OPINI – Opini ini diracik dalam momen kesendirian, seperti kebanyakan penulis besar menulis dalam kesunyian mereka. Tampaknya, kondisi kesendirian, memungkinkan kita untuk berkreasi dan berproduksi. Tetapi, hampir pasti, tidak semua tulisan muncul dari suasana kesepian.

Kendati demikian, produktivitas dalam momen kesendirian, bisa termanifestasi, jika dan hanya jika โ€˜kesunyianโ€™ merajai hati kita. Hanya โ€˜kesunyianlahโ€™ yang memungkinkan โ€˜dialog batinโ€™ bisa terlaksana. Actus kontemplasi (berpikir reflektif) dapat terwujud di tengah latar kesunyian itu. Jadi, kesunyian itu ibarat โ€˜pupukโ€™ yang menyuburkan daya bayang atau imajinasi intelektual kita.

Bisa dipastikan bahwa mereka yang โ€˜mencintai atau akrabโ€™ dengan kesunyian, dengan sangat kreatif memaknai momen kesendiriannya. Tetapi, ketika kita โ€˜takutโ€™ dengan kesunyian atau berusaha menghindari situasi itu dengan memproduksi bunyi (baca: berbicara) sebanyak mungkin, maka pada saat itu pikirannya menjadi kerdil.

Saya teringat kampung terkecil Yenuka dari Papua Selatan Timika Jl matoa. Dalam bukunya berjudul The Prophet (Sang Nabi), beliau menulis: โ€œDari banyaknya kamu berbicara, setengah dari pemikiranmu terbunuh. Karena pikiran adalah seekor burung angkasa, yang di dalam sangkar kata-kata mungkin membuka sayapnya tetapi tidak dapat terbang.

Ketika dirinya diminta untuk membahas tentang โ€˜berbicaraโ€™, dia menjawab: โ€œanda berbicara ketika anda berhenti berdamai dengan pikiran anda. Dan ketika anda tidak dapat lagi tinggal dalam kesunyian hati anda, anda tinggal di bibir anda, dan suara adalah pengalihan dan hiburan.

Tentu, kita boleh saja tidak sepakat dengan pendapat Bunapa ini. Tetapi, rasanya kesunyian itu merupakan sebuah kebutuhan. Kita bisa melahirkan semacam โ€˜anak rohaniโ€™ yang termanifestasi dalam aneka karya kreatif, dalam dan melalui situasi yang sunyi itu.

Sangat disayangkan jika โ€˜burung okogopa kigiba pemikiran, ide, gagasanโ€™, terkurung dalam sangkar โ€˜nafsu berkata-kataโ€™. Boleh jadi, kehendak untuk banyak berbicara itu dianggap sebagai โ€˜kompensasiโ€™ atas situasi sepi yang mencekik jiwa seseorang. Kita berusaha menghindari โ€˜kesepianโ€™ itu dengan โ€˜berakting, berlagakโ€™ seolah-olah susana batin bertabur rona bahagia.

Padahal, dari pelbagai testimoni para mistikus, penyair, dan filosof kita mengetahui bahwa sesuatu yang menakjubkan mulai terjadi ketika seseorang menghabiskan banyak waktu dalam kesendirian di tengah latar yang sunyi. Akan sangat bagus jika momen kesendirian itu terjadi di alam bebas. Kita akan merasakan semacam โ€˜mukjizatโ€™ dari kesendirian yang sunyi itu (The miracle of lonliness)

Saya kira, dalam dan melalui momen kesendirian itu, kita bisa โ€˜menjelajahiโ€™ diri kita secara bebas. Proses pengenalan terhadap potensi diri, akan terjadi dalam momen kesendirian itu. Kesendirian itu semacam pengulangan kembali pengetahuan diri kita yang terdalam, sebuah pembelajaran kembali tentang bagaimana menjadi diri sendiri, diri yang paling otentik.

