Mendung di kota mereka di akhir bulan april 2024. Orang-orang dalam masalah konflik yang berat dan sulit. Hampir semua kelompok di kota dan dusun diskusi tentang politik perang dan solusi. Martinus dan Irfan bertemu jam delapan pagi di kedai (cafe) yang tidak jauh dari pusat pemerintahan kota. Kedai Ekosum.
Martinus dan Irfan bersahabat lama, sejak duduk dibangku sekolah dasar hingga tamat kuliah S1 dan kembali hidup di Papua. Mereka dua sudah menjadi keluarga yang kuat. Martinus asli pribumi Papua dan Irfan asli non pribumi yang lahir besar di Papua. Irfan generasi ketiga setelah tete dan nenek ikut transmigrasi tahun 1964 dari pulau Jawa.
Dua tahun yang lalu, resmi Irfan menjadi dosen Universitas Yapis Papua setelah tamat S3 di Turki. Martinus kerja di lembaga kebudayaan yang menyuarakan hak-hak masyarakat pribumi. Mereka dua berpisah selama Irfan selesaikan S3. Martinus konsisten advokasi hak masyarakat adat, dan komunikasi mereka tidak pernah berhenti.
Hampir setiap pagi sebelum Martinus dan Irfan berangkat kerja, mereka sering diskusi seputar persoalan yang terjadi di Papua dan dunia di kedai Ekosum.
Pagi yang mendung di bulan april. Martinus dan Irfan saling menghubungi. Mereka bertemu lalu pesan kopi.
“Kawan tunggu lama ka?” tanya Martinus pada Irfan yang sudah duduk minum kopi duluan.
“Trada baru saja kawan,” balas Irfan sambil membalikkan halaman buku yang sedang Dia baca.
“Kawan kemarin rame di Wadio itu kenapa? Saya ikuti di grup banyak yang bilang perang suku?” tanya Martinus kepada Irfan karena rumahnya dekat Wadio.
“Saya ini heran sekali kawan, konflik biasa saja orang suka sebut suku. Jangan bawa-bawa suku karena konflik bisa meluas dan parah,” balas Irfan dengan sedikit kesal.
“Oke kawan, sekarang kita diskusi soal perang Suku?” ajak Martinus.
Martinus mengawali diskusi dengan mengutip kata yang pernah diucapkan oleh mantan Menteri Pertahanan Inggris, Denis Healey,“peristiwa-peristiwa di dunia tidak terjadi secara kebetulan. Semuanya dirancang agar terjadi, di pentaskan dan diatur oleh mereka yang memegang kendali.”
“Komentar kawan bagaimana soal kata Menteri Pertahanan Inggris yang saya kutip?” tanya Martinus kepada teman dosen Irfan.
Menurut wikipedia, perang suku adalah suatu perang yang berlangsung antara dua pihak baik secara bersekutu atau tidak dengan dasar keberpihakan adalah alasan kesukuan.
Ada juga perang konvensional, alasan perang suku biasanya adalah berdasar perebutan sumber makanan atau perebutan tanah ulayat, juga karena faktor lainya.
Keputusan mulai perang dan damai serta pemimpin jalannya peperangan biasanya dipimpin oleh seorang kepala suku (top leader) Walau mengakibatkan korban jiwa atau luka-luka tetapi sebuah perang suku lebih mirip sebuah tawuran.
Di era modern kita sekarang, perang suku akan segera ditengahi dan dilerai oleh pihak keamanan, karena sebuah suku biasanya sekarang dibawah naungan sebuah pemerintahan yang berdaulat.
Zaman kuno dulu? pihak yang kalah dari sebuah perang biasanya akan dimusnahkan, diperbudak atau diusir oleh pihak yang menang, tetapi pada zaman modern sekarang hasil dari sebuah perang suku tidak mengubah peta teritorial atau keuntungan finansial apapun, tapi mungkin saja ada pihak yang diuntungkan dan mereka adalah pelaku inti.
Perang suku sekarang hanya berlangsung di suku-suku tradisional di pedalaman Papua, Afrika, India dan di Hutan Amazon. Sedangkan perkelahian antar suku berdasar fanatisme suku, di daerah perkotaan sering dikategorikan sebagai tawuran atau perkelahian geng.
