PAPUA – “Presiden Republik Indonesia Cq Mentri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera memerintah Manajemen PT. Freeport Indonesia untuk membayar hak-hak buruh dan mempekerjakan kembali 8.300 Buruh Mogok Kerja sesuai perintah Nota Pemeriksaan”
Dalam menanggapi semua upaya yang dilakukan oleh 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 140, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sejak 1 Mei 2017 sampai Desember 2021, Manajemen PT. Freeport Indonesia selalu menunjukan sikap tidak taat aturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Ketidaktaatan Manajemen PT.Freeport Indonesia atas aturan ketenagakerjaan di Indonesia secara khusus berkaitan dengan ketentuan Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana dijamin pada Pasal 137, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan fakta, ketidaktaatan hokum yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia terhadap perjuangan 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia sejak tanggal 1 Mei 2017 sampai dengan Desember 2021 sebagai berikut :
Pertama, terlihat setelah tiga bulan 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja yang sah Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mimika mengeluarkan Surat Nomor 560/800 /2017 Perihal Furlough dan Penetapan Mogok Kerja PUK SP KEP SPSI PT. FI, tertanggal 28 Agustus 2017 yang menjelaskan bahwa “Fourloungh tidak dikenal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 namun Manajemen PT.Freeport Indonesia mengabaikan surat tersebut dan tarus mengabaikan nasib 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja.
Kedua, pada bulan september 2018 Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Papua mengeluarkan Surat Dinasker Propinsi Papua Nomor : 560/1271, Perihal : Penyelesaian Penanganan Kasus PT. Freeport Indionesia tertanggal 12 September 2018 yang menyebutkan “Mogok Kerja yang dilakukan pekerja sudah selesai dengan. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen dan bukti fisik yang diterima maka Mogok Kerja yang dilakukan sah sesuai Pasal 137 dan Pasal 140 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” namun Manajemen PT.Freeport Indonesia mengabaikan surat tersebut dan tarus mengabaikan nasib 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja.
Ketiga, pada bulan Desember 2018, Gubernur Propinsi Papua mengeluarkan Surat Gubernur Papua Nomor 540/14807/SET, Perihal : Penegasan Kasus Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia, tertanggal 19 Desember 2018 yang menegaskan bahwa “Mogok kerja yang dilakukan pekerja PT. Freeport Indonesia, Privatisasi, Kontraktor dan Sub Kontraktor sejak 1 Mei 2017 telah sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaa dengan 137 dan Pasal 140 sehingga mogok kerja tersebut sah maka Gubernur Papua menegaskan PT.FREEPORT INDONESIA, Privatisasi, Kontraktor dan Sub Kontraktor Agar Mempekerjakan Kembali Dan Membayar Hak-Haknya Sebagaimana Mestinya Sesuai Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku” namun Manajemen PT.Freeport Indonesia mengabaikan surat tersebut dan tarus mengabaikan nasib 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja.
Keempat, Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas pengawas Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Papua selanjutnya diterbitkan Surat Dinas Tenaga Kerja Nomor : 560/1455/2019, Perihal : Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 yang dikirimkan Kepada : Pimpinan Perusahaan PT. Freeport Indonesia. Pada prinsipnya dalam Nota Pemeriksaan I berisi : 1). PT.Freeport Indonesia diwajibkan untuk menyelesaikan permasalahan ini dijalur UU Nomor 2 Tahun 2004 sampai dengan mendapatkan putusan tetap dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial; 2). Selama putusan lembaga penyelesaian perselisian hubungan industrial belum ditetapkan baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun Manajemen PT.Freeport Indonesia mengabaikan surat tersebut dan tarus mengabaikan nasib 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja.
