CERPEN – Lagu klasik The Makarons menemani sore hari yang agak kaku tapi Sa (saya) dengan Dewi santai. Sebentar lagi malam datang lampu di kota menyala. Hari selasa. Orang-orang beraktivitas menikmati dunia mereka, seperti Sa dengan Dewi; wanita pesisir Papua yang menyukai diskusi dan buku. Sa pacar lama, calon istri. Kami dua duduk di kedai The Bookstor Cafe sambil minum kopi Arabica Brazil. Sa diam membaca buku, The Horde, ditulis oleh sejarahwan dan penulis Prancis, Marie Favereau. Dewi minum kopi yang sama sambil serius membaca buku “Operasi Rahasia CIA di Indonesia” ditulis, Hendri F. Isnaeni, seorang pengarang Indonesia.

Sa suka buku yang dibahas pendek-pendek dengan banyak topik, biar bisa istrahat atur napas dan melihat notifikasi media sosial di handphone (hp). Dewi tidak begitu. Dia lain dari Sa; suka berlama-lama membaca dengan serius hingga bab berikut dan berlanjut. Kadang Sa ingatkan untuk tetap menikmati kopi sambil membaca.

“Kopi sudah dingin itu, minum sayang”

“Sayang tolong minum sudah”

Sa dengan Dewi pacaran dari SMA kelas tiga di Jayapura Papua. Di kota yang Sa dengan Dewi lahir dan besar. Sa asli gunung dan Dewi perempuan asli Aceh peranakan Biak. Mama Biak dan Bapa Aceh. Selama kami bersama tidak pernah Dewi tanya tentang aksi yang Sa ikut teman dekat Sa yang pintar berorasi ditengah masa memakai baju merah berbintang putih seperti bendera Vietnam, China dan PKI. Dewi bapa TNI, bertugas di Pangdam Cendrawasi Papua. Dewi tidak pernah larang Sa ikut demo bersama teman karena dia terganggu.

Banyak kali Sa ikut aksi demo. Sa pernah ditahan dalam massa yang dibawah ke kantor Polisi, tapi malamnya mereka keluarkan kami, tapi ada yang mereka tahan. Sa masih duduk dibangku SMA. Sa hanya ikut-ikut karena teman dari kecil yang sa tidak mungkin tolak untuk pergi kemana pun. Tiba saatnya kami dengar kelulusan. Datang waktu yang ditunggu. Sa dengan Dewi lulus. Semua teman yang lulus coret baju dan pergi. Setelah malam, kami dua pergi ke toko minuman beli anggur dua botol dan pergi ke hotel Horizon.

Sa dengan Dewi minum sampai tidak sadar. Pagi kaget bangun. Sa cium Dewi yang masih tidur, Dia kaget dengan setengga sadar. Dewi merampas wajah, bibir dan leher. Sa juga sama, setengah mabuk. Sa dengan Dewi melukis sejarah darah yang sekali dalam hidup. Darah merah dibaju selain warna piloks merah yang sudah ternoda. Tidur berpelukan hingga sadar diri sore. Dewi tidak ingin bangun dan menawarkan lanjut malam kedua.

“Adoh,! malas bangun sekali, besok baru kita pulang sudah sayang, capeh sekali”

“Oke dari saja sayang, tapi Sa uang sudah habis ini”

“Ada uang di Sa tas itu, pigi bayar sudah”

“Oke sayang”

Malam kedua tiba, terjadi lagi, rupanya Dewi tidak capeh, Dia hanya ingin yang lain, berpikir tentang pelukan seperti malam pertama. Sa juga ingin itu, tapi karena Sa punya uang sudah habis, tapi syukur Dewi punya uang dari bapa TNI. Sa punya orang tua sudah pensiun dari guru ASN di Provinsi Papua dan Sa mama sudah meninggal waktu Sa kecil. Dewi juga sama, Dia mama meninggal waktu kecil dan Dia bapa TNI menikah lagi dengan perempuan asal Toraja.

Waktu berlalu maju di Jayapura. Beberapa bulan berlalu setelah lulus SMA. Sa dengan Dewi ikut tes beasiswa keluar Negeri yang di buka Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Papua. Kami dua lolos. Kami 24 pelajar diberangkatkan dari Papua menerima beasiswa otonomi khusus untuk mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dewi tidak dikasih izin oleh bapa TNI karena bapaknya sudah melamar Dewi Masuk Akademi Militer (Akmil) tapi Dewi tolak dengan keras karena Sa. Mungkin karena malam pertama? tapi Sa juga tidak ingin Dewi jauh dari Sa.