Jadi, perkelahian di Wadio Nabire itu bukan perang suku tapi perkelahian biasa, tapi sepertinya ada kelompok lain yang ingin memperluas skala konflik seperti kata mantan menteri Inggris tadi. Itulah perang suku hari ini, bedah dengan perang suku zaman dulu.
“Apakah ada kemungkinan lain dalam perang Suku yang kawan pikirkan?” tanya Martinus.
“Dulu saya melihat ada perang Suku saja. Tapi sekarang saya melihat, Perang Suku sudah menjadi Perang Saku,” jelas Irfan melihat konflik di Papua.
“Apa maksudnya Perang Saku?” tanya Martinus dengan penasaran Irfan menyebut Perang Saku.
“Tidak ada definisi khusus soal Perang saku, cuman perang saku ini cara saya menyebut kelompok yang berkepentingan yang diam-diam menghidupkan perang suku di Papua agar tujuan mereka tercapai, mendapatkan manfaat hidup dari perang suku. Tujuan politik mereka untuk merusak kedamaian dan persatuan masyarakat pribumi Papua secara fundamental.
Saya menduga ada permainan uang untuk suatu kepentingan tertentu yang mereka ingin capai. Perang suku yang terjadi di Timika, Wamena, Nabire dsb itu ada indikasi perang suku, tapi ada juga perang saku, bisa saja ada kelompok yang ingin perang suku terus terjadi di Papua dengan target kepentingan tertentu; kepentingan itulah yang saya sebut perang saku.”
“Bagaimana kawan melihat perang suku di Papua dan di luar Papua?” tanya lanjut Martinus.
“Hidup manusia tidak terlepas dari transisi, awal munculnya era modern awal adalah mulai berkembangnya konsep humanis yang dicetuskan oleh para cendekiawan abad pertengahan. Perubahan hidup manusia pun berubah seperti perang yang dulunya peran terjadi hanya karena perebutan sumber makanan dan perebutan tanah ulayat berubah menjadi perang yang disetting oknum berkepentingan.
Era modern ini sudah bertransisi dan akhirnya perang suku menjadi perang saku, perang politik kaum oligarki yang memprovokasi suku tertentu untuk memulai perang, perang saku bukan saja terjadi hanya di Papua, tapi ada juga di tempat lain. Tapi jujur, perang suku di Papua itu saya selalu menduga elit lokal dan pusat bekerja sama menciptakan perang suku untuk perang saku.
Saya pertegas bahwa, perang suku di Papua tercipta karena ada kelompok saku, bedah sedikit dengan perang yang perna terjadi di daerah lain, misalnya di Lampung, Flores, Sigi, Sampit dsb. Walaupun ada persamaan dalam beberapa hal. Persoalanya hanya karena beda kepentingan saku di Papua dan daerah lain diluar Papua. Kita lihat, dulu kita kenal perang suku hanya di Timika, dan disana ada gunung emas, sekarang muncul perang suku di Nabire, dan disana provinsi baru yang punya gunung emas juga.”
Yosef Faitlianan, peserta diskusi dan bedah buku berjudul Luka Papua : HIV/AIDS, Otsus dan Perang Suku di Hotel Matoa, perna berkata,” saya melihat perang suku yang sekarang terjadi sepertinya sudah terkontaminasi.”
Peristiwa konflik 1996 dalam tulisan Amiruddin, perlihatkan orang-orang tak dikenal memakai handy talky mondar mandir di dalam pertikaian antar warga dalam perang suku.
Menurut John, salah seorang penulis dalam diskusi bedah buku Luka Papua menyebutnya,”sangat aneh ketika terjadi konflik di Timika yang punya akses untuk bebas masuk adalah wartawan, aparat keamanan dan juga mereka yang berperang bebas masuk serta memegang handphone. Aneh, saat konflik berlangsung suplai makanan lancar dan voucher pun terisi.”
“Apa intinya yang kawan ingin tegaskan dengan perang saku?” tanya Martinus ingin tau lebih spesifik.
“Dugaan saya sama seperti tadi kawan, perang suku di Papua ada unsur konspirasi dari pemerintah pusat dan kelompok kepentingan di daerah, dan bahkan dunia. Hal ini saya melihat dari respon pemerintah daerah bersama Lembaga Kepolisian Negara di Papua sepanjang terjadi konflik antara warga atau konflik horizontal.
