Oleh : Nomen Douw
CERPEN – Hari kamis sudah pagi di pelabuhan Samabusa, wilayah timur Kabupaten Nabire Papua. Beberapa bulan belakangan ini, Nabire sedang dalam musim kemarau, sepertinya seluruh tanah Papua, ada beberapa daerah dilanda musibah banjir, seperti kota Sorong ”Pray For Mereka,” kata saya dalam hati waktu saya melihat photo banjir yang difoto dari atas udara di media online. Sore pasti hujan sampai malam, pagi kembali cerah. Pagi sudah cerah dari gelap tadi, subuh; belum tidur, tahan mata karena jadwal kapal jam 6. Petugas pelabuhan sudah berjaga di pintu pagar masuk pelabuhan. Jam tujuh pagi, saya pikir kapal akan masuk cepat, padahal tidak. Saya harus tahan mengantuk. Security berbaju dinas hijau kebiruan sedang menagi setiap kendaraan yang masuk. Saya bayar dua ribu rupiah.
Pikiran saya membawa saya ke depan gedung yang berbentuk bandar udara setelah saya pamit dengan keponakan yang mengantar saya. Orang-orang sudah berkumpul, bertepi samping gedung tunggu. Orang-orang siap berangkat dengan besi terapung yang berlari diatas kulit laut. Motor dan mobil ramai berparkir, keluar masuk ada orang yang berjalan cepat karena jabwal resmi PT. Pelni jam 8 tolak. Sebelum jam enam, orang-orang sudah ramai di pelabuhan Samabusa, termasuk saya. Berdiri depan ruang tunggu yang baru di resmikan.
Pagi masih cerah, panas terik di jam 8 lewat dua menit. Orang-orang sudah menggantri sebelum loket pembelian tiket kapal belum dibuka. Loket tiket bagi orang-orang yang terlambat beli tiket di kantor Pelni di kota. Tidak menggantri, orang-orang bertumpuk depan jendela yang berukuran hanya satu badan orang dewasa. Menunggu petugas datang melayani tiket dibawa sinar matahari panas. Belum ada tanda-tanda kapal bentar lagi sandar di dermaga Samabusa.
Orang-orang menunggu kapal yang katanya masuk jam 11 siang. Ibu-ibu dengan anak-anak, baby dan bocah-bocah duduk di tepi gedung ruang tunggu, ada pria-pria berpakean seperti orang malas mengurus diri mereka, tanpa alas kaki, berbaju seperti hidup di daerah tanpa air sunggai yang bersih dan sabun. Kotor, jarang mencuci dan mandi. Ada juga yang rapi karena ingin terlihat kren, dan juga karena bersih karena jaga kesehatan di era yang sudah banyak penyakit baru.
Petugas mulai berdatanggan satu per satu dengan pakean dinas berwarna hijau kebiru-biruan, orang-orang saling berbisik, ”kayaknya kapal sudah mau sampe” siapkan uang beli tiket di loket”. Saling dempet depan loket tiket, tidak menggantre tapi saling merampas menuju jendela kecil. Tidak ada petugas yang berdiri mengatur tata tertip pembelian tiket kapal. Orang-orang saling marah dengan kata buruk; ada yang marah petugas karena tidak diatur, ada yang marah karena tidak antri. Saling dorong, tergesa-gesa.
Orang-orang menunggu layaknya kapal sebentar lagi tolak, saling rampas agar lebih cepat membeli tiket dengan harga dua ratus lima puluh ribu. Semakin siang, semakin orang-orang memadati wilayah luar gedung ruang tunggu kapal. Saya ikut mengantre setelah melihat petugas teriak-teriak bagi tiket depan pintu sesuai nama KTP. Keringgat mandi dibawa matahari panas. Jam 11 lewat lima puluh delapan kapal sudah mau sandar dermaga. Saya sudah membeli tiket setelah mengantri panjang. Menyesal, kenapa saya harus menggantri cape mandi keringat dengan orang-orang, padahal kapal belum nampak.