Kelima, pertimbangan hukumnya majelis hakim pemeriksa ketiga perkara pada Mahkamah Agung Republik Indonesia mengaskan bahwa : berdasarkan Surat Disnaker Pemerintah Provinsi Papua tanggal 12 September, dan Surat Gubernur Papua tanggal 19 Desember, pada pokoknya menyatakan Pekerja yang meninggalkan tempat kerja mulai tanggal 11 April 2017, 18 April 2017, 20 April 2017 dan 1 Mei 2017 sampai adanya aksi mogok kerja dinyatakan sah. Oleh karena dalam kedua bukti surat tersebut menyebut tanggal 1 Mei sampai adanya aksi mogok kerja, sehingga jika kedua bukti tersebut dipertimbangkan secara saksama, dapat diperoleh fakta hukum bahwa tidak bekerjanya Tergugat mulai tanggal 21 September 2017 sampai dengan 19 Oktober 2017 karena melakukan mogok kerja yang sah. Mogok kerja yang dilakukan Tergugat adalah bagian dari kegiatan berserikat yang dilindungi oleh hukum, maka sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto Ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf g Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terhadap Pekerja yang sedang melakukan kegiatan serikat pekerja mendapat perlindungan dari tindakan pemutusan hubungan kerja, dengan demikian tindakan Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Tergugat dengan alasan/kualifikasi mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, harus dinyatakan tidak sah, dan Tergugat harus dipekerjakan kembali pada tempat semula namun Manajemen PT.Freeport Indonesia mengabaikan surat tersebut dan tarus mengabaikan nasib 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja.
Dari kelima fakta ketidaktaatan PT. Freeport Indonesia atas ketentuan mogok Kerja yang dijamin dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sungguh menyedikan adalah fakta sikap diamnya Negara melalui pemerintah yang memiliki kewajiban Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), UUD 1945. Atas sikap Negara melalui pemerintah tersebut secara langsung menununjukan bahwa PT. Freeport Indonesia adalah perusahaan yang kebal hukum dalam Negara hukum Indonesia yang jelas-jelas mengakui prinsip persamaam didepan hukum sebagaimana dijamin pada Pasal 28D ayat (1), UUD 1945.
Secara khusus dalam fakta ketidaktaatan hokum yang kelima dilakukan manajemen PT. Freeport Indonesia dengan mengunakan dalil sebagaimana yang disampaikan dalam tanggapan Riza Pratama selaku Vice Presiden Corporate Communications (Corpcom) PT. Freeport Indonesia atas aksi 8.300 Buruh Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia yang bunyinya sebagai berikut : “PTFI telah menyelesaikan seluruh kewajibannya terhadap setiap individu yang meninggalkan kewajiban bekerja di tahun 2017 lalu,” kata Riza melalui pesan singkat yang diterima seputarpapua.com, Kamis. Kata dia, putusan-putusan MA tanggal 14 September 2021 tidak terkait dengan para eks-pekerja PTFI yang meninggalkan kewajiban bekerja di tahun 2017. Putusan-putusan ini terkait persetujuan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan atas nama Tri Puspital, M. Anwar, dan Demianus Jonasen May. “Tidak terdapat upaya hukum dan putusan lembaga peradilan yang mendukung atau menjustifikasi klaim para eks-pekerja ini,” ujar Riza menutup statemennya (Baca : https://seputarpapua.com/view/ini-tanggapan-freeport-terkait-demo-karyawan-moker.html). Pada prinsipnya semua dalil bantahan diatas merupakan keterangan yang direkayasa oleh Riza Pratama selaku Vice Presiden Corporate Communications (Corpcom) PT. Freeport Indonesia sebab faktanya tidak seperti yang disampaikan oleh Riza Pratama.
Untuk diketahui bahwa berdasarkan pada fakta dari tanggal 1 Mei 2017 sampai saat ini (desember) tahun 2021, 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia masih melakukan mogok kerja sesuai aturan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga keterangan terkait “PTFI telah menyelesaikan seluruh kewajibannya terhadap setiap individu yang meninggalkan kewajiban bekerja di tahun 2017 lalu merupakan keterangan tanpa bukti alias tidak sesuai dengan fakta yang ada. Selanjutnya berkaitan dengan penyataan Riza Pratama terkiat “putusan-putusan MA tanggal 14 September 2021 tidak terkait dengan para eks-pekerja PTFI yang meninggalkan kewajiban bekerja di tahun 2017. Putusan-putusan ini terkait persetujuan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan atas nama Tri Puspital, M. Anwar, dan Demianus Jonasen May merupakan keterangan yang berusaha menutup status dari Tri Puspital, M. Anwar, dan Demianus Jonasen May yang adalah Buruh PT.Freeport Indonesia yang bersama-sama dengan 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia lainnya yang melakukan Mogok Kerja yang sah sesuai aturan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari tanggal 1 Mei 2017 sampai saat ini (Desember 2021).
