Oleh: Nomen Douw
MK – Sahabat saya Papuan Major mengirim foto perjalan menuju Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, ”Sobat saya balik Wasior” tulisnya di messengger kepada saya. Dia mengurus komunitas tradisional papuan music di Papua Barat. Dia mendirikan Naek Srar Coffe di Manokwari. Kedai miliknya, sering ada konser music tradisional. Saya kalau bertemu Dia, pikiran selalu membayangkan lagu Mambesak dan Eyuser grup.
Dia memotret foto diatas pesawat dengan buku dekat mulut jendela, Dia seperti filsuf Eric Weiner yang suka pergi mencari daerah paling genius (Onde nascem os gênios), daerah bahagia (The Geography of Bliss) dan Daerah rumah filsuf (The Socrates Express), filsuf yang suka membaca buku dalam perjalanan sambil mencari data. Papuan Major mungkin mencari orang-orang yang tepat berbicara soal music tradisional sesuai visi dia memikirkan music kedepan.
Bertemu sahabat Papuan Major, yang selalu saya ingat adalah soal music tradisional. Music tradisional dunia hidup lebih dalam warga bersama kehidupan bersosial hingga intervensi politik, misalnya; Di era 1900, black music mulai tampil ke permukaan dunia dengan bermacam corak dan aliran, misalnya; tango music tradisional dari Brazil, Rumba dari Cuba, Blues Afrika Amerika, music spiritual dsb. Muncul music tradisional juga bangkit dari era munculnya perbudakan pada orang-orang hitam, seperti muncul Bosa Nova di Brazil, Rocktedy di Jamaika, Rock Roll. marak dan menyebar ke banyak Negara.
Satu tahun yang lalu kami tiga bertemu di Pantai Menase (Nabire), fauzan, saya dan papuan major, pertama kali saya bertemu Papuan Major, pria tinggi besar yang menyukai music tradional dan bahasa. Kami tiga membicrakan isu kecil, seperti lingkungan dan music-music tradisional hingga music modern masuk ikut missionaris di Papua, misalnya; orang Papua mulai bernyanyi di gereja dengan music tradisional dan menggunakan music moderen hingga kehidupan music diluar gereja.
“Masuknya musik Barat di Papua, tidak terlepas dari usaha para misionaris dalam memperkenalkan musik liturgi yang dinyanyikan dalam setiap ibadah pada tugas penginjilannya. Ottow dan Geisler merupakan misionaris pertama yang datang ke Papua pada tanggal 5 Februari 1855, di pulau Mansinam,” (dalam tesis Triyono)
Papuan Mayor bercerita beberapa hal tentang gerakan music tradisional dalam dua tahun di kotanya, Manokwari Papua Barat. Dia merasakan situasi seperti Mambesak setelah lagu-lagunya menginspirasi orang-orang tradional, seakan Ia membagunkan orang- orang untuk duduk bicara dan berpikir soal kebebasan dan kesejahteraan. Sama dengan Black Brothers setelah di bentuk di Nabire (1974-1975) dan menjadi terkenal karena lagu-lagu hidup hingga detik ini. Berhenti setelah dikejar panasnya politik (1980-an), setelah pindah Belanda.
Music tradisional Papua dekat dengan Mambesak dan Black Brothers, sepertikah lagu Bella Ciao dalam film Money Heist yang dinyanyikan masyarakat Spanyol dan dunia dalam perlawanan pada sistem yang merampok dan diskriminasi kaum lemah, dan lagu-lagu Jazz milik Louis Armstrong, Nat King Cole, sampai Billie Holiday untuk orang hitam di Amerika. Papuan Major tidak menyanyi, tapi saya percaya Dia mampu bernyanyi, saya lihat disalah satu video diakun facebooknya hanya memainkan music dengan grup, Dia mengenakan baju tradional Papua dengan bangga.
Membaca buku begitu penting untuk membangun konsep besar yang mempersatukan perbedaan, salah satunya music bisa membagun dengan pelan, seperti pikiran dunia dari teks buku seperti proses filsuf Yunani membangun Sains, Demokrasi dan Filsafat dari teks yang besar. Socrates, Plato dan Aristoteles membuat Orang-orang saling menghormati dari kota Athena, kota yang menjadi saksi mata; telah membuat dunia berpikir dan menghasilkan solusi yang tepat.
Kata Thucydides dalam buku Eric Weiner (the geography of genius) ,”Orang yang tidak berminat pada masalah negara bukanlah orang yang memikirkan urusanya sendiri, melainkan orang yang tak punya kepentingan menjadi warga negara Athena. ”Papuan Major memikir music tradisional untuk exsistensi manusia. Semoga Dia terus diberkati untuk banyak manusia yang belum diceritakan.
“Apa yang tidak dapat dikatakan pada zaman kita, dinyanyikan,” tulis seorang kritikus surat kabar (Eric Weiner, the geography of genius)