Ruang tunggu yang terlihat baru, orang-orang sudah banyak menunggu, bertumpuk bersama keluarga dan kenalan mereka sambil menunggu pintu menuju dermaga dibuka. Kursi di ruang tunggu penuh, lebih banyak orang duduk diatas lante tehel, ada yang bertiduran dan berdiri, terlihat wajah-wajah bosan lapis menggantuk, seperti saya; mengantuk karena belum tidur malam karena takut kapal masuk jam enam, padahal jam dua belas lewat empat puluh dua. Pintu dibuka setelah satu jam penumpang turung dari dalam kapal. Orang-orang paling depan berlari seperti pelari maraton yang dilepas panitia. Orang-orang berlari dari menunggu untuk berangkat; membawa keringgat, bosan dan capeh.Harap memiliki tempat tidur.
Orang-orang ramai di kapal ini, seperti bulan Desember, berangkat dengan tujuan pulang kampung atau mudik; berangkat dengan rumah. Banyak Ibu-Ibu yang berangkat dengan bocah, bayi dan sanak saudara. Sekolah Dasar mungkin libur di bulan agustus. Saya berpikir, “kenapa tidak ikut aktivitas anak untuk sekolah, menunda hal lain. Bagaimana persoalan di negeri ini mau kita selesaian besok kalau bocah-bocah kita malas pergi ke sekolah”. Tangga naik kapal penuh dan sesak dengan penumpan naik. Saya lihat bocah diatas pundak mamanya nangis teriak karena barang yang dipikul orang dewasa disamping mengenai tubuh bocah itu.
Satu ibu merangkul bayi di sampin saya, penumpang saling dorong untuk terus naik, dua mama yang mengendong bayi bekerja keras melindunggi anaknya. Satu ibu di belakan saya menggendong bayi. Saya terbebani, orang-orang naik dengan keras, seakan kapal sudah stom tiga kali dan ada pemberitahuan ”kapal siap berangkat.” Seharusnya kita bersabar dengan hitungan waktu dan kondisi yang terjadi. Saya lebih dulu naik sambil menegur orang-orang yang berdesak untuk melindunggi dua ibu yang merangkul kuat anak bayinya. Saya menjadi petugas kapal dalam beberapa menit. ”Seharusnya harus ada jalan untuk orang-orang usia lansia dan bayi,” Pikir saya dalam hari.
Depan saya diantara orang-orang berdebat, dua orang perlahan maju, bertubuh tinggi kurus, terlihat seperti orang Mamberamo. Bocah berbaring dalam noken, tidur sono walaupun panas. Pria yang mungkin suaminya menggendong pisang hijau; mungkin bertahan makan di kota lain. Aktivitas lain yang dilihatkan lelaki Mamberamo ini seperti kita kembali dulu; hidup bergantung pada alam. Dari nenek moyang kita. Mungkin sekarang orang-orang sedikit hidup dari alam, kita bisa lihat hari ini; pisang,keladi dan sayuran dalam konsumen kita hari-hari hidup. Lelaki Mamberamo berbedah ketika dana desa masuk kampung, manusia lebih banyak memikul beras dan bama lain ke kampung ketimbang umbian dan sayur. Ada kata lucu buat pria Mamberamo di sekitar saya. Saya dengar. Kita hanya menunggu waktu akan jalan kembali dengan alam; kita akan menjadi pria Mamberamo.
Ada suara masuk ditelingga, berisi suara membosankan, suara orang-orang berjalan seperti kura-kura sakit, memanjat naik dalam besi besar; berbaris naik seakan kita menggantri kematian; kembali dialam pencipta. Seakan politik membuat kita saling menegur untuk pergi lebih cepat. Orang-orang mementingkan keluarga untuk pergi, agar tidak saling cari, tidak tertinggal dan tidak berpisah, lebih penting anggota keluarga; seperti dunia kerja birokrasi di Papua. Keberhasilan harus dibayar, manusia harus membayar orang untuk memikul barang bawaan dengan cara yang kasar untuk lebih cepat sampai dan lebih cepat dapat tempat yang nyaman dalam kapal; dengan cara yang meresahkan orang lain.
