CERPEN – Tahun 2010-2011 kuliah S2 Antropologi di kampus Radboud University Nihmegen Belanda. Defe terganggu dengan cerita misteri hilangnya Michael Clark Rockefeller di kampung Otsjanep Asmat Papua yang selalu disinggung dosen antropologi dalam ruang study. Michael Rockefeller, anak kelima dari dinasti makmur generasi keempat keluarga kaya raya Rockefeller. Bapaknya Nelson Rockefeller, mantan Gubernur New York 1958 Amerika Serikat.

Defe memiliki waktu untuk mencari data tentang hilangnya Michael Rockefeller dari perspektif yang lain. Ia memiliki ide untuk menulis buku. Defe keliling kota Belanda membaca literatur tentang Papua, lebih khususnya tentang hilang Michael Rockefeller. Berkekeliling perpustakaan terkenal. Defe akan bertemu dengan dosen antropologi yang dia kenal selama kuliah S2 di Belanda, Profesor Van Bruines, dosen yang cukup dikenal baik oleh Defe selama di Belanda.

“Saya penasaran dan terganggu dengan misteri hilangnya Michael Rockefeller di Asmat Papua tahun 1960 dan dinyatakan mati secara defacto pada tahun 1961. Disana tempat saya berasal Prof, daerah Asmat cukup dekat dengan kampung saya Prof,” jelas Defe kepada Prof Van Bruines di ruang dosen kampus Radboud University Nihmegen.

Prof Van Bruines teman dekat Rene Wassing,seperti Michael Rockefeller. Mereka satu komunitas besar antropolog era 1960-an. Mereka banyak berekspedisi antropologi ke berbagai penjuru dunia, salah satunya ekspedisi ke Papua, meneliti suku Dani di Wamena. Prof Van Bruines tidak ikut dalam ekspedisi ke Papua, Ia menolak setelah beberapa kali pertemuan bersama Rockefeller Foundation di New York Amerika Serikat. Michael Rockefeller sebagai juru rekam dan Rene Wassing juru potret ikut dalam tim ke Wamena Papua, dan berakhir dengan cerita yang berbeda di Asmat.

“Bagus itu Defe, kamu harus bertemu Rene Wassing, dia terakhir berpisah dengan Michael Rockefeller diatas muara sungai Eilanden, dekat Lautan Arafura di Selatan Papua. Mumpung dia (Rene Wassing) masih ada. Dia sudah umur 80 tahun dan saya 75. Dia punya catatan penting yang lain tentang misteri hilangnya Michael Rockefeller. Kamu harus minta catatannya dan wawancara, menulislah buku. Kami sudah usia senja, saya percaya apapun dia akan beritahu dengan dengan jujur dan akan berikan kamu data semua. Saya akan membantu Defe ketemukan data-datanya hingga terbit buku. Saya tertarik dengan idemu nak,” jelas dosen Antropolog Prof Van Bruines kepala Defe.

Prof Van Bruines duduk sandar diatas kursi hitam beroda empat, ruangan yang dingin dipenuhi buku diatas meja dan rak pada dinding, arumah kertas dan bagunan antik tercium tajam. Rambut sudah memutih, sebagian rontok, kulit sudah keriput, tinggi tidak gemuk, Ia mampu berjalan ringan menyetir mobilnya sendiri, belum pensiun dari dunia mengajar yang dikagumi sebagai guru besar antropologi di Belanda. Prof Van Bruines pernah tinggal dua tahun di Papua, memiliki cerita yang unik bersama orang Papua di kota Holandia Jayapura, fasi berbahasa Indonesia.

Defe perempuan asli Papua gunung peranakan Ambon, lahir besar Sentani Papua. Defe perempuan Papua yang beruntung dapat beasiswa keluar negeri dengan biaya dana otsus. S1 kampus Curtin University Australia jurusan Antropologi, lanjut S2 Antropolosi di Belanda. Defe baru saja (2010) selesaikan study S2 dan akan melanjutkan S3. Satu tahun yang kosong, menunggu biaya lanjut S3.

Di waktu luang, Defe akan menulis buku. Tertarik dengan isu lama yang dekat dengan masyarakat Papua. Sejak kecil Defe suka membaca buku, sejak duduk sekolah menengah pertama. Defe memiliki karakter ingin tau yang tinggi tentang hal-hal baru dengan modal membaca sejak kecil. Dia perempuan Papua yang memiliki hobby yang unik, suka belajar dan hobby membaca buku dimana saja.

