Oleh: Marselino Wegobi Pigai 

Matahari sudah di puncak gunung Egeida (atau juga disebut puncak gunung Delama). Disamping saya ada Hegel, filsuf besar, yang bersemayam dalam wujud tulisan dalam buku yang berjudul Dialektika Hegel, sementara saya harus diawali dengan konsumsi santapan bagi makanan spritual pagi.

Satu tangan ber jempol mengarah ke saya dari depan rumah yang terpandang langsung. Saya menengok dan memastikan ada seorang anak laki-laki berseragam lengkap, dan memikul tas ransel sekolah. Gayanya compang camping terutama rambut yang kekuningan, iyatade Iyo (rambut tidak teratur dalam bahasa Suku Mee). Penampilan menerjemahkan seperti seorang anak yatim-piatu.

Dengan bahasa yang kaku, senyum manis dan murni dalam bahasa syarat meminta saya kunci sekolah. Ternyata anak itu hendak membuka ruangan sekolah SD YPPK Kugapa Distrik Bibida kabupaten Paniai Provinsi Papua Tengah. Dia lakukan seperti layaknya seorang petugas sekolah. Sabtu pagi sudah datang lebih dulu dari Guru dan murid lainnya.

Paskah diskusi satu kegiatan yang baru selesai pada siang hari. Saya keluar dari ruangan perpustakaan dan berjalan ke halaman sekolah. Satu anak berpakaian baju biasa, celana seragam SD, bertangan Sekop, sedang membersihkan halaman sekolah. Siapa gerangan itu, spontan penasaran datang. Ternyata anak yang pagi-pagi sudah datang mengambil kunci sekolah.

Dialog pengalaman pahit

Tak menahan rasa ingin tahu, terus merangkak menjumpai anak itu. Penampilan yang tampak semakin meyakinkan, ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya. Ada alasan yang tersembunyi selama belum diceritakan.

Saya mendekatinya, sebelum jarak kurang lebih 20 meter darinya, sudah melemparkan senyuman manis dan merayuku semakin mendekat kepadanya. Saya harus pake bahasa apa supaya bisa bercakap-cakap dengan dia. Ada alasan yang menuntun pilihan penggunaan bahasa. Saya mengira seorang anak yang hanya bisa berbahasa Moni karena keberadaan lokasi, yang bermukim mayoritas masyarakat Papua Suku Moni.

Diawali dengan bahasa syarat, salaman. Dengan mulut yang keberatan, melayangkan bahasa kepadanya, “guru ya keitai katiyakeme (apakah Guru menyuruh)?” Mengajak bercakap dengan bahasa Mee melalui satu pertanyaan ini. “Beu kodo (Tidak)” kata, dia.

Aki ekaki Meime? Yulianus Dogopia, jawabannya. “Kelas mago?” (Kelas berapa), kelas 5 SD jawabnya. Kemudian menanyakan asal usul dan tempat tinggalnya. Dia belum jawab langsung, menarik nafas panjang dan bertahan sejenak. “Aniki Dimi Wouto Make” (dari sebelah gunung itu). Jawabannya sambil menunjuk ke arah gunung yang memisahkan antara distrik Bibida dan distribusi Dumadama. Dia berasal dari Woge (penyebutan kampung paling terjauh arah timur dari perkotaan kabupaten) Distrik Dumadama, Kabupaten Paniai provinsi Papua Tengah. Dia menjawab dengan bahasa yang kaku bercampur dengan perasaan sedih. Ekspresinya itu, mewakili pesan, dia memiliki goresan kehidupan yang tersimpan dalam memorinya.

Saya melanjutkan pertanyaan dengan keberadaan orang tuanya, dalam bahasa Mee-Papua. “Anukaiko aniki Yokaga Bokata, anaitaiki miyouto gakou bokategi” (Ibuku sudah meninggal sejak kecil dan bapa meninggal beberapa tahun yang lalu), katanya. Menurut penjelasannya, Dia tinggal di kampung Piyaibo Bibida menumpang di keluarga kerabat sejak setahun lalu.

Yulianus menjelaskan alasan yang membuat dirinya harus pindah ke SD YPPK Kugapa. “Mege ibo edayake kodoya, nitopaimako beuka yakaiga miyo meii” (membayar biaya yang mahal tapi belum mengajar sehingga pindah ke sekolah SD YPPK Kugapa). Saya menanyakan cita-cita yang mau dicapai melalui pendidikan. Dia menggeleng-gelengkan kepala sembari mengatakan, tidak tahu dan disesuaikan kemudian waktu.

Yulianus adalah salah satu siswa yang terdampak Akibat operasi Militer TNI gabungan satgas operasi damai Cartenz yang melakukan pengejaran terhadap TPNPB OPM di distrik Bibida pada bulan Mei. Dia mengatakan, saya tidak pulang ke kampung tapi ikut mengungsi ke Madi bersama masyarakat sipil lainnya. Menurut keterangan yang saya menerima dari pihak sekolah, akibat kontak senjata belum melakukan aktivitas ulangan. Kini aktivitas sekolah telah kembali melakukan.

Prinsip Yang Menghidupkan.

Awal saya mengamati, Yulianus cukup berbeda dengan anak-anak lainnya. Tidak sama ratakan anak-anak dengan memiliki satu perilaku. Tapi dari kehidupan dunia anak-anak apalagi setelah menciptakan satu lingkungan terpolarisasi pada dewasa ini, anak-anak sudah tersingkir dari budaya kerja. Dia diakui sebagai satu anak yang rajin. “Okai tiga touto” (dia selalu hadir lebih dulu) kata seorang ibu yang biasa mengamati setiap kegiatan penjualan kue yang dilakukan sekitar sekolah.

