Papua sudah tidak pernah lepas dari pendudukkan pasukan keamanan polisi dan tentara Republik Indonesia. Ini sebuah pendekatan negara menangani Papua secara militer. Tidak pernah ada pilihan peraktek memilih dan mengedepankan pendekatan humanistik dan dialogis yang bermartabat. Sebagai upaya menuntaskan berbagai problem yang menumpuk dan masih mengharapkan penyelesaian utuh dan tuntas untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Sejak pukul malam tanggal 21 Maret 2024 melalui dua video yang dibagikan dalam WhatsApp Grup yang saya sudah bergabung sebelumnya, mengagetkan perilaku pelaku yang kejam dan rasis terhadap orang asli Papua. Mencermati rekaman video tersebut, yang kurang lebih 16 detik dan 29 detik, adanya peraktek kekerasan terhadap salah seorang asli Papua. Ia di isi dalam satu drum berwarna biru berisikan air. Diperkirakan lebih dari sepuluh pelaku berpakaian celana panjang TNI dan kaos Yonif Raider 300, berpegang sarung tangan hitam dan bertangan pisau sangkur. Menurut informasi sementara dan sesuai siaran pers hasil investigasi sementara Paham Papua menyebutkan, dugaan pelaku adalah sutuan TNI AD non organik dari satuan Yonif Raider 300/Brawijaya yang bertugas di Puncak, Provinsi Papua Tengah.

Selain penyiksaan dalam drum, ada juga dua orang lainnya (seperti dilansir dalam media BBCNewsIndonesia, 2024) yang bersama-sama sedang berada di lokasi kejadian penyiksaan. Kedua orang belum ada kejelasan mendapatkan adanya praktek penyiksaan, karekan belum ada rekaman dokumentasi yang persis. Akan tetapi diduga kuat, ada mode kekerasan serupa yang disodorkan pelaku kepadanya. Ini bisa ditelisik dari korban kekerasan yang dihadapkan pada aktor kekerasan dalam satu ruang dan waktu yang sama.

Sementara bulan sebelumnya, Februari 2024 diviralkan foto melalui media sosial (WhatsApp Grup yang sudah saya bergabung) yang merekam dua anak SMP diinterogasi dan disiksa di Kali Brasa Dekai Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan. Mereka diikat leher dengan tali, dipaksakan merayap, dipukul mukanya hingga darah. Selain mereka berdua, ada salah satu lainya ditembak mati, dipotong kakinya bagian pergelangan di Kali Brasa Dekai Yahukimo. Sedangkan pelaku yang melakukan kekerasan, menurut foto yang terekam, diduga TNI yang berpakaian seragam lengkap dengan senjata, yang bertugas di Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan.

Kekerasan yang terpotret ini berjalan dalam dua bulan dimana berjalan dalam suasana pesta pemilu di seluruh Indonesia. Wilayah lain, Indonesia tengah hiruk-pikuk dengan panggung pemilu. Papua dihadapkan dengan peraktek kekerasan militer dan kampanye dokumentasi kekerasan yang ditonjolkan melalui video. Fenomena pembedaan ini menerjemahkan, penanganan Papua dengan militeristik dan penanganan lain Papua dengan non militeristik. Pendekatan militer tetap dinominasikan sebagai pilihan utama untuk melakukan operasi-operasi militer di Papua.

Kekerasan Struktural, Sistemik dan Massif

Penduduk pasukan militer tidak berjalan tanpa dukungan kekuasaan dan penguasa negara. Karena negara menugaskan militer sebagai alat kekerasan bertugas mengelola kekerasan negara. Negara menempatkan pasukan militer dengan alasan menumpasnya gerakan tentara pembebasan nasional Papua Barat (TPNPB) organisasi Papua merdeka (OPM). Karena itu, korban kekerasan didalilkan dengan anggota TPNPB-OPM. TNI berkeras pada tuduhan mereka bahwa Defianus dan dua laki-laki Papua lain yang mereka tangkap—Alpius Murib dan Warinus Kogoya—adalah milisi pro-kemerdekaan. Usai penyiksaan itu, Defianus dan Alpius dilepaskan. Kepolisian menyatakan bahwa mereka adalah warga sipil (BBCNewsIndonesia.com, 2024)

Kekerasa terhadap masyarakat sipil Papua, tidak lepas dari pendudukkan pasukan militer di Papua. Pelaku kekerasan di puncak, menurut informasi investigasi awal yang ditemukan sejumlah organisasi paham Papua, organisasi kemanusiaan ataupun lembaga kemanusiaan termasuk komisi nasional hak asasi manusia republik Indonesia, menduga TNI non organik dari Kodam III Siliwangi Yonif 300 Raider Brawijaya. Satuan TNI non organik ini bukan lagi hoknum personal yang diluar dari kontrol kekuasaan institusi militer, yang selalu dan harus tunduk dibawah komando kemiliteran.

Dugaan pelaku tersebut justru mendapatkan tudingan dan penggiringan opini melalui narasi-narasi proteksi dari petinggi militer. Seperti dilansir seputarpapua.com bantahan pun dikeluarkan Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen Izak Pangemanan , “Itu tdk benar. Selama Satgas Yonif 300 bertugas di Ilaga, hubungan mereka dengan masyarakat sangat baik. Tidak pernah ada keluhan perilaku keras terhadap masyarakat,” katanya ketika media dikonfirmasi, pada Jumat (22/3/2024) siang.