“Saya ingin melihat dari sosial politik Prof, zaman itu (1960-an) Papua dalam transisi politik yang hebat dari Belanda ke Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat dan itu telah sukses. Ada buku sejarah operasi hebat di Papua saya baca,”jelas Defe setelah membaca dua buku berjudul ”Savage Harvest” (Cart Hoffman) dan “Rocky Goes West (Paul Toohey), juga film documenter oleh Chafton Heston dan beberapa literatur lain di perpustakaan ofline dan online. Defe ingin memperlihatkan fakta Politik dibalik hilangnya Rockefeller. Defe kembali bertemu Prof Van Bruines setelah dua bulan mencari data dan mempelajari literatur tentang Michael Rockefeller di Papua dengan komunitas antropolologi.

“Saya tau apa yang kamu pelajari nak. Apa yang kamu ingin katakan dari Politik yang kamu baca tentang. Ternyata kamu cukup cerdas dan berani tentang itu?” berpura-pura tanya Prof Van Bruines kepada Defe.

“Saya ingin katakan bahwa” Misteri hilangnya Michael Rockefeller di Asmat adalah penipuan besar oleh Amerika Serikat di Papua untuk Indonesia dan hasilnya Papua berhasil masuk dalam Indonesia,” jelas Defe buat Prof Van Bruines sedikit kaget dengan analis Defe sejauh itu.

“Apakah Defe pernah ketemu dengan Rene Wassing sebelumnya?” tanya Prof setelah diam beberapa menit memandang wajah Defe yang bercerita dengan sedikit emosi campur sedih.

“Sama sekali belum perna Prof,” balas Defe singkat.

“Waw!! okey, besok saya tidak ada jam mengajar, kamu datang jam 08:00 pagi, kita akan pergi kerumah teman saya, Rene Wassing. Sebentar saya akan menelponnya,” balas Prof Van Bruines sambil Ia berdiri pelan untuk meminum air putih dalam teko besi yang sudah klasik.

“Okey Prof, makasih, saya pamit,” balas Defe berdiri pulang. Setiap kata Prof Van Bruines yang keluar, Ia mencatat untuk menganalisa dirumah; mengolah menjadikan data yang memungkinkan.

Pagi jam 11:09 di kota Voorburg,Holland Selatan. Depan rumah batu berlante dua dengan batu yang terlihat kokoh, nampak tua. Daerah yang dingin dan sepih. Tumbuhan berwarna pucat diantara sebagian kecil hijau yang sedikit padat. Defe dan Prof Van Bruines sebentar lagi akan sampai di rumah Rene Wassing, salah satu antropolog senior Belanda dalam ekpedisi menyeliti Suku Dani di Nugini untuk Museum Arkelogi dan Etnologi Peabody Harvard, Rene Wassing bertugas sebagai juru potret dan Michael Rockefeller sebagai juru rekam.

Rene Wassing menyambut Defe dan Profesor Van Bruines depan rumah dengan tongkat kayu jati. Dengan senyum lebar melihat teman antropologi senior di Belanda yang sudah sekian bulan tidak berjumpa. Prof Van Bruines membalas senyum, Ia ikut bahagia bertemu teman lama. Defe ikut menyambutnya dengan wajah ceriah. Mereka saling sapaan alah orang Belanda dalam bahasa Ibu. Perlahan masuk rumah bersama anak perempuan yang menikah dengan anggota tentara Amerika, namun sudah menjanda karena suaminya tewas di Afganistan era Presiden Bush (2009) buruh Usamah bin Ladin.

Foto-foto ekpedisi Rene Wassing waktu muda diberbagai daerah di gantung pada dinding ruang tamu berwarna abu-abu, ada rak buku dan berbagai patung ukiran warga lokal. Hanya satu foto Rene Wassing punya di Papua, foto waktu di Wamena. Defe mencari-cari foto bersama Michael Rockefeller, tidak ketemu. Defe merasah ada yang aneh dari ekspedisi ke Wamena hingga di Asmat.