Sikap rajin ini justru menjadi satu alasan dari kepala sekolah, Dominikus mengakui dengan gelar “kike yoka enanu” (anak yang baik). Dia diakui sebagai sebagai anak yang mendapat penilaian baik dari kriteria penilaian psikomotorik. Sikap tersebut tidak muncul tiba-tiba karena proses pendidikan formal yang berlangsung sekalipun tidak cukup. Tapi justru karena pola asu dan pendidikan yang terbangun dalam lingkungan terkecil dan pertama. Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mendidik anak menjadi seperti dengan mengikuti tradisi kebudayaan keluarga.

Karena itu, keluarga menjadi lingkungan pendidikan pertama untuk membentuk karakter, sebelumnya memasuki wilayah pendidikan formal. Pembentukan Karakter anak dalam keluarga yang pada akhirnya menjadi kebiasaan personal. Kebiasaan melahirkan pribadi yang berprinsip, nilai hidup yang diyakini bernilai karena memberikan semangat hidup dan terus menerjemahkan kepribadian sebagai siapa.

Adakah harapan yang Menghidupkan?

Yulianus harus dilihat sebagai mewakili dari pesan dan perkembangan pendidikan formal yang berjalan di Papua. Terutama pendidikan yang terjadi di daerah-daerah terisolasi dari cita-cita pembangunan sumberdaya manusia Papua. Pada tahun yang lalu, saya melakukan perjalanan ke salah satu kampung Kigo, Kampung Mabou dan Kampung Tibai. Fenomena pendidikan formal hampir sama, belum aktif SD di kampung Tibai sementara Mabou dan Kampung Kigo samasekali belum ada. Banyak anak-anak akhirnya meninggal kampung dan lainnya memilih tidak bersekolah.

Potret ini menjelaskan fasilitas pembangunan pendidikan yang tak memadai. Keterbatasan fasilitas pembangunan fisik, tapi juga, jauh lebih penting dari tumbuh kembang anak menjadi cerdas. Bagian kedua, fasilitas pengetahuan jauh lebih penting yang diperlukan pengajaran yang mengabdi kepada kemanusiaan di pelosok-pelosok kampung. Jika tidak, pastinya manusia Papua akan menjadi minoritas dari sumber daya manusia. Akan menambah angka buta huruf dan iklim marjinalisasi akan terbuka lebar.

Yulianus memilih pendidikan keluar dari daerah kampung halamannya, karena alasannya fasilitas sekolah, yang tidak mewadahi mewujudkan harapan. Harapan yang akan bertumbuh kembang menjadi seorang manusia yang cerdas atau paling tidak memiliki bekal menghadapi tantangan dunia yang semakin canggih dari ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Harapan bisa berakhir tanpa Yulianus harus melewati gunung bertebing dan hutan belantara. Berusaha menaklukkan mental tak mampu dan berkembang menjadi bagian dari anak yang siap menghadapi dunia yang berkemajuan.

Sisi lainnya, Yulianus harus dilihat dari keterbatasan yang tersimpan dalam wilayah personalnya. Pertama, keterbatasan akses pendidikan yang ditopang oleh ekonomi (biaya pendidikan) akibat dari peristiwa kematian kedua orang tua. Dalam cerita-cerita anak piatu, penulis termasuk menjadi anak piatu, biasanya kesulitan biaya pendidikan. Bagian ini, kalaupun ada saluran-saluran biaya yang disediakan pemerintah, tapi belum sampai tersentuh oleh anak-anak piatu. Nepotisme masih menjadi faktor penentu penyingkiran nasib anak piatu.

Kedua, keterbatasan Yulianus menerima pendidikan formal sejak kelas pertama, yang iklimnya tidak seperti anak-anak sekolah dengan fasilitas lengkap, sehingga menjadi problem dalam pengembangan diri terutama keterampilan komunikasi dan berkedudukan pada posisi buta aksara. “Aniki bingung tete yokaki wadouwe ewime beu gaakou” (saya bingung apakah anak itu menaikan kelas atau tidak) kata kepala sekolah, menilai Yulianus yang kini sudah kelas 5 (lima) SD YPPK Kugapa. Tapi sedang ada kelas khusus yang sedang diupayakan seorang guru pengajar.

Karena itu, Yulianus mengharapkan agar ada perhatian dari pemerintah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan, untuk mencapai kecerdasan bangsa. Otonomi khusus seharusnya bisa memberikan harapan baru yang menghidupkan anak-anak Papua seperti Yulianus untuk mendapatkan fasilitas yang cukup bagi tumbuh kembang. Otonomi Khusus tidak sekedar daftar hitam putih yang belum mampu mengakomodir harapan dan kebutuhan anak-anak piatu yang sangat membutuhkan tanggung jawab pemerintah negara.

Kewajiban ini tidak hanya dalam urusan sebagai penerapan dari Negara sebagai hasil kontrak sosial. Tapi jauh lebih dari itu, Negara sudah lama menyedot dan mengambil kekayaan alam Papua, menjual dan mendapatkan nilai rupiah. Yulianus adalah termasuk siswa terdampak dari kegiatan Freeport Indonesia yang sudah lama mengambil kekayaan tambang emas. Selain itu perkebunan kelapa sawit yang memakan hektar-hektar di mulai dari bagian Timika sampai Dumadama. Tapi seolah-olah tidak ada faedahnya terhadap siswa yang notabenenya memiliki kekuatan ekonomi yang dikeruk negara dan investor yang bekerjasama.

 

Share this Link

Comments are closed.