Oleh : Nomen Douw

CERPEN – Tikus Dewa berbulu hitam tidak berekor di pesisir pantai. Bertahan dengan waktu yang apa adanya. Suka melihat makhluk hidup lain lebih rapi. Suka mengumpulkan kertas bertulisan untuk tidur dimana saja baik. Menyukai hobi yang aneh di kota manusia yang lebih banyak makan dan minum dengan dasar identitas mitos. Menikmati hidup dengan pilihan hidup yang selalu tidak dipersepsi hanya untuk hitam putih. Punya banyak sudut pandang untuk hidup yang harmonis.

Tikus Dewa bernaluri sedikit manusia, bahkan ada yang lebih manusia dari manusia, peduli tidak memandang status sosial; beristirahat dimana saja, ditempat yang aman hanya untuk melewati siang dan malam. Tikus Dewa, unik dan aneh, berprilaku baik kepada semua makhluk hidup. Tikus Dewa cukup cerdas dari lahir, tidak rekayasa genetik. Sadar kalau ada manusia yang melakukan aktivitas yang lebih kuat dari makhluk lain. Manusia.

Perna ada musibah alam, memusnahkan banyak Tikus di pesisir laut dan makhluk kecil lain, Ia satu-satunya Tikus yang selalu selamat karena Ia punya banyak sudut pandang melihat kehidupan alam laut, darat dan gunung. Tikus Dewa lahir di rumah manusia dalam karton indo mie dan berpisah dengan mamanya ketika tuan rumah membongkar gudang beras.

Waktu masih kecil Tikus Dewa dibuang bersama berbagai sampah di pinggir pantai, tepat dibawah nama ”Pantai Nabire” lingkungan membuat Ia harus membesarkan dirinya sendiri. Menjadi berani mencari makanan dibawah kaki manusia.

Selalu merasa tidak ada ancaman dari manusia yang lebih kuat di bumi. Tikus Dewa bertahan hidup sendiri tanpa keluarga disampingnya. Telah dewasa dengan kehidupannya sendiri. Dewasa dengan ancaman musibah dan manusia.

Tikus Dewa hanya mengandalkan kecepatan berlari pergi setelah gerak tubuh manusia mengusir Dia. Berulang kali wilayahnya dibongkar pasang dengan semen dan pasir oleh manusia; mengubah alami menjadi batu-batu semen yang berdiri kokoh. Banyak sekali Dia kehilangan tempat tinggal yang aman dan nyaman, tapi Dia hanya mahkluk kecil Tikus yang bernama”Dewa”

Nama tembok dengan beberapa warna”Pantai Nabire”wilayah Tikus Dewa mencari makan setelah melihat manusia ramai menikmati hari-hari hidup dibawah sinar matahari yang orange. Ia ikut bermain-main diantara kaki manusia hingga matahari manarik cahaya dari Pantai Nabire. Begitu berulang mengikuti Ia bertumbuh.

Tikus Dewa sering kali marah pada waktu malam yang begitu cepat datang, membuat Pantai Nabire sepi dari orang-orang yang duduk menikmati dingin malam yang sejuk sambil menikmati makan dan minum. Tikus Dewa menyukai cahaya lampu yang dibawanya ramai dengan kaki-kaki manusia kaki kosong, sepatu dan sendal.

Tikus Dewa berlari keluar masuk diantara dedaunan hijau dan berbatu semen diatas pasir laut. Ia hanya punya sampah-sampah kering untuk tidur. Tapi, Tikus Dewa punya uang dari hasil curian. Hanya untuk sering menikmati dunia manusia. Sedikit manusia.

Pohon Ketapang sebelah barat, berdiri sepanjang lima puluh meter diatas bibir pantai pasir arah pantai Morgo. Ujung Pantai Nabire. Daun-daun menyala dengan lima lampu remang-remang. Sampai dibawah pohon Ketapang, Tikus Dewa melihat manusia duduk diatas semen menikmati kopi dan roti bakar. Mulut mereka gerak seperti kambing.

Ada beberapa kelompok duduk melingkar dan diskusi. Dua laki-laki dengan gaya rapi menikmati roti bakar lebih dari cukup. Habis mereka pesan lagi. Sepuluh kali. Ada yang aneh dari dua pria itu.

Baju hitam bersuwiter gombrang, celana panjang tentara Indonesia, berwajah putih pucat, rambut ombak hitam menyala panjang, nampak seperti wanita Amerika latin. Sepuluh kali Dia antar roti bakar setelah memasak. Cahaya mata dua pria itu memantul pada seluruh wajah wanita, bukan pada roti bakar.

Rupanya mereka dua memesan roti bakar untuk sebuah wajah. Tikus Dewa ketawa tipis dengan sikap manusia yang merugikan waktu yang kosong. Tikus Dewa ikut menyukai wajah itu. Dia ingin memanfaatkan sedikit manusia dengan berkat dari langit yang dibawah petugas kerja di kota.

Tapi Dia hanya makhluk kecil yang tidak terlihat. Bukan apa-apa di Pantai Nabire Wakimanor. Hanya Tikus berbulu tebal yang bergaya bersih. Tapi Tikus Dewa memiliki sisi kecil manusia. Sadar, Dia hanya percaya pada sedikit manusia.