Kita sama-sama berangkat ke Amerika Serikat dan kami 22 mahasiswa sekolah di University of Rhode Island. Dua mahasiswa ke Rusia.

“Kelak seluruh ilmu dan keahlian yang didapatkan bisa diaplikasikan untuk mewujudkan tercapainya visi dan misi Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera yang Berkeadilan” Kata Gubernur Papua Lukas Enembe saat upacara lepas kami keluar Negeri.

Satu tahun lebih kami kuliah di University of Rhode Island dengan baik. Tempat tinggal, makan dan minum baik semua. Kami dikasih uang tambahan dari Pemerintah Papua. Berjalannya waktu kami mulai merasakan kesulitan di kampus karena dana Otsus datang tidak seperti biasanya; makan dan minum sudah tidak ada, kami berusaha sendiri. Kami terancam dikeluarkan dari kampus yang kami belajar satu tahun lebih dengan baik. Dana otsus berhenti setelah Gubernur Papua, Lukas Enembe, mulai di periksa KPK.

Suatu sore yang sejuk. Sa dengan Dewi pulang dari kampus. Teman yang suka demo dan ajak Sa di Papua telfon Sa. Dewi sedang sedang sibuk telfn dengan Dia bapa TNI. Dewi bapa marah-marah, suruh kembali ke Papua masuk Akmil. Tapi Dewi tidak pernah mau. Dia tetap ikut Sa kemana pun pergi. Dewi perna bilang, Dia akan mati dengan Sa.

“Sore kawan”

“Sore juga kawan”

“Baru-baru, kuliah aman ka, Sa ada baca berita itu bagimana?”

“Io, itu sudah kawan, kami dapat pantau terus karena isu-isu di Papua itu. Dana otsus lagi su macet parah, kayaknya kami akan pulang kawan”

“Ba, kenapa? Kamu kesitu untuk kuliah baru, Negara ini memang penakut betul!”

“Ia kawan, sepertinya Negara ini memang sangat baper politik”

“Wkwkkw, Negara baper Politik kacau”

“Itu lagi kawan. Ok hormat kawan, sa hanya mau tanya itu jadi selamat beraktivitas”

“Hormat, selamat beraktivitas juga kawan, sampai jumpa”

“Hormat kawan”

Kami dari Papua diberhenti dari kuliah. Satu bulan lebih bertahan apa adanya. Makan dan minum cukup untuk kami dua. Dewi bapa TNI masih kirim uang. Tapi Dewi menipu; Sa jadi pria rahasia bagi Dewi. Sa tidak suka dengan cara Dewi menipu orang tua, tapi Sa diam karena kita harus bertahan hidup di Amerika sama-sama. Tidak cukup hanya Sa. Sa butuh Dewi.

Kebetulan ada informasih beasiswa. Sa dengan Dewi ikut tes Orange Tulip Scholarship (OTS) program beasiswa yang diberikan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Belanda, Perusahaan Belanda dan Pemerintah Indonesia bagi warga Negara Indonesia. Sudah tes. Sa dengan Dewi menunggu hasil. Jelang satu hari menunggu, kami mahasiswa Papua di Amerika dikagetkan dengan berita penangkapan Lukas Enembe pada 10 Januari 2023 dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian dan penerimaan hadiah pembagunan infrastruktur di Papua.

Kami mahasiswa Papua semua duduk diskusi. Kami semua bigung. Bukankah? dengan visi Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera yang Berkeadilan telah membangun Indonesia di Papua. Seharusnya Negara ini bangga kalau korupsi hanya satu milyar. Di pulau Jawa, bahkan di Ibu Kota Indonesia elit birokrasi korupsi lebih dari satu milyar, tapi belum perna ada kasus seperti ini. Kami simpulkan bahwa, ini kepentingan Negara yang besar di Papua untuk menggagalkan program Lukmen (Lukas Enembe Klemen Tinal) atau mungkin saja ada kepentingan investasi di tanah Papua.

