CERPEN – Saya dengan Melkias duduk diatas pulau kecil, pulau yang tidak jauh dari daratan pulau terbesar kedua dunia setelah pulau Gresnland. Hanya empat kilo dari pulau besar itu ke pulau kecil. Dua kursi kayu lapuk menduduki pantat hitam saya dan Melkias saat siang sedang menunggu sore datang dengan senja yang tidak harus indah.
”Pulau ini milik dua marga, Erari dan Rumawi,” kata motoris yang mengantar kami pulang pergi sambil dia mengunyah pinang yang sudah merah dalam mulutnya. Dia beritahu tiga nama pulau yang terlihat saat kami diatas kulit air sedang pulang.
”Disana itu pulau Babi, Ahe, dan Hariti. Di Ahe, perna ada Bule masuk sewa dan menjadikan wisata, tapi karena ada masalah, masyarakat pulangkan Dia”
“Tanah Papua lebih dekat dengan kepemilikan marga?” tiba-tiba tanya Melkias, saya diam satu menit, tidak mau berpikir keras, ingin menikmati suasana sunyi yang sejuk bersama pulau dan air laut yang indah; suara burung, air laut yang bening menjadi hari yang menyenangkan.
“Memang klien Marga to, Marga itulah simbol kepemilikan tanah besar ini, itu juga bagian dari exsistensi Orang Asli Papua.”jawab saya sambil membuang wajah pada pesisir laut dan bukit-bukit hijau.
“Berarti, yang punya tanah itu, dia yang punya marga dan mereka itu yang dibilang asli Papua?” tanya lanjut Melkias.
“Nanti di rumah baru kita lanjut diskusi sudah,” jawab saya tidak ingin lanjutkan diskusi yang berat.
“Diskusi disini saja, dirumah itu banyak ribut,” paksa Melkias ingin kita tetap lanjut diskusi tentang identitas manusia Papua.
“Ok, jadi begini menurut saya Melkias, saya mulai dari identitas secara umum,” kata saya memulai diskusi. Melkias langsung serius menatap saya setelah perbaiki posisi duduknya menghadap saya, seakan dia akan mendengar dosen yang menguasai teori sosial dan ahli konflik etnis.
Ada cerita identitas hidup orang migran di Amerika sebelum 1865 berlalu dengan alasan kebebasan demokrasi Amerika. Mungkin identitas mulai dikuasai politik patron dan klien; berproses dalam politik Indonesia, parahnya kita tidak bertanya salah benar, tentang dimana ujung moralitas dalam politik sosial kita.
“Apa urusannya dengan kita di Papua?” tanya Melkias bingung, saya jelaskan terlalu jauh dari Papua.
“Akan ke Papua jadi dengar dulu,” balas saya tidak ingin Melkias potong penjelasan saya.
Saya mengingat tulisan seorang Asia Amerika (buku, Trubes. Amy Chua) Afrika, Asia dan Eropa menjadi Amerika dengan sebutan, Afrika Amerika, Asia Amerika dan Eropa Amerika. Suku-suku hilang dalam sejarah kebebasan identitas. Negara yang besar dengan penduduk yang aneh, memiliki campuran darah yang gila adalah Amerika. Apakah mereka akan berakhir dengan Negara ideal seperti Indonesia dengan sikap politik yang campur-campur, tidak jelas hingga era Prabowo seakan Body Negara akan ikut perang dunia III.
“Jadi Nomen percaya Papua ini akan dikuasai oleh identitas lain yang akan datang nanti?” tanya Melkias penasaran dengan penjelasan saya.
“Dengar dulu!” balas saya.
Konflik hitam putih tidak kunjung berubah; diam dalam hukum yang memang kita harus setuju karena dominasi kapitalisme, namun bukan berarti fasisme akan hilang dengan itu, contohnya pernah ada Hitler, Stalin, Pol Pot, Mao Zedong, Soerharto, dan mungkin sedikit Jokowi. Mungkin pemimpin semua inginkan tirani dengan kekuasaan diatas hukum.
