Majalahkribo.com – Sebuah kampung terletak di pinggiran hutan dan kaki gunung, tinggalah sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah Martinus dan tiga orang anak kecil berusia lima tahun, tujuh dan sembilan. Ibu mereka meninggal di rumah sakit setelah lahir caesar anak yang ke tiga. Keluarga Martinus hidup sangat bersosial dengan masyarakat kampung. Berbagi cerita duka dan tawa menjadi kehidupan sehari-hari di kampung tercinta mereka yang natural.
Di waktu jingga, sedikit orang yang akan pulang dari kebun dengan hasil panen, memikul kayu kering untuk kobaran api untuk hangat dari dingin dan memasak makan malam. Dulu hampir semua orang kampung memiliki kebun; pagi mereka akan masuk hutan dan sore pulang. Tapi hari ini, orang-orang di kampung tidak seperti dulu sebelum ada uang satu milyar untuk satu kampung dari pemerintah pusat.
Keluarga Martinus hidup tenteram dan bahagia dengan berbagai kemewaan alam sejak kehidupan nenek moyang pertama mereka. Makan dan minum tidak jauh dari rumah berpapan kayu diantara pepohonan yang lebat dekat pundak gunung yang dingin hingga tulang. Tapi berjalannya waktu, orang-orang di kampung semakin hari semakin berubah setelah dana kampung mulai dirasakan. Orang di kampung dan Martinus sering menghadapi kongflik baru, kongflik yang belum perna ada di zaman nenek moyang hidup bersama alam.
Kehidupan keluarga Martinus dan orang-orang di kampung mencekam ketika sebuah kelompok milisi lokal mulai mengancam kedudukan pemerintah di daerah adanya dugaan korupsi para elit pusat dan lokal yang tidak perna melihat masyarakat kampung walaupun ada dana kampung. Milisi menggunakan kekerasan dan ancaman untuk memaksa orang-orang di kampung yang mendukung pemerintah untuk kembalikan pekerjaan dan uang.
Tentara pemerintah juga menggunakan kekerasan dan ancaman kepada orang-orang di kampung, memerintah tidak boleh bergabung dan mendukung milisi lokal dengan uang dan massa. Martinus sangat ketakutan dengan ancaman karena Dia sekertaris kampung yang selalu bantu kepala kampung membagi dana kampung.
Menurut milisi lokal, mereka bisa hidup dari sumber daya alam yang ada dan mereka percaya semua kebutuhan alam sudah menyediakan semua, sehingga orang-orang di kampung harus kembalikan uang pemerintah dan kembali hidup dengan alam untuk berkebun dan berternak. Seperti nenek moyang dulu.
Kampung menjadi tak lagi aman karena orang-orang di kampung sudah lama hidup dengan pekerjaan pemerintah dan uang. Berat untuk mengubah keadaan itu. Akhirnya kampung yang dulu damai dilanda ketakutan yang hebat. Martinus ketakutan karena milisi dan tentara pemerintah selalu datang kerumah dengan beberapa pertanyaan dan jawaban.
“Martinus kepala kampung dimana?”
“Itu orang tua di kampung sini, kalian mau apa?”
“Kami mau adili Dia, Dia merusak kami punya tujuan besar”
“Tujuan apa? Tujuan kalian cari uang rokok?”
“Jaga mulut Martinus”
“Jaga mulut apa, kalian jangan kontak dengan masyarakat disini yang sudah hidup aman-aman. Musuh kalian itu siapa pun militer, bukan masyarakat yang punya uang atau sesuatu”
“Ok, nanti kita lihat”
Tak lama kemudian, milisi lokal tersebut mendapat perlawanan dari tentara pemerintah. Pertempuran antara milisi lokal dan militer pemerintah semakin merajalela di halaman kampung. Suasana perang membuat keluarga Martinus dan orang-orang di kampung ketakutan dan lari keluar. Martinus tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan semua keluarga di kampung.
Dalam keadaan genting, keluarga Martinus akhirnya melarikan diri ke hutan. Mereka bersembunyi di tempat yang tidak mudah ditemukan. Martinus mencoba untuk menjaga ketenangan keluarga dan memberikan semangat agar tetap kuat di tengah-tengah badai yang melanda. Ternyata setelah Martinus cek semua orang di kampung, semua sedang berlindung di hutan di dekat mereka. Kampung menyala dengan api dan keributan bunyi senjata dimana-mana. Milisi lokal dan tentara pemerintah saling tembak ramai.
