Oleh : Nomen Douw
CERPEN – Hari minggu seperti hari senin, tidak seperti kebanyak orang di kota ini. Titus pria hitam kurus yang tidak seperti kebanyakan orang di kota, kebanyakan orang gemuk, berwajah ceriah, orang-orang terlihat menyimpan banyak makanan, rata-rata hidup dengan ada apanya bukan apa adanya, semua orang di kota dihidupi oleh Negara, menikmati liburan dan pesta dimana-mana, orang manikmati kebahagiaan.
Titus sudah berumur dua puluh empat tahun. Dia tinggal dirumah pinggiran sungai yang airnya bersih keluar dari perbukitan batu pepohonan. Titus bekerja ternak dan pertanian. Hari-hari jaga ternak dan berkebun miliknya sendiri. Seratus meter dari kebun ke rumah, setiap hari pergi berkebun dan melihat ternak babi,ayam dan bebek. Titus hidup dari hasil berkebun dan ternak. Kebun dan ternak yang ditinggalkan kedua orang tuanya selama lima tahun yang lalu menjadi amanah bagi Titus.
”Titus, jangan ko pergi ke kota tinggalkan ternak dan kebun, disana ko akan mati. Ko hidup dari ternak dan kebun disini,”Kata wasiat bapaknya sebelum menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Titus.
Titus suka berbicara kepada siapa saja yang Ia temui, suka membantu dan suka humor. Pendidikan Titus sampai di Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota. Titus pembaca buku, memiliki rak buku yang terbuat dari kayu buah dan tripleks, punya koleksi buku sosial. Titus hanya menyukai baca, tidak memiliki mimpi menjadi laki-laki Negara yang patuh tapi ingin menjadi penulis lokal, tidak bekerja menjadi Birokrat, Politisi praktis atau Pengusaha bermodal besar. Titus hanya ingin menjadi petani yang dapat menulis tentang aktivitas ternak dan bertani.
Titus mulai menyukai dunia membaca dari kitab suci Alkitab sewaktu ia masih bocah sebelum masuk umur sekolah saat kedua orang tuanya masih hidup, orang tua Titus taat pada Agama dan pengurus Gereja. Titus rajin pergi Gereja bersama kedua orang tuanya, setiap hari belajar tentang Alkitab dirumah dan Gereja. Ketika Dia beranjak ke sekolah menengah pertama (SMP), Titus sudah mulai membaca buku-buku umum, komik dan buku pelajar di sekolah, juga buku-buku cerpen dan novel yang lebih ke kritik sosial. Mamanya almarhuma adalah guru, selalu punya buku untuk Titus. Titus masih merinduhkan mamanya, bagi Titus, mama adalah aktivis yang sebenarnya, semua manusia harus belajar tentang revolusi dari hidup mama dalam keluarga.
Rumah jauh dari keramaian kota, dari kota naik angkot umum dan damri lintas pelosok. Rumah di bawah kaki bukit yang berhutan, dingin sejuk, siang sedikit panas. Rumah panggung kayu, dikelilinggi pohon buah mangga, nangka, coklat, kebun salak dan jeruk bali. Rumah dengan lampuh berenergi matahari, tiga titik lampu; depan rumah, dalam rumah dan dibelakang. Cukup memberi terang dan cas hp. Titus tinggal dengan dua pemuda asal kampung, mereka dua datang menginap beberapa tahun untuk sekolah di kota untuk kuliah dan mereka pulang setelah tamat. Titus hidup tanpa Gereja setelah kedua orang tua pergi, bagi Titus, cukup kedua orang tua sudah menggenalkan Tuhan yang baik dan cara menyembahnya. Hari minggu Dia beribah sendiri dirumah, berlibur kerja dan hanya dirumah, Doanya untuk Dia masuk Surga dan untuk kehidupan ternak dan kebun.
Titus selalu ingat pesan mamanya sebelum meninggal lima tahun yang lalu, ”Titus ko boleh marah Agama dan Gereja tapi ko punya hidup itu Tuhan punya, hati-hati kau berkata tentang Tuhan diluar Doa,” Kata yang selalu diulang oleh mamanya kepada Titus.