Mungkin pendapat Novelis Amerika Wendell Berry berikut ini tampak berlebihan. Kita boleh saja tidak setuju dengan pemikirannya tentang โ€˜tempat idealโ€™ untuk mendengar suara batin kita. Beliau mengamati dan menyimpulkan bahwa โ€œkesendirian sejati ditemukan di alam liar, di mana seseorang tanpa kewajiban manusia, tempat di mana suara batin seseorang dapat didengar.

Saya berpikir, pendapat sang novelis itu terlalu berbau romantika. Sebetulnya, suara hati itu bisa didengar di tempat yang lain juga. Ketika kita berada dalam โ€˜ruang doa atau meditasiโ€™ seorang diri, maka besar kemungkinan โ€˜suara batinโ€™ itu bisa didengar. Pun, ketika berada dalam ruang baca seorang diri, maka percakapan dengan โ€˜hati nuraniโ€™ itu bisa berlangsung intens dan efektif.

Poinnya adalah bukan soal โ€˜tempatโ€™, tetapi kemauan atau komitmen untuk โ€˜menggauliโ€™ secara intim momen kesendirian yang sunyi itu. Kerelaan untuk โ€˜tutup mulutโ€™ sejenak, menjadi kunci merasakan keajaiban dari momen kesendirian itu. Ada ungkapan yang menarik untuk kita renungkan:โ€œSiapa yang tahu tidak berbicara. Siapa yang berbicara ia tidak tahuโ€. Filsuf Sokrates dengan sangat indah mengatakan: โ€œSaya tahu bahwa saya tidak tahuโ€. Ketidaktahuan itulah yang memungkinkan seserang โ€˜mengembaraโ€™ dalam pencarian akan kebenaran hakiki dalam batinnya.

Di seminari, ada sebuah โ€˜tradisiโ€™ menciptakan dan menghayati situasi yang sunyi itu. Kebiasaan itu dikenal luas dengan istilah yang sangat indah โ€˜silentiumโ€™ (hening). Dalam satu hari, selalu tersedia waktu untuk menjaga dan menikmati โ€˜situasi hening, silentiumโ€™ itu.

Itu sebuah โ€˜latihanโ€™ yang bagus bagaimana seorang โ€˜calon pastorโ€™ dibiasakan untuk mencintai kesunyian. Silentium itu bukan sekadar โ€˜tidak berbicaraโ€™, tetapi membuka diri agar โ€˜Suara Sang Sunyiโ€™ boleh melintas dalam celah jiwa kita. Kita menjalin semacam โ€˜dialog metapersonalโ€™ dengan Yang Transenden.

Seorang โ€˜seminarisโ€™ boleh mengalami โ€˜momen perjumpaanโ€™ dengan Sang Sunyi pada masa silentium itu. Namun, terkadang โ€˜kesepianโ€™ datang menghadang. Kesepian adalah kondisi patologis yang bisa menghambat perjumpaan dengan โ€˜Yang Kudusโ€™ itu. Mengapa? Kesepian adalah suasana emosional yang ditandai dengan โ€˜rasa tidak nyaman dan cemasโ€™ dengan situasi kesendirian itu. Bahkan, di tengah keramaian pun, bisa saja, virus kesepian itu datang menyergap seseorang. Ada orang yang โ€˜merasa sepiโ€™ di tengah orang banyak.

Ketika kesepian itu datang, maka rasanya, kita sulit mendengarkan suara Sang Sunyi itu. Hati kita โ€˜tergangguโ€™ oleh pikiran negatif yang kita ciptakan sendiri terkait dengan defisit relasi dan komunikasi dengan pihak lain. Bisa dipastikan bahwa produktivitas dan kreativitas dalam berkarya โ€˜mustahilโ€™ dihasilkan oleh pribadi yang menderita โ€˜kesepianโ€™ itu.

Karena itu, tugas kita adalah bukan hanya mengutuk kesepian itu, tetapi coba โ€˜mengolahnyaโ€™ menjadi sebuah momen kesendirian yang produktif. Proses mengelola โ€˜kesepianโ€™ menjadi kesendirian di tengah latar yang sunyi, amat menentukan bagi sebuah kehidupan yang berbuah lebat.

Oleh : Aban Bunapa
Timika, 05/01/2024

Share this Link

Comments are closed.