Fakfak, majalahkribo.com— Pemilik hak ulayat Dusun Pala Wohibie menyatakan sikap tegas terhadap Pemerintah Kabupaten Fakfak atas pencemaran lingkungan yang terjadi akibat operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kadamber selama lebih dari tiga dekade. Dalam pernyataan resminya tertanggal 8 Juli 2025, mereka menuntut ganti rugi sebesar Rp15,5 miliar atas kerusakan tanah dan tanaman produktif di wilayah adat mereka.
TPA Kadamber yang telah beroperasi sejak tahun 1992, dinilai telah mencemari lahan adat seluas 2 hektar. Dampaknya, berbagai tanaman pala dan komoditas pertanian lainnya di dusun tersebut mengalami kerusakan parah, termasuk hilangnya unsur hara tanah yang berakibat pada matinya produktivitas lahan.
Dalam pertemuan terbatas bersama pemerintah daerah pada 7 Juli 2025, masyarakat adat secara tegas mengajukan lima poin tuntutan, di antaranya:
1. Pemulihan lingkungan secara menyeluruh dan pembangunan tanggul penahan limbah di areal terdampak.
2. Pembayaran ganti rugi atas seluruh kerusakan tanaman jangka pendek maupun panjang serta kerugian materiil dan immateriil.
3. Ganti rugi senilai Rp15,5 miliar, dengan ancaman akan menutup akses ke lokasi TPA Kadamber dan menempuh jalur hukum jika tuntutan diabaikan.
4. Mekanisme pembayaran terpisah dari metode appraisal tanah, yang dianggap tidak relevan dengan kerusakan lingkungan dan hak ulayat.
5. Jaminan perlindungan hukum dan lingkungan hidup bagi masyarakat adat.
Benediktus Rohrohmana selaku pemilik hak ulayat menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar tentang uang, tetapi soal keadilan dan tanggung jawab negara terhadap hak-hak masyarakat adat yang selama ini diabaikan.
“Kami menuntut keadilan. Jika suara kami terus diabaikan, maka kami siap menutup TPA Kadamber dan menempuh jalur hukum,” tegas Benediktus.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemerintah Kabupaten Fakfak belum memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan tersebut.
rls/Editor: Ronaldo Letsoin