”Ada sesuatu yang Rene Wassing simpan dengan rahasia, kasus yang menghebohkan dunia pada tahun 1960-1961 diseluruh dunia, masa tidak ada cerita yang dikenang oleh pelaku sejarahnya. Jangan sampai analisa politik saya benar, tapi tidak, sabar dulu, ”pikir Defe sembari menunggu Prof Van Bruines memulai diskusi tentang misteri hilangnya Michael Rockefeller. Defe sudah menyiapkan rekaman audio dan buku catatan diatas meja.

“Ini mahasiswa S2 saya namanya Defe, dia ingin mewawancarai anda tentang perjalanan ekspedisi anda ke Wamena Papua hingga di Asmat, lebih kepada misteri hilanya Michael Rockefeller. Dia ingin menulis buku dari aspek politik, ingin melihat catatan baru dari anda, kurang lebih begitu teman, bagaimana menurut anda,” kara Prof Van Bruines kenalkan Def pada Rene Wassing di ruang tamu. Anaknya yang sudah menjanda duduk disamping kiri bapaknya setelah menyiapkan kopi dengan kue kering diatas meja.

“Kamu mahasiswa yang berani cerdas, mencari sesuatu yang berlalu namun penting, kamu sangat beruntung menjadi bahasiswa teman saya. Mulai tahun 2010 ini, saya sudah tidak ingin menyimpan rahasia dan tidak ingin itu menjadi beban ketika saya meninggalkan bumi. Sudah lama Saya tunggu mahasiswa atau orang Papua datang kerumah saya ini, mencoba cari yang lain dari cerita yang luas. Saya ingin berikan sesuatu catatan yang rahasia kepada orang asli Papua sendiri, selamat untuk anda anak muda kamu. Saya sudah tulis dan malam saya sudah siapkan, saya akan berikan kepada kamu hari ini, Saya percaya kamu karena kamu berhasil sampai di rumah saya dan kamu mahasiswa teman saya yang sangat beruntung,” kata Rene Wassing kepada Defe. Jujur, tidak ingin membebani apapun tentang nanti.

“Tulislah data ini, jadikan buku anda dengan nama anda. Temanku sudah tau apa isi catatan ini. Semua saya telah diskusikan dengan Van Bruines temanku ini. Anak muda Papua yang hebat, anda saya percaya. Jika bisa, catatan ini sebarkan dalam buku setelah saya meninggal karena waktu. Anak saya ini akan membantu anda menyusun buku sambil menjaga data,” jelas Rene Wassing meminta Defe menjaga data hingga pada waktunya nanti.

“Terimakasih banyak bapak Rene Wassing dan Terimakasih juga dosenku Prof Van Bruines serta Julia yang akan bersama menjaga data ini hingga akan menjadi buku nanti,” kata Defe dengan harapan dan rasa berterimakasih yang tinggi.

“Temanku dan anakku Julia, tolong bantu nona kecil ini, dia berani dan pejuang kebenaran. Catatan saya ini harus semua orang Papua bersama orang Indonesia ketahui. Nona kecil Def, tolong jaga rahasia ini sampai pada waktunya beritahu orang-orang kamu, saya merasa bersalah pada orang-orang Asmat, banyak warga Otsjanep dan Omadesep mati karena operasi tentara bayaran dari Eropa yang disewa keluarga kaya raya. Mungkin begitu dulu teman, saya harus istrahat sebentar,” kata Rene Wassing dengan wajah sedih pada kulit tua yang sudah tidak kuat lagi dengan waktu. Berdiri dengan bantuan anaknya Julia ke kamar tidur setelah diskusi 30 menit.

Prof Van Bruines dan Defe pamit. Semua diskusi sudah menjadi rekaman dan menjadi catatan dalam buku. Prof Van Bruines dan berpisah. Defe berangkat ke perpustakaan Openbare Bibliotheek di Amsterdam. Prof kembali kerumah untuk menyelesaikan jurnal. Mereka tiga (Defe,Prof dan Julia) akan bertemu pekan depan untuk diskusi tentang data rahasia Rene Wassing untuk menjadikan buku. Sebelum berpisah, Rene Wassing meminta maaf kepada Defe sambil memegang tangan dengan gementar, ”sekali lagi maafkan saya, kamu harus sampaikan ke publik, saya minta maaf kepada seluruh Orang Papua, terutama Orang Asmat di dua kampung (Otsjanep,Omadesep) yang telah korban lebih dari 300 jiwa karena senjata dan penyakit sampar. Sampaikan catatan saya ke semua orangmu disana,” ucap maaf Rene Wassing dengan wajah merah sedih dan air mata.