Masuk usia dewasa Titus berubah menjadi pria yang aneh dihadapan orang-orang yang hidup di suasana kota. Berjalannya waktu, Titus menjadi pria yang suka berdebat tentang agama dan gereja dibeberapa media manstrem. Titus sering menulis artikel pendek tentang sesuatu yang Dia pikirkan dari realita dan bacaan yang masuk dalam pikiran dan sesuai pengalaman di rumah dan berkebun. Titus memiliki leptop merek asus di meja belajar; ada buku diatas meja dan rak buku disamping.
Pagi sampai sore Titus bekerja di kebun dan melihat ternak, sore pulang kerumah dengan hasil kebun, makan malam, istrahat, membaca apapun dan menulis di leptop. Lima tahun berlalu. Titus sudah berumur dua puluh sembilang tahun. Titus belum menikah. Punya tunangan tapi masih sekolah di Inggris.
“Nona sa tunggu sampai kapan? Sa harus punya Istri untuk bekerja dirumah dan sa harus bekerja di kebun dan ternak,” Tulis pesan Titus kepada Nona Walela di Eropa Inggris.
Kesabaran Titus semakin menggelisakan oleh waktu. Teman-teman Titus sudah mulai menikah. Titus mulai terpojok oleh ucapan orang-orang, tapi Ia tenang sebagai seorang pembaca. Titus harus menikah dalam waktu dekat lama menunggu. Nona Walela jarang aktif di Media Sosial. Nona Walela balas setelah satu minggu berlalu setelah aktif.
“Titus sa selesai tahun depan, 2025,” Tulis Nona Walela melalui messenger facebook kepada Titus. Nona Walena, perempuan Papua berkulit terang, peranakan pesisir Papua dan Gunung. Nona Walela kuliah bahasa di Inggiris. Sudah sepuluh tahun di Inggris. Sekarang Nona Walela sedang kuliah S3 dengan spesifikasi linguistik. Titus dan Nona Walela bertemua di bangku SMA dengan status pacaran. Bertemu saling suka dari kelas satu sampai kelas tiga, dimomen perpisahan SMA mereka berdua bercinta yang pertama kali hingga tak terlupakan kisahnya. Komunikasih kasih sayang sampai sekarang. Mereka dua berjanji akan menikah setelah Nona Walela selesai kuliah.
“Nanti kita akan bersama sampai kakek dan nenek,”Titus dan Nona Walela berjanji dalam pelukan sebelum Nona Walela terbang meninggalkan Tanah Papua di Bandar Udara. Pergi jauh ke Inggris. Sekolah untuk keluarga dan untuk bangsanya.
Pojok kota, Titus hidup seperti menolak sistem Negara, lebih banyak mengkonsumsi hasil kebun dan ternak miliknya, kadang Ia membagi kepada keluarga dan tetangga saat musim panen tiba. Makan malam, kadang Titus komsumsi nasi dan kopi, sederhana sambil membaca. Rumah dibawah pohon dekat bukit, dingin ketika malam dan pagi, begitu nikmat baginya. Titus percaya apa yang Ia perjuangkan sebenarnya adalah sebuah sistem kehidupan yang diajarkan oleh nenek moyang diextavet kepada kedua orang tuanya; menjadi kehidupan sehari-hari (budaya).
Titus selalu membangun narasi tentang kehidupan yang biasa saja, dari rumah berkebun dan berternak, Ia berdebat dengan orang-orang kota hidup dari sistem Negara.
“Hidup tidak selalu bergantung pada uang Negara dan bisnis Politik di kota,” Kata Titus kepada teman suatu waktu.
Tinggal satu tahun lagi Nona Walela selesai kuliah dan pulang kembali. Ketika duduk menyeduh kopi di teras rumah dan membaca, Ia menghitung bulan dan tahun untuk bertemu Nona Walela. Nona Walela pulang tidak selesai kuliah. Ada sesuatu yang Nona Walela kawatirkan dari keputusannya, bukan karena Titus tapi karena situasi dunia.
“Titus sa pulang besok, kita bertemu minggu depan,” Pesan Nona Walela melalui messengger kepada Titus.
“Kenapa, Selesaikan dulu ko punya kuliah,” Tanya kaget dan heran, Titus keberatan Nona pulang sebelum selesai kuliah.