Berhari-hari mereka tinggal di hutan, merasa gelisah dan cemas dengan perang di halaman kampung. Namun, melalui tekad dan kekuatan bersama, keluarga Martinus dan semua orang di kampung berhasil bertahan hidup dengan hasil kebun yang tersisa setelah ditinggal lupa. Mereka saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam mengatasi setiap rintangan yang mereka hadapi dalam hutan.
Mereka bertahan dengan makanan hasil kebun yang sudah lama menjadi hutan. Mereka mulai kembali memikirkan tentang berkebun karena keadaan uang tidak berlaku saat perang terjadi. Mereka minum dan mandi air bersih dari gunung batu alami. Bersama mereka saling melengkapi kebutuhan dengan berkebun bersama dan makan bersama.
Satu bulan berlalu, perang antara milisi lokal dan tentara pemerintah mereda. Kampung kembali aman dan tertata, tidak ada tembakan dan nyala api lagi. Keluarga Martinus dan orang-orang di kampung kembali ke rumah dengan perasaan lega. Mereka bersyukur selamat dari bencana perang yang melanda. Dan bersatu dalam kebahagiaan mereka setelah mengalami cobaan yang sulit bersama dalam hutan dengan keterbatasan makanan. Ada anak-anak dan beberapa perempuan mengalami sakit.
Dengan semangat persatuan dan kekeluargaan, mereka membangun kembali kehidupan di kampung. Mereka membagun kembali rumah-rumah yang terbakar karena perang. Menanamkan nilai-nilai perdamaian dan hidup kebersamaan kepada seluruh penduduk kampung dan memulai berkebung setelah mulai lupa karena uang. Mereka menjadi contoh bagi orang lain tentang kekuatan persatuan keluarga yang berkebun menghadapi cobaan dari bencana yang datang. Mereka baru sadar kalau uang tidak selamanya dapat menjadi solusi untuk semua masalah.
Kehidupan mereka kembali normal, meskipun kenangan akan peristiwa perang itu tetap membekas dalam hati orang-orang di kampung dan keluarga Martinus.
“Saya tidak percaya perang ini terjadi tanpa sistematis”
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Ini musim pemilihan, tapi kenapa mereka harus perang hanya karena saling merebut suara masyarakat kampung disini”
“Tau ka tidak? Kampung kita ini DPT paling tinggi. Suara kita ini penentu untuk para elit politik menduduki kursi. Tidak terlepas dari itu, kampung kita ini juga kaya akan alam. Tapi saya setuju soal sistematis itu”
“Caranya memang sangat kasar, gila dan kurang ajar, mereka tidak kasihan masyarakat kampung satu bulan lebih bertahan dengan dingin, lapar dan nyamuk-nyamuk di hutan”
“Permainan kelas elit memang begitu. Bisa saja dua kelompok yang berperan juga itu hanya game untuk amankan kepentingan yang besar”
“Ia, itu sudah game para elit lokal dan pusat bertemu”
Setelah perang berlalu depan mata Martinus, Dia memulai berkebun dan mulai piara ternak ayam dan babi. Sambil Martinus terus ajak semua masyarakat di kampung untuk berkebun dan berternak. Martinus juga sudah bertemu dengan pemimpin milisi dan komandan tentara pemerintah untuk mereka berdamai demi masyarakat di kampung.
“Kalian boleh atur suara dan berikan kepada figur politik versi kalian, tapi jangan kalian mulai perang lagi. Dampak dari kalian perang kemaring itu banyak rumah terbakar habis dan banyak anak-anak dan perempuan sakit berat hari ini. Bersyukur sampai hari ini tidak ada yang korban”
“Kami korban tiga prajurit terbaik”
“Itu resiko perang kalian, asal masyarakat kampung tidak ada yang mati karena ula kalian itu saja, dan jangan memulai perang lagi”
Dalam seminggu dua kali, Martinus selalu teriak dari ujung batas kampung untuk menggumpulkan semua orang-orang kampung di kantor balai desa untuk menyampaikan kata motivasi tetap berkebun dan berternak, kembali mulai hidup seperti nenek moyang dahulu kala. Seakan Martinus tau, akan ada perang yang lebih berbahaya akan datang dengan waktu yang lama di kampung. Tapi Martinus percaya pengalaman adalah guru terbaik untuk memperbaiki diri sendiri.
Penulis: Nomen Douw / Jayapura, 2024
Bahlil Lahadalia Batalkan Smelter di Fakfak, Pengamat Ekonom UGM: Itu Ada Keputusan Yang Blunder