Jakarta — Proyek strategis Kawasan Industri Pupuk Fakfak, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo saat itu pada 23 November 2023 di Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, kini menghadapi kendala serius. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, mengungkapkan lokasi lama proyek tidak layak dibangun karena kondisi geologi yang tidak memungkinkan.
Kondisi tanah berongga di lahan yang telah disiapkan menghambat pembangunan pondasi pabrik, sehingga proyek tidak bisa dilanjutkan di lokasi tersebut. Pemerintah dan perusahaan saat ini tengah mencari lokasi alternatif di Papua Barat. Jika tidak memungkinkan, lokasi di luar provinsi akan dipertimbangkan.
“Lokasi proyek di Fakfak tidak bisa dibangun karena adanya lapisan tanah berongga. Kami bersama perusahaan sedang mencari lokasi alternatif di Papua Barat. Jika tidak memungkinkan, lokasi di luar provinsi bisa dipertimbangkan,” ujar Todotua dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI, Selasa (4/11/2025).
Anggota DPD RI asal Papua Barat, Yance Samonsabra, menekankan pentingnya proyek tetap berada di provinsi tersebut karena proyek ini diharapkan membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
“Kami tidak ingin proyek ini dipindahkan keluar Papua Barat. Jika itu terjadi, masyarakat akan kehilangan kesempatan kerja dan perputaran ekonomi di wilayah kami,” tegas Yance.
Kawasan Industri Pupuk Fakfak merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikelola PT Pupuk Indonesia (Persero) melalui anak usahanya, PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim). Pabrik ini direncanakan dibangun di atas lahan 500 hektar, dengan kapasitas produksi 2.500 metrik ton amonia per hari dan 3.500 metrik ton urea per hari, serta nilai investasi sekitar Rp30 triliun. Pembangunan diperkirakan berlangsung 3,5 tahun, mulai awal 2025 hingga pertengahan 2028.
Pembangunan proyek bertujuan mendukung swasembada pangan nasional, memperkuat pasokan pupuk untuk food estate di Merauke dan wilayah pertanian timur Indonesia, mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan timur, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan nilai tambah sumber daya gas bumi Papua melalui hilirisasi menjadi produk strategis, amonia dan urea.
Selama konstruksi, proyek ini diperkirakan menyerap sekitar 10.000 tenaga kerja dan menyediakan 400 lapangan kerja tetap saat beroperasi. Keberadaan pabrik juga diharapkan mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta memperkuat basis ekonomi Papua Barat.
Rapat kerja DPD RI juga membahas evaluasi investasi nasional dan daerah, termasuk percepatan hilirisasi industri strategis. Dengan kendala teknis ini, pemerintah menegaskan perlunya koordinasi cepat agar proyek tetap terlaksana di Papua Barat dan tidak merugikan masyarakat setempat. (Onald)