“Nanti saya cerita,”Balas singkat Nona Walela.
Titus kaget bangun jam siang, 09:50 WIT, ada pesan dari Nona Walela sudah masuk. Pesan dari seorang wanita yang Ia cinta sejak SMA, Titus menunggu sekian tahun lamanya, hanya menghitung jam mereka akan bertemu. Nona Walela beri infomasi dari bandar udara transit, kurang lebih Dia akan sampai jam 10:15 WIT. Titus tidak pergi berkebun, hanya pagi-pagi sudah beri makan ternak dan Dia pergi ke kota menjemput Nona Walela. Malam Titus sudah bersihkan ayam satu ekor untuk wanita yang Dia cinta, baginya ini menu makan paling special.
Titus baru sampai wilayah bandara, pesawat sudah bunyi, mendarat, Titus sudah menunggu Nona Walela di pintu keluar dengan gaya seorang petani, Titus mandi tapi seperti tidak mandi, setiap hari kerja dibawah sinar matahari panas di kebun dan peliharan ternak, tubuhnya kurus keras tinggi, berkumis lebat berkepa botak kilat, celana jens dan baju kuning berkerak, Dia rapi ala warga dusun, jauh dari gaya orang kota, lebih jauh dari orang eropa, tapi bagi Titus, ini gaya paling bagus untuk orang yang Dia cinta. Titus percaya diri karena Dia mencintai Nona Walela.
Menunggu sudah lama. Empat tahun lebih bertenteng koper hitam, Nona Walela keluar dari ruang tunggu, kulit sudah terang, berpakean rapi, wajah bersinar. Titus sudah melihat tapi pura-pura terus mencari, matanya tertuju dalam ruang tunggu, melihat beberapa penumpang menunggu bagasi. Tiba-tiba Titus takut menegur; berpikir Nona Walela akan malu dengan tampangnya.
“Titus!” Tegur Nona Walela memandang Titus berdiri. Senyum memancar pada wajah kering Titus. Nona Walela melangkah cepat ke Titus, Ia memeluk Titus, mereka berduka saling peluk dan pergi. Koper dan barang lain sudah dalam mobil rental. Titus akan menemani Nona Walela pulang kerumah. Nona Walela berjanji akan bertemu besok.
“Sa pikir ko sudah lupa sa, ”Tanya Titus dengan senyum melihat Nona Walela. Mereka dua saling tatap dengan senyuman terbaik yang tersimpan lama.
“Ji..tidak. Besok baru kita ketemu eh,” Ucap Nona Walela.
Mereka berdua bahagia bisa bertemu. Janji yang ditepati dan dijaga bersama, cukup lama setelah tamat SMA. Mereka akan bertemu besok dan Nona Walela akan bercerita alasan Ia pulang tinggalkan kuliah yang sudah tinggal semester akhir. Titus pulang kerumah. Percuma Ia menyiapkan makanan tadi malam, tapi Titus bahagia_mereka bisa bertemu besok. Titus akan memperjelas hubunggan mereka untuk tinggal bersama; hidup diluar birokrasi, politik dan usaha moderen. Malam Titus berdoa untuk hubungan lebih baik. Titus mencintai Nona Walela bukan baru. Cinta sudah berproses dengan waktu, Titus yakin Nona Walela pun tidak lupa semua cerita.
Pagi Titus sudah bergegas memberi makan ternak, Ayam dan Babi. Titus sarapan pisang rebus, teh panas dan buku, kadang air hangat sebagai menyegarkan wajah pagi. Pagi masih sedikit dingin, embun diatas dedaunan hijau alami di dusun kota, belum hilang oleh terik matahari. Bunyi telfon dari Nona Walela menggetarkan tanggan Titus.
“Sa ada masuk lorong batu ne Titus?”Tanya Nona Walela.
“Io benar lurus saja keatas, pass di ujung jalan,”Jelas Titus memberitahu alamat rumah. Nona Walela sampai dengan Motor GLMX hitam depan rumah.
“Sa hidup disini Nona, di rumah kayu ini dengan ternak, kebun dan sayur di pinggir rumah,” Jelas Titus kepada Nona setelah duduk di teras. Diatas kursi kayu.
