FAKFAK, majalahkribo.com – Kasus dugaan penggelapan dana bantuan biaya hidup mahasiswa penerima Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADiK) di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, kini memasuki babak baru. Seorang oknum aparatur sipil negara (ASN) wanita berinisial R, yang bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Fakfak, diduga menggelapkan dana beasiswa senilai sekitar Rp400 juta.

Dugaan tersebut mencuat setelah sejumlah mahasiswa penerima beasiswa tidak menerima dana yang seharusnya sudah dicairkan. Kecurigaan bermula dari salah satu mahasiswa yang memiliki kerabat di bagian keuangan dan melakukan pengecekan terhadap status pencairan dana. Hasilnya, diketahui bahwa Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) telah diterbitkan oleh Bank Papua sejak awal Juli 2025.

Ironisnya, saat dikonfirmasi, R mengaku bahwa dana tersebut telah raib karena ia menjadi korban hipnotis. Namun, alasan tersebut tidak serta-merta diterima, dan justru memicu pertanyaan serta desakan agar kasus ini diusut tuntas.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdikpora Fakfak, Mansur Ali, S.Pd., menyampaikan bahwa kasus ini telah resmi dilaporkan ke Inspektorat Kabupaten Fakfak pada 8 Agustus 2025. Ia menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan kasus ini secara transparan.

“Hak orang tetap hak orang. Tidak boleh ditunda atau dialihkan. Semua penyalahgunaan keuangan harus dibersihkan,” tegas Mansur pada 15 Agustus 2025.

Salah satu mahasiswi penerima beasiswa ADiK asal Fakfak, Alya Fara Khusnul, mengaku sangat kecewa dan menjadi korban langsung atas dugaan penggelapan ini. Ia berharap pemerintah segera menuntaskan kasus tersebut agar hak-hak mahasiswa bisa dipenuhi.

Kasus ini mendapat perhatian serius dari Solidaritas Guru Asli Papua (SiGAP) Kabupaten Fakfak. Ketua Umum SiGAP, Kristina Maridang Kabes, S.Pd., menyatakan bahwa dana ADiK merupakan bagian dari Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan menjadi hak konstitusional anak-anak asli Papua.

“Beasiswa ADiK adalah napas tambahan bagi anak-anak kita di tanah rantau. Mereka gunakan dana ini untuk makan, membayar kos, membeli buku, dan biaya hidup lainnya. Kalau dana ini disalahgunakan, lalu anak-anak ini mau jadi apa? Ini bukan sekadar uang, ini masa depan yang dirampas,” ujarnya.

Kristina menolak keras alasan “terhipnotis” yang digunakan oleh terduga pelaku.

“Uang ini milik anak-anak Papua. Menyalahgunakannya berarti mengkhianati mereka dan merampas hak pendidikan yang dijamin oleh negara,” tegasnya.

Sekretaris Jenderal SiGAP Kabupaten Fakfak, Ferdinand Nauw, M.Pd., juga memberikan tanggapan serius atas kasus ini. Ia menyatakan apresiasi atas langkah cepat yang diambil oleh Plt Kepala Disdikpora yang hanya dalam waktu empat hari setelah dilantik langsung menindaklanjuti temuan ini.

“Kami mengapresiasi langkah cepat Plt Kepala Dinas. Namun, penegakan disiplin internal saja tidak cukup. Proses hukum harus berjalan tuntas, transparan, dan jangan sampai ada kesan kasus ini hilang di tengah jalan,” tegas Ferdinand saat dihubungi via telepon.

Mahasiswa penerima beasiswa berharap agar dana yang semestinya mereka terima segera disalurkan, dan proses hukum terhadap dugaan penggelapan ini dapat dilakukan secara terbuka dan profesional.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi pemerintah daerah, khususnya Disdikpora Fakfak, dalam menjaga kepercayaan publik serta memastikan bahwa dana pendidikan benar-benar sampai kepada yang berhak. Masyarakat kini menanti kelanjutan proses pemeriksaan oleh Inspektorat dan aparat penegak hukum.

Share this Link

Comments are closed.