Petugas diujung tangga turun kapal marah-marah sambil tanggan kanan menggenggam hate. Setelah ada informasi, kapal siap berangkat, pengantar dan penggunjung berlombah turun. Petugas punya tanggung jawab; harus marah untuk melunasi pekerjaannya. Ibu berlari mengejar tangga naik kapal diatas dermaga arah kapal yang siap berangkat, selagi tangga kapal ditarik naik, anak buah kapal punya sisih kemanusiaan, tangga turung, ibu berhasil naik sambil kapal perlahan lepas tali dari dermaga Samabusa. Kapal membawa orang-orang yang berkesedihan, bahagia.
Kapal masuk wilayah dua pulau terbesar di Nabire, Moor dan Mambor. Ada beberapa pulau kecil seperti pulau Babi, Hariti, Nusi. Saya lihat wilayah Napan di daratan; Kampung Tua Mosandurei di pesisir, pada masa lalu merupakan bagian dari jaringan niaga dengan Kesultanan Tidore. Di tahun 2020, saya dengan teman-teman Twety Teen dan Muda Nabire membawa bantuan sosial ke Kampung Paling terpencil sebelah timur dari pusat kota Nabire Papua, di kampung Totoberi. Perjalanan yang cukup sulit untuk mental seorang manusia yang baru melintasi laut hingga masuk muara yang airnya kabur berwarna tanah liat, kabur. Sungai yang memungkinkan menghidupi buaya. Menakutkan, tapi kami tetap maju sukseskan giat bakti sosial.
Diatas kapal, dek 7 ujung, pemuda asal Nabire sudah duduk melingkar. Mereka saya kenal. Dunia apa yang mereka menikmati; saya tau dari cerita orang-orang. Saya berdiri memikul tas biru mengenakan jaket gemuk, topi merah bersimbol ayam jantan bertulisan thrasher. Berdiri sandar di pagar yang membatasi ujung kapal, memandang ujung darat bumi yang hijau dari atas lautan Papua. Duduk di kursi hijau. Bersandar. Saya kadang tertidur, kaget-kaget; mengkawatir cerita orang kalau diatas kapal banyak pencuri, kekawatiran menjadi security dalam tubuh. Dimana-dimana dalam kapal, tempat tidur full, orang-orang memenuhi badan kapal dan dalam, ramai lalu-lalang seperti di pasar karang di pagi hari. Sebentar mungkin jalan satu-satunya tidur dimana pun, yang penting berbaring menutup mata sedikit, mungkin akan menjadi orang gelandangan yang waras. ”Seni sebuah perjalanan adalah manakala kita melupakan siapa diri kita,” filsafat Tiongkok.
Bertemu Anis Wakur, teman waktu saya bermain sepak bola, kita saling peluk salam, Dia bertugas (TNI) di Kabupaten Deiyai Papua. Sebelumnya, saya menyaksikan seorang TNI mabuk berat bertemu teman yang sedang duduk main gaple dengan beberapa teman. Dek 7 samping saya. Teman tentara yang sudah mabuk berat memukul dengan canda kepada temannya yang sedang duduk bermain gaple. Karena miras, seorang teman tentara itu banyak gerakan tambahan yang meresahkan teman lain, dua teman yang datang bersama mengontrol. Saya berjalan dan duduk kembali, kiri kanan, seperti kapal ini di sewa orang-orang miras, banyak titik lingkaran sedang miras happy dunia mereka, suara ribut bergema, banyak bicara tidak jelas, dari jauh terlihat seperti orang gila. Beberapa pemuda yang lewat miring-miring, seakan wajahnya menentang semua orang diatas kapal.
Alkohol dijual dalam kemasan aqua diatas kapal, dipajang seperti aqua biasa. Tiga titik di dek tujuh pemuda Papua saling berkelahi. Saya duduk cerita dengan Anis Wakur. Tidak lama kemudian terdengar orang berkelahi. Tentara yang tadi mabuk berat dipukul teman yang duduk main gaple tadi, sepertinya Dia balas tamparan canda tadi. Mungkin temanya menyimpan amarah. Anis Wakur berjalan cepat; amankan kedua teman yang berkelahi, sepertinya mereka berdua tidak saling kenal, tapi karena pikiran di kuasai alkohol saling berkelahi. Padahal teman. Sore beranjak malam, seakan saya di club tanpa musik, orang-orang berjalan seperti zombie. Miras di banyak tempat. Perkelahian tercipta dimana-mana, seperti orang di terminal pasar setelah acara goyang. Malam panjang seperti orang saling jaga untuk berkelahi. Bermula alkohol, semua berpikir jagoan.
