Oleh : Nomen Douw
MK – Biar terlihat manusia tidak jadul, nobar (nontong bareng) kali ini (2022) di daerah yang lebih maju karena pembagunan fisik, uang dan teori baru, lebih kurang pembagunan manusia, inilah zaman kompetisi. Berbeda dengan piala dunia delapan tahun lalu (2014), saya nonton laga pembuka di daerah yang jauh dari kota, di dusun, di tempat orang menontong hanya di satu titik, menggunakan layar tancap milik kepala Distrik.
Banyak orang dari beberapa kampung (warga dusun) menonton sambil minum kopi hitam manis di halaman kantor distrik dengan modal mesin diesel. Ramai hingga pertandingan usai, kopi tidak habis-habis. Di kota, agak berbeda, terlihat sangat apatis, individualistik, minum kopi masing-masing sesuai isi dompet, tapi masih ada toleransi identitas.
Setiap acara pembuka piala dunia selalu menjadi acara yang saya nantikan, saya orang yang penasaran dengan pesan kemanusiaan dan perdamaian yang disampaikan depan mata dunia, misalnya simbol bangsa lima benua dalam warna manusia, ada pesan dalam drama yang disampaikan aktor hollywood Morgan Freeman bertemu dengan seoran distablitas terkenal di Timur Tengah, Ghanim al-Muftah di panggung pembuka piala dunia di Stadion Al Bayt, Qatar. Ada dialog tentang pesan moral dan perdamaian yang disampaikan.
“Bagaimana bisa banyak negara, bahasa, dan budaya datang bersama, jika hanya ada satu cara untuk diterima?” tanya Freeman secara retoris kepada seluruh pengunjung di Stadion.
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal,” terjemahan lantunan Ghanim al-Muftah,(tempo)
Semoga kita mampu belajar makna hidup dari kehidupan sepakbola. Walaupun banyak yang tidak menonton laga pembuka karena negara sedikit bintang sepak bola dan negara lemah dalam sejarah sepakbola, mungkin karena jam malam. Mulai jam 13:00 wit. Tapi perlu ingat bahwa, sepak bola adalah lebih dari permainan yang indah dan tropi juara yang lazim kita ketahui.
Tahun lalu di laga pembuka hampir mirip, negara yang lemah dan jauh malam, tapi di dusun banyak menonton, ada kelompok yang taruhan uang, barang dan hukuman ala orang dusun. Di kota sepih, mungkin karena pemahaman sepakbola sudah lebih baik dari dusun? Mungkin karena koneksi internet yang ramai, ada highlights youtube? mungkin karena kota lebih sibuk dari dusun? Atau memang manusia semakin saling hiraukan, semakin menjadi diri sendiri karena kehidupan moderen melalui media sosial?
Apakah sepakbola yang sebenarnya hanya sebatas memilih negara dimusim piala dunia dan euoforia dimana-mana? Saya pikir bukan itu dari sepakbola yang sebenarnya; ada banyak hal yang bisa diceritakan dari sepakbola, misalnya tentang perdamaian yang disuarakan melalui sepakbola di Afrika, Iran dan Eropa. Kamu perna pikir tidak, kenapa piala dunia digelar setiap empat tahun di daerah yang berbeda di lima benua? Apakah menurut kalian hanya karena sepakbola ingin menghibur dunia? Saya pikir tidak, kita perlu belajar tentang sepakbola lebih jauh, lebih dalam.
Dalam visi Eduardo Galeano, raksasa intelektual Amerika Latin asal Uruguay yang menyukai sepak bola yang terangkum ditulisan Soccer in Sun and Shadow (1995) menunjukkan sepakbola sebagai olahraga dengan implikasi politik yang luas, ”Gaya bermain [dalam sepakbola]adalah cara dari setiap komunitas untuk menegaskan perbedaannya,” tulis Galeano.“Katakan padaku bagaimana kalian bermain dan aku bakal memberitahu siapa diri kalian.”(tirto)
Disetiap pertandingan, selain perdamaian, ada makna kehidupan dalam permainan sepakbola, kesiapan kerja sama banyak kelompok dalam iven piala dunia, kerja panitia menjaga toleransi, melihat karakter setiap pemain, respon sporter dalam kesedihan, kebahagiaan dan kemajuan teknologi yang membantu manusia tetap menjaga batas-batas etika perdamaian. Sekali lagi, sepakbola adalah semangat keadilan menyuarakan kedamaian dunia. Tidak cukup hanya melihat skor akhir lalu euforia agak fanatic, itu bagian kecil dari sepak bola, hanya 1% dari dunia sepakbola dunia.
“Sepak bola itu tentang toleransi, inklusivitas, non-diskriminasi, dan juga tentang pendidikan. Sepak bola juga bisa jadi investasi yang apik bagi anak-anak kita di masa depan. Tugas dari FIFA adalah memberikan kebahagiaan lewat sepak bola ke seluruh dunia,” Pidato Presiden FIFA Gianni Infantino saat berpidato di hadapan para pemimpin dunia dalam mengikuti rangkaian KTT G20 di Bali (ht,16/11)
Piala dunia 2022 di Qatar sudah mulai kemarin malam, pertandingan pembuka sudah masuk babak kedua menit akhir. Nobar di kedai kopi corner, Qatar versus Ecuador. Kepala sudah tidak stabil karena mengantuk, sudah goyang berat, dua orang tua depan serius menonton, wajah yang segar, terlihat mereka dua melihat sepakbola dari banyak hal, bukan saja sebatas permainan yang dikejar hanya kemenangan dan kebahagiaan setelahnya.
Sepakbola itu seruh kalau nonton bersama dengan suara ramai. Banyak dunia yang bisa dipelajari, yang berkorelasi dengan kehidupan manusia; makanya setiap negara yang masuk kandidat piala dunia di seleksi dengan ketat. Berbeda dengan liga klub, lebih banyak tentang ekonomi (bussines). Seluruh dunia menyaksikan setiap pertandingan selama piala dunia belum berakhir, seperti saya dan dua orang tua depan saya dalam diskusi sepakbola mereka. Sampai di telingga saya hanya sepotong-sepotong kata.
Pria parubaya dua tidak sekedar melihat euforia pendukung dan nonton hanya cuplikan goal, itu bukan kehidupan sepakbola sebenarnya. Saya melihat mereka dua menikmati sepakbola yang dimainkan dari kaki ke kaki, melihat selebrasi pemain ketika goal, kesedian sporter pemain, perayaan kebahagiaan; itulah melihat sepakbola dari dekat, menyaksikan dari awal hingga selesai, menyaksikan kehidupan manusia menikmati segalah macam kehidupan dengan olaraga paling bergengsi dunia yang bernama ”Sepak Bola”
“Olahraga mempunyai kekuatan untuk mengubah dunia. Ia mempunyai kekuatan untuk menginspirasi. Ia mempunyai cara untuk mempersatukan banyak orang. Ia berbicara kepada anak muda dalam bahasa yang mereka mengerti. Olahraga bisa menciptakan harapan ketika pada satu waktu terjadi keputusasaan. Ia lebih kuat dari pemerintahan dalam mengahancurkan dinding rasial. Ia menertawakan semua jenis diskriminasi.” _Nelson Mandela (seorang revolusioner antiapartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999)