Banyak orang ramai di perpustakaan Openbare Bibliotheek, Defe bertemu orang-orang sibuk membaca buku seperti suasana pasar, tapi tenang. Salah satu perpustakaan lengkap di Belanda. Defe duduk diruang baca yang tersedia dingin. Membuka leptop Dell Code 15 dan coba menyaring catatan Rene Wassing. Membuka catatan Rene Wassing dalam text book, sampul hitam berwarna pudar. Tulisan tangan, kertas sudah sebagian kusut, sebagian kecil robek kecil. Tulisan dalam bahasa Belanda, mudah di baca Defe, mampu translate. Rene Wassing menulis detail sesuai pertemuan sebelum tim berekspedisi ke Papua. Ada dua pertemuan penting bersama petinggi negara Amerika Serikat dan Agen CIA (Central Intelligence Agency) di kota New York. Di pimpin langsung oleh Nelson Rockefeller anggota keluarga Rockefeller; dinasti kaya raya dunia dan juga ada beberapa anggota petinggi CIA.

Belum membaca tuntas, handphone berdering, “Defe kamu dimana sekarang?” tanya cepat dengan sedikit tegas Prof Van Bruines.

“Saya di perpustakaan Openbare Bibliotheek Prof?” jawab serius Defe.

“Pertemuan kita di rumah Rene Wassing sudah disadap dinas Intelejen, ada spionase sekitar wilayah rumah Rene Wassing. Defe harus keluar dari Belanda, membawa keluar data itu. Saya percaya mereka akan ikuti kamu kemana pun untuk menggambil data Rene Wassing itu. Bapa akan carikan kamu tiket dan malam ini kamu tidur di hotel, besok kamu harus ke Negara yang aman dari agent CIA. Defe tunggu, saya akan telfon setelah saya urus,” jelas Prof Van Bruines, akan bekerja keras untuk Defe membawa keluar data Rene Wassing dari Belanda dan pergi ke Papua untuk memberitahu catatan Rene Wassing kepada Dunia.

“Okey Prof, makasih banyak, saya pergi dari sini dan saya tunggu tiketnya di hotel,” balas gegas Defe, akan pergi dari perpustakaan Openbare Bibliotheek mencari hotel.

Hari kamis sudah mulai gelap. Jam enam lewat empat puluh dua menit di Belanda. Defe berdoa sebelum pergi ke hotel melindunggi data. Keluar dengan cepat dari perpustakaan, masuk taksi, sampai di hotel bernama Renesse. Batin Defe tidak tenang dengan security hotel dan wajah pria kekar di depan hotel Renesse. Jam malam. Defe belum tidur. Mondar-mandir dalam ruang hotel kamar 101 lantai tiga. Tidak tenang, akan ada yang menghampiri. Defe bertahan dari tidur, menunggu informasi dari Prof Van Bruines. Defe menunggu dengan harapan ada tiket keluar dari Belanda besok pagi ke Negara yang aman atau ke Papua. Jam 02:00 belum ada nada dering yang datang dari Prof Van Bruines pada telfon genggam Defe. Defe terbaring tempat tidur dengan lelah. Kaget sudah pagi. Cepat melihat layar hp, belum juga panggilan masuk dari Prof. Hanya suara Tv yang belum mati dari malam tembus pagi.

Defe keluar dari toilet, ada berita tentang perampokan dan pembunuhan di dua rumah dengan alamat yang tidak asing bagi telinga Defe. Ia melempar handuknya dari tangan diatas lantai, berdiri genggam rambut depan Tv. Defe tidak percaya kejadian ini. Defe nangis jatuh diatas lantai, banting tubuhnya. Rumah Prof Van Bruines dan Rumah Rene Wassing di rampok orang tak dikenal, penghuninya tewas. Prof Van Bruines tewas kena tempak serta Rene Wassing dan anak perempuan Julia tewas tidak bernyawa dalam rumah. Defe berdoa dengan air mata dan menelpon keluarga di Papua. Tidak ada yang merespon. Papua masih jam 03:05 subuh. Tidak satu pun yang merespon. Defe lebih panik dalam kamar 101 hotel Renesse.