“Apa maksudnya itu?” tanya Melkias tambah bingung mendengar penjelasan saya.
Ini bukan kata politik yang nihil tapi ada realita hidup, bukan juga tentang mereka yang arogan dengan teori yang tidak membaca detail tentang teori kritis lalu membawa dalam ilmiah yang kabur tetapi terus maju dengan angkat dada, seakan narasi besar belum mati dan kebenaran menurut mereka adalah tunggal. Seakan kita akan mampu menghadirkan zaman tanpa perang, zaman tanpa pertempuran, penyiksaan, dan tanpa bom. Siapa itu? dan karena itu mungkin manusia pemikir seperti Horkheimer dan Adorno menulis tentang kritik terhadap modernitas, dan itulah bacaan yang tidak selesai membuat seorang wanita itu berkepala besar dalam sebagian kecil kepalsuan.
Akhirnya, Dia bermimpi menjadi Malaka secara biologis juga. Sangat totalitas dalam ide kebenaran yang paradoks. Dia memblokir saya dengan etika yang lemah. Ketika itu saya percaya wanita itu pembaca yang lemah; hanya sedikit jauh dengan mereka yang di Samabusa.
“Saya tambah bigung, kenapa ada wanita lagi Nomen? Kami dua ini jelas diskusi tentang identitas,” tanya bingung Melkias dengan jengkel. Dia ingin diskusi lebih ringan, tidak gelap dan kabur. Amerika dikuasai migran, orang asli Indian telah mengalami penaklukan, perampokan, dan asimilasi budaya. Apakah kita sedang pergi kesana?
“Jadi menurut Nomen, Papua ini bisa seperti di Amerika; misalnya Papua migran dalam satu negara, dan bukan hanya untuk orang-orang hitam tapi bercampur menjadi Jawa Papua, Sulawesi Papua, Manado Papua, Eropa Papua, Arab Papua?” tanya Melkias meminta kesimpulan yang pasti, jelas dan langsung pada inti jawaban.
Bisa terjadi karena sejarah selalu berulang seperti kata Pak kumis, Karl Marx,”sejarah berulang dengan sendirinya, yang pertama sebagai tragedi, kemudian sebagai lelucon.”
Melkias kamu Pernah dengar kata Megawati Soekarnoputri dua tahun lalu tidak? Dia berkata,”maaf ya, sekarang dari Papua ya, Papua itu hitam-hitam. Tapi maksud saya, waktu permulaan saya ke Papua, saya kok mikir, ‘La kok aku dewean yo.’ Makanya kemarin saya bergurau dengan Pak Wimpi, kalau sama Pak Wimpi dekat, kayak kopi susu. Tapi sekarang sudah banyak yang mulai blending jadi Indonesia banget. Rambutnya keriting karena Papua itu pesisirannya banyak orang pendatang, sudah berbaur.”
Kita harus pergi dari pulau kecil pada pulau yang besar setelah sore akan menjemput malam depan mata. Sayangnya senja tak kunjung datang hingga malam itu datang hendak kami bertolak ke rumah dari Pantai Erari.
“Ayo!!! Pulang!” teriak motoris memanggil kami pulang dari atas speed boat sebelum menepi diatas pasir putih seperti Bali.
Dia menepi. Kita angkat jejak dari pulau Nusi yang sepi (hanya punya satu rumah pondok) Sampai pada bibir pulau Papua; pulau yang selalu diributkan dengan operasi halus dan kasar untuk sebuah kekuasaan negara.
Diatas pulau terbesar kedua dengan ukuran 785,753 km2. Papua Melanesia. Pulau yang menyimpan banyak misteri alam untuk dunia dalam beberapa hal. Kita hidup dan mati disana. Sampai jumpa Melkias yang gelisah. Tetaplah gelisah untuk dirimu sendiri dan saya juga akan terus gelisah dengan jawaban saya sendiri. Semoga kegelisahan Melkias berubah karena menemukan jawabannya sendiri.
(ND/Pulau Nusi, 2024)