Perlahan mendekat dengan harapan yang mulia. Tikus Dewa membayangkan kehidupan bersama seorang wanita yang sedang di sukai banyak pria. Ia menyukai politik perlawanan kepada penjajahan, menyukai kebebasan dari bangsa yang lebih kuat. Celana itu melawan arus yang memaksa sebuah kebebasan pada individu.

Tikus bersuara keras ”seandainya kita menikmati sepi ini. Nikmat sekali kopi ini.” Tentu manusia tidak memahami suara Tikus. Ia selalu pulang membawah gelisah untuk besok kembali. Setiap saat berulang. Ada kemungkinan yang tidak.

Seorang duduk dibawah cahaya lampu yang bergantung dari pohon Ketapang diantara daun-daun hijau. Tikus melihat dari balik gumpalan batu semen yang sebagian lain tenggelam dalam pasir pantai. Dia yang perna duduk. Sepuluh menit Tikus Dewa mempelajari ekspresi wajah dan gerak tubuh. Dia gelisah dan tidak tenang.

Ada sesuatu yang dipikirkan, dia mungkin harus berkata pada seseorang yang Ia berpikir lebih dari roti bakar. Ia memutar lagu dalam handphone ”Arerai Firumo” suara Sony Wanda yang mendadak membius suasana sejuk teduh di Pantai Wakimanor Papua Nabire. Untuk dia sendiri, pantai dan gelap.

Tikus Dewa ingin berbicara pada pria berbaju hitam bercelana panjang jeans biru, bersepatu nike berwarna hijau hitam. Sedang duduk dengan gelisah. Wajah dalam gelap memandang Tikus Dewa, mengusir dengan gerak kaki setelah kaget melihat Tikus Dewa mendekati kaki sepatu.

Tikus Dewa berlari menghindar pergi lewati tepi tembok semen yang bermelintang sepanjang Pantai Nabire. Tikus Dewa tidak ingin pulang tapi terpaksa pulang. Besok sore datang lagi. Ada sesuatu yang Ia harus kembali berkata tapi pria itu sudah gelap. Jejak pun gelap.

Seseorang yang lain duduk; dia menyiapkan roti bakar setelah ada pesanan. Seorang pria yang duduk memandang laut yang telah pergi dalam gelap. Mungkin mereka akan bertemu pada dinding waktu. Sosok lain berswiter hitam tutup kepala sedang duduk menghadap arah stan yang menjual beraneka minuman dan makanan.

Membelakangi laut yang indah dibawah pohon ketapang dan kelapa kecil, serius mendengarkan lagu Chris Brown lewat handset sembari tunduk melihat handphone dalam genggaman tangan. Ada gerak kepala dan tangan. Musik yang asik bagi telinganya.

“hay malam,” kata Tikus Dewa beberapa kali setelah duduk diatas batu semen. Satu meter dari dia yang sibuk otak-atik handphone dalam genggam tangan. Beberapa kali dia menghiraukan. Tidak berhenti mendengarkan lagu.

“sssshhhhttttt diam ribut, pergi sana kau binatang kecil,” kata dia dari bibir putih tipis mengusir Tikus Dewa dari satu meter dia duduk. Gerak tubuhnya terlihat jijik, tidak ingin melihat dan mendengar suara Tikus Dewa.

“Sa mau pesan roti bakar?” ucap keras Tikus Dewa sambil bergeser perlihatkan uang. Hanya kata itu dia paham. Dia memandang tikus beberapa menit. Sesuatu yang aneh tapi situasi membuat fia mau melayani Tikus Dewa.

“berapa?” balas dia dengan sedikit senyum.

“Dua puluh,” singkat Tikus Dewa dengan enteng percaya diri memiliki banyak uang dan dia kaya, padahal hasil curian di bank dari anak buah di kota. Beberapa minggu yang lalu.

“kembaliannya ambil saja,” kata Tikus Dewa pergi dengan bangga, dia memahami sebagian sedikit manusia.

“makasih” balasnya.

Dia membalas senyum setelah memiliki nilai tukar dengan roti bakar dari Tikus Dewa, menarik napas panjang dan membuang keluar, wajahnya berkeringat basah. Setelah berbulan-bulan Ia terus memesan roti bakar dengan sekali pesan sepuluh hingga dua puluh, kembalian tidak perna diambil.

Tikus Dewa ingin membeli perhatian dengan cara memesan roti bakar lebih dari lima. Tapi sayang, dia hanya seorang hewan kecil yang kotor bagi mereka yang hanya menyukai sesuatu yang sempurna. Dia hanya di anggap penikmat ampas makanan di wilayah Pantai Nabire.

Tikus Dewa hanya memiliki satu persen manusia. Memahami cara mendekati manusia, memahami manusia marah, suka dan menyukai roti bakar. Depan bangsa Tikus, dia terpandang, Tikus yang memiliki kecerdasaan yang tinggi.

Memiliki lembaga pencurian uang di kota dan Tikus Dewa sukses menjadi elit yang terpandang. Tapi sayang, depan roti bakar dia hanya makhluk kecil yang menjadi pengganggu bagi mereka yang duduk memesan roti bakar sepuluh. Hanya sebatas menyukai roti bakar dan menonton manusia berbagi cerita di Pantai Nabire.

(cerpen fiksi, mohon maaf jika ada penamaan nama dan tempat)

Share this Link

Comments are closed.