Mungkin salah satu dampaknya adalah kami di Amerika Serikat, kuliah sudah berhenti setelah bapak Gunernur Papua dalam pemeriksaan KPK hingga beliau di tanggap di rumah makan Senduk Garpu Abepura. Ini baru kami bagian pendidikan, dan kami percaya banyak program demi kemajuan Papua pasti berhenti. Belum hal lain, Politik, Ekonomi, Kesehatan, Budaya dan Agama.

Lukas Enembe dan Klemen Tinal adalah pemimpin yang lebih memahami orang Papua. Papua adalah masalah Sumber Daya Manusia (SDM) Sa ingat setelah Lukas Enembe dan Klemen Tinal dilantik di Istana Negara 5 September 2018 oleh Presiden Joko Widodo. Usai dilantik, Lukas Enembe langsung menegaskan bahwa lima tahun kedepan salah satu program prioritas adalah masalah pendidikan di Papua.

“Masalah pendidikan di Provinsi Papua kembali menjadi prioritas, pasalnya saat ini banyak anak-anak Papua terlantar karena pedidikan cukup jauh. Demikian juga indeks pembangunan di Papua jauh dari harapan saat ini dimana angka kemiskinan juga masih tinggi sekali,” Kata Gubernur Papua, Lukas Enembe, di media online.

Sa dengan Dewi lulus beasiswa Orange Tulip Scholarship (OTS) di Belanda. Kami dua berangkat ke Belanda dari Amerika Serikat setelah pamit ke semua teman-teman. Mereka juga menunggu hasil tes di beberapa Negara. Sa dengan Dewi memilih tes beasiswa Belanda. Bersyukur kami dua lulus sama-sama. Benar-benar Tuhan melukiskan Sa jodoh dengan Dewi. Sejauh ini, Sa mencintai Dewi. Semoga Dewi juga mencintai Sa. Tapi kalau tidak, Sa akan sakit, lebih dari sakit yang pernah Sa derita. Tapi jangan Dewi.

Satu bulan kami penyesuaian di Belanda untuk kuliah. Tempat tinggal, makan minum sudah ditanggung Belanda. Sepanjang itu, Sa selalu komunikasih dengan teman-taman mahasiswa di Amerika Serikat tentang isu Papua bumi Cendrewasih. Sa ikuti kasus bapak pembagunan Papua peduli SDM Papua, Lukas Enembe, dalam proses persidangan dengan kondisi fisik yang krisis. Tapi Negara tidak memberikan keadialan sebagai manusia untuk berobat.

Pernah kuasa hukum Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, meminta perawatan medis segera, tetapi tidak pernah diberikan.

“Dengan kondisi yang memprihatinkan, dengan kesehatannya pak gubernur, saya atas nama tim hukum gubernur meminta agar Presiden Jokowi memberikan izin Beliau berobat ke luar negeri dalam rangka menyelamatkan nyawa dan jiwa Pak Gubernur,” Kata Stefanus Roy Rening kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK.

Proses persidangan dilanjutkan selama tahun 2023 tanpa mempertimbangkan kesehatan Lukas Enembe. Saya ikuti dari Belanda. Lukas Enembe dijatuhi hukuman sepuluh tahun enam bulan penjara dengan penilaian KPK terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Terakhir Sa dapat informasih Lukas Enembe di rawat Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Dirawat dengan kondisi yang buruk. Selanjutnya Sa belum perna dengar informasi tentang Lukas Enembe di Rumah Sakit.

Selain pemilik hati, Dewi adalah teman diskusi yang baik, Dia suka sejarah dan sa suka Politik Ekonomi. Bacaan selalu berputar diantara itu. Sa sering minta pendapat soal kasus Lukas Enembe, Dewi cukup cerdas dalam menyampaikan pikirannya, Dia rasional dan realistis.

Di kamar sambil berpelukan, restauran sambil makan, dan di cafe sambil minum kopi; kami dua diskusi dan berdebat tentang topik apa saja. Hampir setiap saat kami dua diskusi tentang kasus Lukas Enembe. Dia selalu melihat dari sejarah kekuasaan dunia dibawah rezim yang otoriter. Sa selalu berpikir analisa Dewi berputar jauh dari akar persoalan di Papua, tetapi semakin kesini, semakin sa paham; kasus Lukas Enembe ini memang ada kekuatan yang besar. Dalam arus gelombang yang kuat.

“Tuhan tolong Sa punya Bapak”

“Kenapa sayang kaget bagitu?”

“Bapak Lukas”

“Bapak Lukas kenapa?”

