Oleh: Ronaldo Letsoin

Sumber daya manusia menjadi penting untuk menjawab setiap problem dan juga turut memberikan sumbangsih pemikiran untuk merancang pembangunan. Jika daya pikir mengalami cedera maka semua akan terpengaruh dan kita tidak dapat melakukan sesuatu untuk menjawab permasalahan sekaligus membuat perubahan. Dalam sistem pemerintahan dapat berjalan maksimal ketika sumber daya manusia memiliki cara berpikir yang progresif, menduduki bidang yang sesuai dengan profesinya, memiliki karakter yang kokoh dan loyal. Tentu dalam keterlibatan seseorang pada sistem pemerintahan berarti harus siap dan berwawasan luas agar segala problem, konsep pembangunan dapat diakomodir dengan baik. Yang seperti teruraikan ini masih menjadi persoalan, sekaligus menjadi bahan diskusi ketika berbicara tentang sumber daya manusia yang lemah ini lalu kemudian merambat kedalam sistem pemerintahan tentu akan menjadi kacau. Realita hari ini melihat keadaan para honorer di kabupaten Fakfak semakin menarik perhatian khusus yang secara potensial masih berada dibawah standar. Dengan demikian, maka ulah dari tidak diperhatikannya SDM sehingga Honorer tidak memiliki potensial akhirnya menjadi Budak ASN.

Salah satu pion kecil yang juga menjadi tolok ukur kestabilan dalam menjalankan roda pemerintahan atau Good Governance (pemerintahan yang baik) adalah honorer atau tenaga kerja aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil (ASN/PNS). Honorer sudah pasti memiliki standar pendidikan Strata Satu (S1), berarti berada dalam taraf berpikir orang-orang yang memiliki kemampuan. Bukan lagi di era 90-an yang menggunakan ijazah SMA/SMK bahkan Diploma yang minim terhadap ilmu pengetahuan. Sejauh ini sudah sangat maju kehidupan era modern yang melibatkan hampir setiap aktivitas manusia tidak terlepas dari teknologi, tetapi apa boleh buat jika seseorang tidak melakukan hal penting untuk mengembangkan kapasitas dirinya.

Topik ini menjadi penting untuk diangkat agar pemerintahan sebesar Indonesia ini dan juga secara khusus pemerintah daerah kabupaten Fakfak harus melihat sumber daya manusia dan serius memberikan pelayanan pada pendidikan yang benar, bukan mengkapitalisasi pendidikan yang akhirnya terjadilah honorer itu berada sebagai budaknya aparatur sipil negara (ASN). Mengapa dikatakan sebagai budaknya ASN?, yang utama adalah dampak dari lemahnya sumber daya manusia (SDM) dan berikut adalah sistem pemerintahan yang tergolong hegemoni kepentingan. Kedua hal ini yang memicu ruang gerak pengetahuan sekelas honorer itu terjebak bahkan sadisnya mereka tidak menyadari tentang kondisi mereka yang sebenarnya ada dalam suatu sistem yang monopoli kekuasaan dan mempekerjakan layaknya sebagai budak.

Fakta yang ditemukan dalam setiap instansi pemerintahan kabupaten Fakfak tentang aktivitas honorer ini hanya menyandang tiga tugas utama yang bisa saja dikatakan sebagai pekerjaan prioritas. Tugas utamanya adalah Kurir atau sebagai pengantar surat, melayani absensi, mengantar ini dan itu jika disuruh dan setelah itu semua dilakukan hingga berakhir menanti perintah berikutnya dengan menikmati handphone (terkesan malas tau dengan keadaan). Membersihkan gedung seharian berganti-ganti tenaga namun tidak membosankan, seakan inilah pekerjaan yang harus dan wajib dilakukan sekelas honorer. Tidak hanya menjadi seorang kurir, sekelas Pamong Praja pun tidak cukup hingga honorer menjadi bagian dalam mengamankan roda pemerintahan. Dengan keadaan yang (malas pikir “siapa anda, siapa saya”) namun secara tidak sadar sedang menjadi keamanan terhadap pemerintahan, datang kantor duduk, diam, absen, lalu pulang. Style ini tidak kaget namun kenapa sampai di tingkat kerja masih ada karakter layaknya mahasiswa “datang, duduk, diam, pulang”. Selain menjadi kurir, cleaning service dan security, handphone juga menjadi teman setia entah apa yang dilakukannya hingga berpikir untuk melibatkan diri dalam pekerjaan pemerintahan menjadi urutan paling akhir. Kesimpulan daripada aktivitas yang terjadi ini hanya bermodal mengisi absen saja sambil menanti gaji membuat para honorer merasa hidupnya telah sukses, padahal tidak sadar posisi dirinya dilakukan seperti budak.

Aktivitas yang terlihat selama hari kerja, para honorer hanya memiliki kewajiban kerja yang ringan seperti mengantar surat, membersihkan ruangan kantor, menjadi keamanan atau penerima tamu dan lain sebagainya yang sifatnya kerja ringan. Cenderung dapat penulis sebut sebagai Cleaning Service dan Security, juga sebagai kurir. Ketiga bidang ini yang paling sering ditemui di setiap perkantoran di kabupaten Fakfak. Setiap jam kerja ada banyak terekam aktivitas honorer dengan sikap yang kelihatan pasif, sangat disayangkan ketika kita direkrut sebagai tenaga kerja baru namun tidak memiliki keterampilan kerja. Terkesan hanya datang mengisi absen sambil duduk menunggu perintah dari PNS atau hanya sekedar siap sebagai kurir pengantar surat. 