Misalnya perang di distrik Kwamki Timika merupakan dendam-dendam perang antar warga sebelumnya belum usai dan kini meredah. Salah satu tokoh masyarakat Amungme, Yohanes Kibak, perna meminta pemerintah menengahi konflik warga Kwamki melalui media, tapi Pemda dan Kepolisian selalu punya metode sendiri.
“Polisi harus tegas dengan hukum positif, ini kelemahan di Papua. Hukum positif dinomorduakan. Tangkap pelaku, proses hukum, biar jera,” minta Yohanes Kibak melalui media online detik dengan tegas.
“Perang suku di Papua adalah solusi bagi kelompok tertentu, jika perang terjadi diluar dugaan manusia, ada kaum tertentu akan memelihara konflik tetap eksis dengan cara korelasi dari pemerintah pada isu-isu propaganda. Sehingga saya berani berkata, perang suku telah bergeser kepada perang saku atau perang kepentingan orang-orang kuat.
Dalam kurung waktu lima tahun ini, perang suku terjadi di beberapa daerah baru, salah satunya di Nabire. Misalnya, di Wamena, Timika, Oksibil, Yahukimo, Tolikara dan Nduga mereka sering perang, sudah biasa. Tapi perang di daerah baru di atas saya melihat berbeda, sehingga saya berani menduga ada perang saku yang besar terjadi di Papua dan akan terus terjadi. Masyarakat pribumi harus siap dan harus bersatu.
“Dari saya begitu kawan. Sekarang kamu lihat konflik di Papua bagaimana?” tanya kembali Irfan ke Martinus.
“Untuk menjawab pertanyaan dan menanggapi pendapat dari kawan, saya ingin bacakan saja tulisan dari tokoh Agama, Dr. Socratez S.Yoman di akun pribadinya di beranda facebook yang saya dapat. Saya pikir cocok untuk diskusi kita sebagai penutup.
“Ketika suatu negara atau pemerintah kalah dalam diplomasi di tingkat Internasional, artinya kalah perdebatan dalam berargumentasi di forum-forum resmi, Ia selalu panik dan kepanikan itu menjadi energi kekerasan dan kejahatannya dan Ia membuat berbagai skenario dan siasat untuk menciptakan konflik diantara penduduk yang diduduki dan dijajah.
Yoman mengarahkan rakyat yang dijajah dan diduduki itu ke arah konflik-konflik dan menuju pada perang saudara atau suku. Biasanya penguasa kelola satu kabupaten dan dua kabupaten dan sampai meluas ke seluruh wilayah yang diduduki dan dijajah itu.
Saya akan sampaikan kepada dunia Internasional bahwa, ‘hei, kamu lihat, di sana ada perang saudara.’ Dengan cara-cara dan siasat demikian, negara dan penguasa bersembunyi atau lari dari tanggung jawab atas pelanggaran berat yang dilakukan selama bertahun-tahun.
Apakah analisa seperti sedang diskenariokan di Papua? Pertanyaan ini akan dijawab oleh orang-orang yang memiliki mata hati dan mata iman. Hopefully, the short article would be understood by whose people who have consciousness.” (Ita Wakhu Purom, 9 Oktober 2018)
“Ada cara aneh untuk menangani perang suku di Papua. Saya setuju dengan perang suku sudah berubah menjadi perang saku. Sehingga bukan hanya konflik sosial saja yang terjadi perang saku tapi juga pada isu lingkungan, ada matematika dalam politik antara daerah dan pusat dan itu sangat sekali. Seakan konflik horizontal dipiara dengan isu tanpa data. Korban perang dilihat sebagai akibat dan tentu terhindar dari hukum ham internasional,” tutup Martinus.
“Sudah ya kawan, saya berangkat kampus dulu,” ucap Irfan gegas pamit ke kampus.
“Baik kawan, saya juga berangkat ke kantor,” balas Martinus juga pamit pergi ke kantor.
“Jangan lewat depan Jepara Wadio kawan,” perintah Irfan.
“Sudah tau kawan, makasih,” balas Martinus gas motor.
Ternyata kopi dalam gelas mereka sudah habis. Seperti ngopi pada hari lain. Diskusi dan berangkat ke kantor. Itulah aktivitas Irfan dan Martinus di kota tercinta mereka sejak lahir. Kadang diskusi dengan beberapa teman ngopi di kedai Ekosum. Tapi kali ini hanya mereka dua diskusi tentang perang suku. Diskusi telah usai ikut kopi yang sudah habis.
Oleh: Nomensen Douw (Papua Tengah, 2024)