“Meninggal sayang”

“Ya, Tuhan!!!”

Jam tujuh malam sudah buat lampuh-lampuh menyalah di kota Den Haag. Sa merasahkan situasi yang teduh dengan bau kopi kental, buku dan lagu klasik The Makarons. Malam datang membawa duka yang dalam. Berganti lagu Nobody Loves No But My Mother, lagu milik Riley B. King alias B.B King. Tiba-tiba Sa tutup halaman buku yang Sa sedang baca. Dewi kaget tatap Sa. Dia bertanya dan kami dua diam beberapa menit. Seakan tidak percaya. Setelah itu kami dua diskusi seperti biasa.

“Sa selalu bilang sayang, Lukas Enembe akan dibunuh dengan cara yang tidak kelihatan, ini kalau Sa lihat dari sejarah politik dibeberapa Negara besar melalui bacaan Sa. Maaf pikiran Sa begitu”

“Tetapi, bukankah Lukas Enembe membangun Papua. Beliau berhasil mengindonesiakan Papua. Membangun Rumah Negara, Jembatan Merah, Stadium, Kantor DPRD Papua, Kantor MRP dan Kantor Gunernur. Semua itu dibangun dengan bahan bangunan yang mewah. Apa itu salah bagi Negara?”

“Sayang tau tidak? Soekarno itu dimiskinkan setelah dilengser 12 Maret 1967 melalui sidang MPRS. Padahal Soekarno itu pelaku Kemerdekaan Indonesia, juga Beliau membangun Indonesia dari nol, seperti pembangunan Stadium, Jalan Tol dan dll; Persis Soekarno dan Lukas Enembe itu sama”

“Ia, benar juga sayang”

“Banyak faktor Soekarno dilengser, saya baca operasi CIA di Indonesia terkait Gerakan 30 September 1965 (G30S). Saya lihat sedikit agak sama metode operasi di kasus Lukas Enembe. Sa lihat lebih kepada pembagunan Sumber Daya Manusia (SDM) pada pendidikan. Lukas Enembe sangat fokus pendidikan”

“Kalau pendidikan memang Beliau luar biasa. Gubernur Papua yang lebih banyak melihat pembagunan manusia Papua”

“Kita lihat, Soekarno punya dua program pendidikan, pertama beasiswa ikatan dinas dan kedua beasiswa pampasan perang dunia. Lebih banyak mahasiswa dikirim ke Jepang dan Rusia. Lukas Enembe punya BPSDM dan Afirmasi, seperti yang kita dapat dari dana otsus ke Amerika Serikat, tapi sayangnya terhenti karena masalah. Beberapa tahun Sa lihat Lukas Enembe mengirim anak Papua banyak ke Rusia, bahkan dengan berani beliau mengundang Presiden Rusia datang ke Papua”

“Ia benar sayang”

“Sayangnya, dua pemimpin besar ini diakhiri hidup mereka dengan cara yang tidak dihormati oleh Negara mereka sendiri. Padahal mereka dua (Soekarno dan Lukas Enembe) mambangun manusia. Tapi aneh, sama-sama dimiskinkan dan mati”

Pada akhirnya, melihat pendidikan Indonesia pada waktu itu dan Papua hari ini, sebetulnya ada apa dengan pembagunan pendidikan di Indonesia bagi Amerika Serikat? dan juga ada apa dengan pembagunan pendidikan di Papua bagi Indonesia hari ini?

Cerita berlalu dalam waktu yang singkat. Tidak terasah duduk di The Bookstor Cafe sambil minum kopi asal Brazil yang sudah habis tadi. Kembali dengan Trem Amsterdam ke tempat tinggal. Kita berpisah dengan cafe kopi yang telah malam dalam keteduhan yang tenang. Berpisah dengan cerita. Pulang baku genggam tangan untuk tetap kuat dalam cinta yang erat dengan waktu yang lama. Semoga Sa dengan Dewi baik-baik disini untuk Papua nanti.

Akhirnya, Sa dengan Dewi percaya besok akan baik-baik saja karena cinta. Kemaring adalah pelajaran dan besok adalah harapan yang dikuatkan hari ini. Setiap hari harus lebih kuat dari kemaring.

(Nomen Douw. Nabire 31 Desember 2023. Cerita ini hanya fiksi. Mohon maaf jika ada penamaan nama orang dan tempat yang sama)

Share this Link

Comments are closed.