Malam panjang, seakan kapal disandera para pemabuk berat alkohol. Pemuja alkohol. Orang-orang sadar hanya menonton mereka berkelahi di dunia mereka. Mereka (para miras) adalah anak-anak muda Papu usia sekolah, usia produktif. Diantara pria, ada beberapa wanita duduk miras dengan gelas takaran aqua gelas, merokok, asapnya malambung ikut angin. Mama jualan tidak fokus untuk menjual. Beberapa kali perkelahian terjadi depan jualan. Salah satu mama menjadi orang tua mereka, menjaga ketat orang-orang mabuk. Beberapa kali dia (mama) amankan kedua belak pihak yang siap berkelai. Dia menampar keras dengan kata, ”kalian stop!!!”
Salah satu pemabuk ingin melompat keluar, mama berlari cepat dan menahan dengan ketakutan. Mama menampar lagi, beberapa kali agar tenang, tidak onar. Mama ini seperti seorang mama yang menjaga anak-anak kandung, tapi begitulah mama Papua di Papua. Mama-mama berjualan marah karena mengganggu jualan. Mereka berkelahi ulang-ulang depan jualan noken dan makanan ringan. Mama Papua penuh sabar; mengganggapnya keributan para miras layaknya dirumah. Keluarga. Pemuda Papua yang kurus ingin berkelai karena dorongan miras yang kuat. Berpikir dirinya monster, realitas jauh dari mirip, hanya pria pendek kurus yang sekali pukul, bisa hilang sadar. Kondisi yang menyedihkan bagi orang lain, depan suku lain. Mama-mama depan jualan mungkin malu.
Mama berbaju batik hijau mengawasi orang-orang yang diperbudak alkohol, mama seperti satpam diatas kapal. Ketika jualan terganggu, mama turun dengan tindakan seperti pria yang kuat, tegas. Dia (mama) memukul lelaki hitam kurus yang sudah mabuk patah, pria itu jatuh terletak. Dia (pria) berdiri tanpa perlawanan fisik. Pemuda itu seperti paham kalau Dia salah dan mama menjaga mereka depan suku lain, di Papua, menjaga rumah dan isinya adalah lebih banyak mama. Terlihat mama tidak ingin malu depan penjual mama dari suku lain.
Pagi jam 10, dek tujuh agak sepih; tenang dari pemuda Papua yang suka berkelahi karena alkohol, mungkin mereka sedang tidur karena capeh miras. Sebelum kapal bersandar di dermaga tujuan kami, dua pemuda berkelahi di dek tujuh depan, memecah kesunyian tadi. Perkelahian tidak usai sepanjang naik kapal dari dermaga Nabire hingga tiba di dermaga Jayapura.
Mama batik hijau tadi, masih penjaga pemuda Papua yang miras diatas kapal. Siang hingga pagi. Kapal kita sudah bersandar, mungkin mama senang; sudah tidak ingin melihat pemabuk terus berkelahi sepanjang hari dan malam diatas dek tujuh. Mama tidak ambil peduli dengan jualan yang belum laku diatas kapal; yang penting mama tidak melihat lagi pemuda Papua yang terus berkelai karena alkohol dalam tubuh, apalagi salah satu dari mereka hampir melompat ke lautan.
Mama tidak tega melihanya, Ia berlari menyelamatkan pria pemabuk itu. Apapun karakter pemuda Papua, mama punya kadar cinta selalu sama warna. Mama punya doa tidak selesai sepanjang pemuda Papua melihat sinar pagi. Cinta mama tidak usai walaupun mama sudah turun dari kapal meninggalkan para pemabuk yang suka berkelahi. Mama sudah memberikan pelajaran hidup; manusia sangat penting apapun kondisinya. Harapan Mama Papua selalu indah pada waktunya.
“Selamat siang jam dua belas lewat lima belas,” (pikir Mama setelah kapal berhasil sandar kanan dan mama turung)