Selain itu, berkaitan dengan keterangan Riza Pratama selaku Vice Presiden Corporate Communications (Corpcom) PT. Freeport Indonesia terkait “Tidak terdapat upaya hukum dan putusan lembaga peradilan yang mendukung atau menjustifikasi klaim para eks-pekerja ini” adalah keterangan yang dikeluarkan dengan maksud untuk menyembunyikan fakta terkait kewajiban PT. Freeport Indonesia sesuai perintah Nota Pemeriksaan I berisi : 1). PT.Freeport Indonesia diwajibkan untuk menyelesaikan permasalahan ini dijalur UU Nomor 2 Tahun 2004 sampai dengan mendapatkan putusan tetap dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial; 2). Selama putusan lembaga penyelesaian perselisian hubungan industrial belum ditetapkan baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun Manajemen PT.Freeport Indonesia mengabaikan surat tersebut dan tarus mengabaikan nasib 8.300 Buruh melakukan Mogok Kerja sebagaimana dalam Surat Dinas Tenaga Kerja Nomor : 560/1455/2019, Perihal : Nota Pemeriksaan I tertanggal 16 Desember 2019 diatas.
Berdasarkan seluruh keterangan diatas secara langsung menunjukan bahwa Manajemen PT.Freeport Indonesia secara terbuka sedang berusaha mencari-cari alasan untuk terus melanggara “hak dasar 8.300 buruh PT.Freeport Indonesia” sesuai dengan ketentuan Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana dijamin pada Pasal 137, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Atas tindakan itu, secara jelas-jelas menunjukan bahwa manajemen PT.Freeport Indonesia tidak serius menjalankan tujuan dari pembangunan ketenagakerjaan yaitu : a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana diatur pada Pasal 4, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Atas sikap ketidakseriusan PT.Freeport Indonesia menjalankan tujuan pembanguanan ketenagakerjaan diatas telah melahirkan banyak persoalan pelanggaran hokum yang menimpa 8.300 Buruh PT.Freeport Indonesia mulai dari terhambatnya pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak buruh akibat pemutusan upah orang tuannya, kesulitan membayar biaya pengobatan hingga berujung pada meninggal dunia akibat diputuskannya BPJS Ketenagakerjaan dan persoalan hak ekonomi, social dan budaya lainnya yang dialami oleh Buruh dan Keluarganya. Dengan berdasarkan pada tujuan pembangunan ketenagakerjaan yang memberikan jaminan perlindungan kepada 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia dan Keluarga 8.300 Buruh Mogok Kerja maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) selaku kuasa hokum 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia menegaskan kepada :
1. Presiden Republik Indonesia Cq Mentri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera perintahkan Manajemen PT. Freeport Indonesia untuk membayar hak-hak dan mempekerjakan kembali 8.300 Buruh Mogok Kerja sesuai perintah Nota Pemeriksaan I yang diterbitkan oleh Pengawas Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Papua tertanggal 16 Desember 2019;
2. Gubernur Propinsi Papua segera perintahkan Manajemen PT. Freeport Indonesia Mempekerjakan Kembali Dan Membayar Hak-Haknya Sebagaimana Mestinya Sesuai Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku sesuai Surat Gubernur Papua Nomor 540/14807/SET, Perihal : Penegasan Kasus Mogok Kerja PT. Freeport Indonesia, tertanggal 19 Desember 2018;
3. Ketua DPRP segera membentuk Panitia Khusus (PANSUS) untuk menyelesaikan persoalan 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia dengan Manajemen PT.Freeport Indonesia;
4. Ketua MRP segera realisasi janji penyelesaian persoalan 8.300 Buruh Mogok Kerja PT.Freeport Indonesia dengan Manajemen PT.Freeport Indonesia.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Jayapura, 21 Desember 2021
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH)
Emanuel Gobay, S.H.,MH
(Direktur)
Narahubung :
082199507613