan sa dan bertanya.
Kaka di Jayapura tinggal dimana? Kaka buat apa di Jayapura? Apapun sa akan jawab dengan semangat. Mungkin juga sa akan pelajari/mempahami soal gender, feminis dan seksisme.
Pikiran yang menelan fakta. Rindu yang kosong datang dengan kata,”Dia sedang suka ko dari awal.” Sa berada di tempat lain dengan pikiran super ego. Sa di Kafe Kakao Kita dan imajinasi, duduk memeluk handphone. Ko duduk dengan pria kurus tinggi yang suka marah, kelihatan Dia suka bercanda dengan cara maki-maki.
Dia menyanyi,”jantung e!.” Sa ingin tanya itu siapa? cemburu yang ko tidak mengenal. Sa selalu punya sinar mata dan ko hanya sekali-kali. Sa ingin ko tegur sa? Kenapa ko sibuk dengan pria itu di meja yang kosong. Sepertinya sa over memikirkan tentang ko selama sa duduk hari ini dan besok sa datang lagi.
Dia siapa? cemburu yang ko tidak kenal datang lagi. Mungkin setiap orang begitu. Sa duduk pura-pura baca buku dengan pikiran gelisa, sa pikiran tidak fokus ke isi buku, semoga ko suka pria yang menyukai buku dan tidak ingin menjadi apa pun selain baik-baik dengan dirinya sendiri. Ko tegur sa ka? Sa duduk membaca ini. Angin menembus celah-celah Kedia Kakao Kita menjawab, ”Tidak!.”
Sa dengar bunyi hujan jatuh diatas daun seng besi Kafe Kakao Kita. Sa tangkap semua bunyi sejauh sa mampu menangkap. Bunyi barista sedang giring kopi dalam mesin. Bau kopi hanya sedikit di sa hidung besar. Bunyi lagu Natal tipis-tipis datang dari jauh, tiba-tiba datang rindu pulang kampung halaman.
Tapi sa selalu merayakan Natal sesuai kemauan orang tua saya. Bagi sa, Natal adalah hari libur berbagi cerita bersama orang tua. Setelah orang tua pergi dengan waktu, sa harus berbagi cerita dengan cara lain.
Ko bicara serius dengan pria non Papua kurus, baju berkotak hitam putih.
Kamu dua duduk berhadapan satu meja. Dibalik pria duduk hadap ko, lurus ko wajah. Sa pura-pura ke kamar mandi sambil sa memastikan kamu dua dari cara duduk. Teman? atau Pacar?
Jalan berbatu antar sa masuk pintu kayu toilet. Toilet seperti kamar tidur. Ruang dipenuhi cat warna putih-putih. Bau sabun bercampur pewanggi ruangan kamar tidur begitu tebal. Dua ruang yang dibatasi tembok pendek batas dada manusia dewasa. Dihiasi quote dalam tiga bingkai digantung seperti foto kelurga saat wisuda di ruang tamu dan kamar tidur.
“Wash your Hands”, tulisan pertama dalam bingkai diatas tempat cuci tangan dan wajah. Tulisan kedua,”Toilet Rules.” Ada banyak tulisan kecil dalam bingkai yang lebih besar dari bingkai pertama. ”Fluah The Toilet Before You Go-Go,” tulisan dalam bingkai yang lebih kecil dari keduanya tadi pada tempat lain. Sebelah kanan, ada pot bunga dengan tumbuhan hijau mati.
Sa tidak buang kotoran dalam water closet atau wc. Sa hanya pura-pura supaya ko lihat sa setelah cuci wajah. Sa akan lewat sambil lihat ko, tapi sa punya penyakit malu untuk senyum. Hanya akan perlihatkan sebagian wajah yang lebih bersih dari anggota tubuh lain.
Tapi sa bisa minta maaf kalau ko tidak suka keindahan tapi yang ko suka adalah karakter seseorang yang ko lebih percaya logika rasional dari lagika lain. Lebih kepada makna hidup. Sa salah jika sa ke toilet hanya untuk keindahan pada style. Sa akan malu dan maaf.
Kafe yang agak klasik mewa. Sa duduk seperti di sa rumah, lihat sungai yang kering dan banyak daun hijau, semua itu bikin sa nyaman duduk menikmati kopi yang di seduh ade napi. Diantar ade ko, wanita rambut pendek yang sa suka hari pertama dan besok sa datang lagi.
Sa suka cara bergurau dengan orang yang ko kenal. Sa suka ko banyak bicara tapi lucuh. Sa ikut semua pembicaraan dengan orang-orang dalam kafe Kakao Kita. Sa baca buku serius sambil minum kopi tapi itu hanya tipu-tipu saja. Sa pulang baca ulang karena pikiran fokus ke ko bukan fokus tenggelam dalam buku.
Kamar mandi bisa bersantai lama-lama. Sa lihat dilarang isap rokok dengan simbol disamping kiri dari pot wc. Sa pikir ada acce. Mungkin kamar toilet ini sebelumnya kamar tidur. Kamar berukuran tiga meter lebih, panjang dan lebar satu meter. Keluar. Sa lewat depan ko wajah, tapi ko tidak membuang mata. Percuma sa cuci muka rapikan wajah.
Ko terus bicara lihat dia yang dengar ko suara sambil sekali-kali kepala tunduk lihat hp. Seandainya kalau ko tau sa juga ikut mendengar apa yang kamu dua cerita. Mungkin ko akan lihat sa dan sa akan berusaha membuat cerita yang lain.
Apakah ko suka pria amber itu dan dia tidak berpikir lebih dari teman. Hanya ko. Sa tidak mau semua ini benar. Jika benar. Sa akan kumpulkan semua orang Papua untuk tolak otsus. Sa akan bilang, semua privasi Papua diancam dominasi yang amoral, telah mengancam nilai semua kebaikan.
Sa akan sumbang satu pasal dalam Otsus itu tentang keberpihakan. Wanita Papua dilarang menikah dan memiliki anak dengan non Papua. Hukum ini berlaku wajib untuk perempuan Papua. Hari ini terdengar kontroversi tapi produk hukum berangkat dari pengalaman empiris. Di Turki, Pria di wajibkan menikahi wanita lebih dari satu. Realita membentuk hukum untuk mengatur.
Dalam film, Our Father, seorang dokter fertilitas klinik yang memiliki anak 94 dari hasil pemerkosahaan tanpa diketahui korban dengan cara memasukan spermanya dalam rahim. Undang-undang belum ada untuk menghukum pelaku. Negara melahirkan regulasi hukum baru.
Tapi sa ingin pergi dengan malu karena hal kecil yang berproses dengan waktu menghasilkan sesuatu yang besar. Sa hanya perlihatkan. Tidak berbicara. Hanya itu. Sa tidak melakukan hal kecil untuk memiliki ko, misalnya; Sore ade? Hari ini ko cantik sekali? Kerja berapa lama? Kulia dimana? Tinggal dimana?
Tapi?
Tunggu sa datang lagi. Tapi sa tidak mau dengar, ”Kafe Kakao Kita sudah tutup. Tahun kemaring boleh.”
Hilang dari ko dan terimakasih sudah memancing imajinasi liar.
(Nomen Douw. Nabire, Desember 2023)