CERPEN – Namanya Agus, Teman-temannya menjulukinya, Agus yang tegar, dan itu bukan tanpa alasan jika melihat semua pergumulan hidup yang telah ia lalui hingga sekarang.
Agus adalah anak tunggal. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika ia berumur lima tahun. Sejak itu ia tinggal bersama tante dan omnya. Namun itu hanya berlangsung hingga umurnya delapan tahun, sebab tante dan omnya bercerai. Agus pun ikut tantenya. Namun, hal itu pun tidak berlangsung lama, karena kemudian paman dan tantenya pun mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa mereka.
Sejak saat itu Agus tinggal di panti asuhan. Pada umur empat belas tahun, Agus mulai merasakan kekosongan dalam dirinya. Semua yang ia miliki telah direnggut darinya. Agus sendirian dan merasa tak ada yang mempedulikannya. Saat merenungkan segala hal yang buruk menimpa hidupnya ini sambil berjalan, Agus melihat sebuah gereja di ujung jalan. Agus tak mengenal Tuhan sama sekali. Memang waktu kecil ibunya pernah mengajari Agus untuk berdoa, tapi itu sudah lama sekali.
Merasa tak ada salahnya pergi, ia memutuskan untuk mengikuti ibadah. Saat masuk, ia langsung duduk di belakang. Ia melihat banyak orang yang datang bersama dengan keluarga mereka. Ada seorang ibu yang menggandeng anaknya yang masih kecil, seorang ayah yang sedang memeluk putranya, dan sepasang pria dan wanita yang telah bertunangan duduk di depannya. Merasa makin terkucil karena sendirian, Agus bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa waktu kecil tidak pernah datang ke gereja sama orang tua?
Selama ibadah Agus masih tetap merasa sendirian pakaian juga tidak tahu sudah kotor dengan kaki telanjang, Agus mendengar jemaat bernyanyi bersama-sama mengatakan “Allah peduli, Allah mengerti segala persoalan yang sedang terjadi,” tadinya Agus juga ikut bernyanyi hingga akhirnya ia berhenti di tengah lagu karena merasa lagunya tak masuk akal sambil menangis.
“Tuhan mengerti? Tuhan peduli? Yang benar saja, jika Ia memang mengerti dan peduli, seharusnya tidak biarkan orang tua meninggal!” pikir Agus dalam hati.
Setelah nyanyian selesai dikumandangkan, sang pendeta pun naik ke atas mimbar. Pendeta itu berbicara tentang kasih Tuhan. Pendeta itu berkata, “Hidup ini sulit, iya itu benar. Hidup ini penuh dengan rintangan, iya itu pun benar. Tetapi juga benar bahwa di hidup yang tak memiliki kepastian ini ada Tuhan yang selalu ada bersama kita orang percaya untuk melewati segala percobaan di hidup kita,” Pendeta itu terus mengatakan bahwa Tuhan mengasihi manusia dan tak akan meninggalkan mereka yang percaya pada-Nya.
Saat mendengar khotbah pendeta tersebut, AGUS tidak hentinya mengernyit, tanda meragukan perkataan si pendeta. Penjelasan si pendeta sepertinya tidak masuk akal bagi dirinya. Kasih Tuhan tak terbatas? Tuhan selalu ada menemani? Tiada yang mustahil bagi Tuhan? Semua itu tak pernah Agus alami seumur hidupnya, jadi ia menggangap semua omongan pendeta itu hanyalah lelucon. Hingga akhirnya Agus mendengar perkataan pendeta yang membuat ia mendengar khotbah itu lebih serius.
Perkataan itu adalah “Tuhan Yesus sayang kamu…”
Diam sejenak, pendeta itu melanjutkan,“Apapun beban hidupmu sekarang, Tuhan Yesus tetap ada bersamamu. Ia lebih dari cukup untuk menghiburmu, kasih-Nya begitu indah. Percayalah, begitu kau membuka pintu hatimu dan membiarkan Tuhan masuk ke dalamnya, hidupmu tak akan pernah menjadi sama lagi.
Entah kenapa, perkataan ini menyentuh hati Agus. Ia mendengarkan lebih serius lagi. “Kematian Kristus adalah bukti tak terbantahkan mengenai kasih Allah yang sangat besar dalam hidupmu. Kamu mungkin tidak merasakannya, karena kamu belum membuka hatimu untuk-Nya. Jangan ragukan diri-Nya, terimalah kasih karunia-Nya karena Tuhan rindu untuk bersahabat denganmu.
Agus merasa bahwa semua perkataan pendeta ini ditujukan kepadanya. Perkataan pendeta selanjutnya membuat Agus berdiri dan maju ke depan. Jika memang kamu adalah seorang yang telah ditelantarkan, seorang yang merasa dirinya tak layak dan tak berguna, atau merasa hidup ini tak ada lagi artinya, maka majulah ke depan! Saya akan kenalkan kamu pada satu pribadi yang tidak meninggalkanmu selamanya.
Agus perlahan maju bersama beberapa orang lainnya. Ia juga tak tahu kenapa ia pergi ke depan. Ia merasa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Sampai di depan, pendeta itu bertanya, Maukah kamu menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadimu ?
Agus bertanya balik, “Kenapa aku harus menerima diri-Nya? Bisakah Ia mengembalikan segala hal yang telah direnggut dari hidupku? Bisakah Ia menyembuhkan luka hatiku? Bisakah Ia mengangkat bebanku yang begitu berat? Tolong, pak pendeta, berikanlah satu alasan yang bagus untuk menerima Yesus itu.
Pendeta itu tersenyum, dan menjawab, “Alasannya sederhana, begitu kamu menerima Yesus dihidupmu, kamu tak akan pernah sendirian lagi dalam menjalani hidup ini.
Agus terdiam mendengar jawaban si pendeta, hingga akhirnya ia menjawab, Iya, aku mau menerima Yesus sebagai Juruselamat.
(Abang Bunapa. Amungsa, Februari 2024)