“Ko memang hidup dalam kebebasan ko sendiri, seperti inilah kebebasan yang sesungguhnya,”Jelas Nona Walela mengagumi Titus.
“Sa bahagia disini, tidak perna sa ke kota, kecuali sa mau beli sesuatu yang sa butuh, lebihnya semua ada di kebun. Ayo makan pisang, ada teh lagi,”Ucap Titus sampaikan realita hidup hari-hari dan ajak Nona Walela sarapan.
“Titus sa pulang karena ko, sa ingin hidup seperti ini,” Kata Nona Walela dengan jujur menyampaikan alasan Dia pulang dari luar dari Inggris. Dia selalu pantau aktivitas Titus dan Titus suka upload aktivitas di kandang ternak dan kebun untuk ajak orang-orang lokal.
“Yang benar saja, sa hidup seperti ini, tidak berharap birokrasi, politik dan sedikit ekonomi saja,” Kaget Titus mendengar alasan Nona Walela pulang.
“Titus, ini pilihan hidup sa, sebentar lagi dunia akan kacau karena Negara sulit menghidupi rakyatnya, di Eropa sudah mulai terasah dan sa tidak mau mati disana, lebih baik sa hidup di dunia bebas bersama ko dan mati karena tua,”Jelas Nona Walela memandanggi wajah Titus yang kering karena bekerja di kandang ternak dan kebun.
“Ko serius ka Nona?” Titus memastikan kebenarnya karena Nona Walela bergaya sudah seperti perempuan Afrika di Amerika, bersih dan harum, berkulit cerah. Titus tidak habis pikir tapi Dia cinta pertama.
“Ko cinta pertama sa Titus, sa cinta ko, sa akan berubah semua gaya ini, kita dua akan hidup dirumah mewah ini, menjadi suami istri yang hidup dari ternak dan kebun. Kita akan punya anak dan mereka juga akan hidup seperti kita dan mereka akan membuat banyak orang hidup kembali ke rumah dan ladang,”Balas Nona Walela setelah mendekat pada wajah Titus sambil mencium bibirnya.
“Sayang, selamat menjadi Istriku, kita akan hidup seperti itu,” Balas Titus sambil menggenggam tanggan Nona Walela yang halus, cerah. Nona Walela serius. Dia mengubah semua gaya hidup yang sudah seperti orang Eropa.
Sudah jam 09:35 WIT, mereka dua pergi ke rumah orang tua Nona Walela di kota untuk memintah persetujuan. Sampai dirumah, Titus diusir keluar pagar oleh kedua orang tuanya, tidak setuju dengan kehidupan Titus. Tapi Nona Walela tetap ikut Titus, tinggal bersama selama dua tahun. Dua tahun hidup bersama mereka dua memiliki dua anak laki-laki. Hari ke hari hidup dari kebun dan ternak. Suatu ketika, sampailah Negara kacau karena perang blok di dunia eropa, terjadi perang dunia III, ekonomi Negara dimana-mana ambruk, semua orang di kota kelaparan, Internet, BBM, Listrik dan lain kebutuhan pokok mati, semua orang berlari ke hutan dan sudut-sudut kota. Kejahatan meningkat di kota.
Kedua orang tua Nona Walela tiba di rumah Titus karena lapar, Titus menyiapkan menu makan babi, ubi, singgkong dan sayur. Kedua orang tua Nona Walela memeluk Titus dan menanggis minta terimakasih sambil minta maaf. Mereka hidup bersama di dusun seperti biasa, tidak terganggu dengan kehidupan Negara di kota. Titus membagi makanan kepada seluruh orang yang datang kerumah. Hampir setiap hari orang berdatanggan dari berbagai dusun.
Titus menghidupi satu wilayah di dusun hingga seluruh kota tiba saatnya Negara baru berdiri di kota dengan sistem satu partai setelah perang dunia III usai selamah satu tahun. Titus di angkat menjadi Presiden karena dedikasi yang super, Titus diakui seluruh jagat raya manusia, menghidupi banyak orang dari hasil kebun dan ternak miliknya. Nona Walela jadi ibu presiden. Di lantik 14 November 2028.
(Tulisan fiksi, mohon maaf jika ada penamaan nama tokoh dan tempat)