Pandangan mata Defe melihat kebawah dari lantai tiga, depan hotel Renesse. Defe melihat mobil Ford Hitam masuk dengan cepat parkiran hotel. Defe menduga mereka datang mengejar data Rene Wassing. Defe menelpon keluarga Papua di Belanda lagi, nomor hpnya sudah di nonaktifkan dalam kurung waktu yang singkat, tidak bisa buka semua media sosial. Defe pasrah.

”Tuhan semua saya serahkan kepada-Mu, terjadi sesuai kehendak-Mu. Jika aku harus datang hari ini, inilah perjuangan saya demi bangsaku, saya bukan pejuang depan mata tapi dalam diam saya bangga dengan perjuangan ini demi tanah tumpah darah saya. Mungkin data ini akan mereka bakar tapi saya percaya ada api keabadian lain yang akan membakar mereka, ”Doa Defe dengan air mata. Bunyi lif kecil beberapa saat masuk telingga Defe. Dua orang masuk tanpa susah membuka pintu. Defe tiba-tiba kaget berdiri. Seakan dua orang itu memiliki kunci hotel. Dua pria bercelana jeans biru, bersepatu militer berjaket kulit hitam menyala, badannya kekar tinggi hampir dua meter. Bertopi hitam.

“Hey nona hitam cantik, selamat pagi,” kata sapaan orang pertama yang masuk kepada Defe. Suaranya bass tegas. Matanya sebagian merah memandang Defe. Wajah yang menakutkan.

“Kalian siapa?, jangan membunuh saya, saya mahasiswa asal West Papua,” tegas Defe kepada dua orang pria kekar tinggi itu. Defe ketakutan. Air mata di wajah depan dua pria besar berwajah keras.

“Jangan menangis nona kecil, kami orang baik, tidak akan ada kekerasan pada kamu. Hanya saja, tolong letakkan leptop kamu dan seluruh catatan dan hp kamu diatas meja,” perintah dua pria, suaranya berubah dari rendah.

“Ini ambil semua, kalau boleh ambil juga pakean dalam saya, dasar perampas hak orang lain kalian, dasar orang pencuri!!!,” ucap tegas Defe sambil nanggis menyerahkan semua data dalam leptop, documen dan handphone.

“Makasih nona kecil yang baik hati, berdiri disana, kami akan periksa semua ruang ini,” balas pria kekar tinggi,berdiri dibalik pintu dengan tapi hitam genggam hate”Jangan menyentuh nona kecil itu, dia mahasiswa. Sita saja semua documennya dan berikan dia akses baru, ”suara lain datang melalui radio hate kepada dua orang yang siap pergi dari kamar 101 hotel Renesse. ”Aman boss,” balas pria bertopi hitam.

“Beres, kamu boleh beraktivitas seperti mahasiswa biasa nona kecil. Selamat pagi selamat beraktivitas anak hitam genius, maaf mengganggu,” kata pria kekar yang kembali setelah pergi sembari meletakkan hp baru dan leptop baru diatas meja kamar hotel. Defe membuka hp dan leptop dengan nomor baru dan akun, Ia bertemu dengan postingan teman-teman kampus dan keluarga di Papua memberikan selamat berpulang kepada Defe.

“Defe kenapa kamu harus bunuh diri? kamu kurang apa? Kenapa tidak bicara? Sayang Defe, anakku yang cerdas dan cantik,” bunyi postingan keluarga di Papua melalui dinding media sosial setelah media Belanda ramai dengan berita ”seorang wanita mahasiswa S2 asal Papua bunuh diri di kamar hotel 101 Renesse. Hampir seluruh Tanah Papua duka. Kata mereka, ”Defe perempuan yang cerdas”

Setelah sepuluh tahun kemudian. Di tahun 2020. Ada data Rene Wassing muncul di Papua dalam buku yang ditulis seorang pemuda Papua jurusan antropologi. Ternyata Defe perna mengirim dokumen Rene Wassing dengan cara yang cerdas kepada pacarnya. Defe berhasil menipu tim Intelejen untuk menghapus jejak rahasia Amerika Serikat di Papua.

(Cerita ini hanya fiksi, mohon maaf jika ada penamaan nama dan tempat)

(Oleh: Mr.Nomen)

Share this Link

Comments are closed.