Tetapi yang menjadi prihatin penulis untuk menceritakan kondisi honorer di kabupaten Fakfak merupakan suatu realita dimana secara tidak sadar para honorer ini sedang berada dalam ruang kerja yang sedikit berbeda. Banyaknya honorer namun tidak aktif menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya, padahal honorer memiliki tugas dan fungsinya, juga berdasarkan kompetensi keahlian atau pengalaman pribadi agar dapat membantu menjalankan roda pemerintahan. Terkesan para honorer di Fakfak ini tidak memiliki kompetensi diri dan pengalaman sebagai dasar untuk bekerja mendukung jalannya roda pemerintahan.

Semua persoalan yang terjadi ini merupakan dasar dari sumber daya manusia yang tidak diperhatikan serius oleh negara terhadap orang asli Papua bahkan secara nasional pendidikan di Indonesia menjadi sangat prihatin. Selain berasumsi tentang sumber daya manusia, Otonomi Khusus pun sampai hari ini tidak memberikan dampak besar terhadap orang asli Papua dalam menempuh pendidikan. Kelemahan ini yang kemudian memicu ketidakseimbangan untuk menciptakan pembaharuan bahkan secara logika berpikir kita masih berada dibawah standar. Akhirnya kita terjerumus dalam sistem yang hanya menguras semua energi dan tenaga hanya untuk kebutuhan dan kepentingan sekelompok orang.

Begini sudah ketika kita (orang Papua) berteriak merdeka ditutup dengan segala macam program pemerintah akhirnya semangat kemandirian itu menjadi hilang dan perlahan-lahan dimanja. Otsus gagal tidak memberikan jaminan penuh kepada kami orang Papua akhirnya memicu gejolak dimana-mana, terjadi konflik antar warga, marga, suku dan daerah. Pemerintah berusaha menangani semua itu dengan menyediakan ruang-ruang kerja supaya dapat menjaring persoalan itu dengan memberikan kesempatan kerja kepada orang asli Papua. Dengan cara seperti itu sehingga pemerintah dapat membendung semua persoalan yang ada di Tanah Papua. Namun, sayangnya dipekerjakan sebagai budak dengan prioritas pekerjaan yaitu Cleaning Service, Security dan Kurir. Demikian realita ini dapat diambil kesimpulan bahwa Honorer Budaknya ASN, ASN pun menjadi korban yang terikat dalam suatu sistem monopoli kekuasaan pada pemerintahan yakni rezim berganti rezim memiliki kebijakan berdasarkan konsepnya bukan bersandar pada kondisi rakyat jelata.

Sebagai orang asli atau anak negeri Papua kita harus sadar dan buka mata untuk melihat realita ini bukan hanya menerima semuanya sebagai takdir. Kehidupan di dunia ini bukan seutuhnya diatur oleh yang maha kuasa tetapi manusialah yang melakukan semua ini dengan cara dan tindakannya sendiri. Kita tidak sadar kita sedang dikontrol, dipengaruhi, dijajah, hingga dalam sebuah sistem pemerintahan bahkan hukum di Indonesia ini hanyalah mengarahkan kita pada kepentingan sekelompok orang. Otonomi Khusus saja sudah sampai dua periode tetapi apa yang terjadi, kekhususan itu hanyalah sebuah simbol, keberpihakan itu hanya terucap namun tidak ada pelaksanaan nyata di lapangan. Mengerucut kedalam tentang pemahaman atau kemajuan berpikir dalam waktu yang terus berputar ini kita masih tertinggal jauh dari yang lain. Tidak ada prioritas terhadap pengembangan sumber daya manusia Fakfak, mulai dari usia dini hingga tingkat paling tinggi itu tidak ada yang benar-benar terdidik dan memiliki potensi yang luar biasa. Malah di klaim kebebasan dalam studi setiap anak asli Papua agar tidak menjadi pengaruh untuk menata daerahnya sendiri karena negara merasa bahwa ketika orang Papua pintar dan secara tindakan dan pikiran menjadi kuat maka ada ancaman yang dapat mempengaruhi negara. Oleh sebab itu sampai saat ini kita terlihat dibiarkan begitu saja sehingga kebebasan para orang-orang yang mengumpulkan kekayaan dan memanfaatkan orang lain itu menjadi bebas dan sesuka hatinya melakukan segala tindakan hanya untuk meraih kepentingan, uang dan jabatan.

Sadar sudah bagi kita anak negeri yang sudah berpendidikan, kita tidak harus bekerja untuk kepentingan orang lain, kita tidak harus ditarik sana-sini, dipasang sebagai tameng untuk memperkuat kepentingan orang lain. mau sampai kapan kita terus ditindas secara pikiran dan tindakan. Lihat pada tugu satu tungku tiga batu yang adalah simbol untuk negeri Mbaham Matta, apa yang terjadi tentang semua yang berlangsung di negeri ini, sekelompok orang hanya menggunakan satu tungku tiga batu itu sebagai tameng untuk menyelamatkan kepentingan mereka. Orang asli Mbaham Matta sendiri sampai saat ini masih dibiarkan begitu saja, padahal kita yang punya, kita yang berhak tetapi apa boleh buat, kita hanya menjadi layaknya tamu didalam rumah sendiri. Para kelompok kepentingan yang ada dalam segala aspek ini menggunakan suara untuk mengatakan tentang harkat dan martabat negeri Mbaham Matta tetapi secara tindakan tidak berpihak pada orang asli, kenyataan ini lah yang terjadi hingga sekarang oleh sebab itu, sumber daya manusia dilemahkan atau dibiarkan begitu saja dan semua yang tertuang didalam otonomi khusus itu dibekukan agar tidak ada kebebasan murni jaminan terhadap orang asli Papua khususnya di negeri Mbaham Matta.

Share this Link

Comments are closed.