Pernyataan pangdam tersebut, dinilai hanya menyuburkan tindakan kekerasan pelaku dibawa perlindungan narasi kekuasaan. Kerapkali pernyataan semacam ini dimunculkan untuk menyelematkan tindakan kekerasan militer yang beraksi di lapangan.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai bahwa pernyataan itu hanya menutupi bukti kekerasan dan melindungi pelaku sebagai bawahannya. “Bantahan Pangdam Cendrawasih adalah contoh pernyataan yang terkesan menutupi. Reaksi ini bisa membuat bawahan merasa dilindungi atasan saat terlibat kejahatan” seperti dilansir pada amnesty.id, pada 23 Maret 2024.

Semakin berkembang dan respon isu tindak kekerasan itu justru memancing amarah masyarakat sipil dan pemerhati sejumlah pihak. Banyak pihak menyoroti dan protes melalui aksi demontrasi dari organisasi dan masyarakat sipil di Papua. Publik dan masyarakat sipil mencermati kasus kekerasan itu sebagai satu sampel yang selama ini belum terdokumentasi melalui video yang berisikan penganiayaan. Oleh karenanya dalam aksi demontrasi protes kekerasan tersebut, ikut protes kekerasan lainnya, yang menerangkan sebagai sesuatu tindakan kebiadaban yang selama ini terus ditunjukkan dan dilakukan militer Indonesia.

Narasi pangdam cenderawasih yang kelabui tindak kekerasan bawahan yang beraksi di lapangan itu kemudian diubah dan mengakui adanya. “Saya sebagai Pangdam dan TNI AD mengakui bahwa perbuatan ini tidak dibenarkan. Perbuatan ini melanggar hukum dan mencoreng nama baik TNI. Perbuatan ini juga mencoreng upaya penanganan konflik di Papua. Saya minta maaf kepada seluruh masyarakat Papua. Kami akan terus bekerja agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa mendatang,” kata Izak dalam konferensi pers di Jakarta, pada Senin 25 Maret 2025.

Meskipun dalam keterangan konfrensi pers petinggi militer Indonesia mengklaim, perbuatan kekerasan aparat militer tanpa mematuhi hukum hak asasi manusia bukan sebagai perwakilan perilaku aparat militer Indonesia di Papua. Perbuatan kekerasan dan peraktek tindak kekerasan tanpa mematuhi hak asasi manusia justru ada keterhubungan dengan narasi-narasi perintah meskipun dalam tempat kejadian peristiwa di lapangan tidak nampak. Seperti ditelusuri wartawan BBCIndonesianews, Abraham Utama, ditemukan ada semacam perintah pemimpin militer kepada satuan Yonif 300 rider Bra Wijaya dalam beberapa waktu kurang lebih 10 bulan sebelumnya.

“Kamu kalau menghadapi situasi terjepit apapun, kamu harus berani. Kamu tembak, jangan ragu-ragu. Kamu jangan takut dengan masalah-masalah pelanggaran HAM,“ kata Jenderal Dudung Abdurachman, pada 11 Mei 2023 di Cianjur, Jawa Barat.

“Tong ngerakeun urang Sunda. Tong sieunan maneh diditu. Tong jadi ayam sayur,“ kata Dudung. Perkataan dalam bahasa Sunda itu berarti “Jangan bikin malu orang Sunda. Kamu jangan jadi penakut di sana. Jangan jadi ayam sayur.“

Penyampaian itu dikeluarkan sebagai pesan kepada satuan prajurit Batalyon Infanteri 300 Bra Wijaya yang akan ditugaskan di kabupaten Puncak. Sementara Dudung sedang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat sipil Papua itu adalah prajurit yang sebelumnya dipesan Dudung. Meskipun pesan semacam itu dikeluarkan, dapat dibantah Juru Bicara Markas Besar TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, membantah bahwa pernyataan Dudung menjadi salah satu pendorong prajurit Yonif 300 Braja Wijaya melakukan penyiksaan. “Tidak benar,“ ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Main Hakim Sendiri karena Rasialis

Menyimak video berdurasi 29 detik adanya kekerasan terhadap masyarakat sipil di Puncak, ada ungkapan-ungkapan yang rasialis dan kejam. Sambil tinju, TNI menyamakan tubuh dan harga diri manusia dengan penyebutan binatang. Salah satu antara banyak prajurit TNI mengujar dengan nada “anjing, anjing balik mukamu anjing”. Selain itu, pelaku yang berpegang pisau sangkur yang sedang mengiris tubuh bagian belakang, mengatakan dengan nada yang seolah daging santapan diiris-iris, “enak e”.

Sementara foko dokumentasi yang di Yahukimo memperlihatkan dua orang asli Papua, tangannya diikat dan ditarik. Mereka dipaksakan merayap dan berjalan dengan posisi tubuh tidur. Mereka melewati pinggir kali yang dipenuhi batu dan pasir, juda tidak dipungkiri dibawa kayu yang melintas. Mereka ditundukkan dibawah tindakan dan perlakuan yang keras dan menekan harga diri korban.

Perlakuan dan penanganan TNI, sudah jadi sebuah pendekatan klasik untuk menanggapi dugaan-dugaan pelaku yang mereka capkan sebagai data pencarian selama ini, yakin TPNPB-OPM. Penyebutan TPNPB-OPM tidak lebih dari alasan pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan. Oleh karena, sekalipun masyarakat mendapatkan tamparan kekerasan yang serupa. Karena dalam penanganan perkara selalu beraksi kekerasan tanpa ada tindakan hukum yang harus mengendepankan dan diutamakan. TNI main Hakim sendiri, tidak menangani dengan menerapkan asas Pra Duga Tak Bersalah, yang diatur dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP dan pada Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, selain itu termasuk dalam Pasal 18 ayat (1) UU HAM (hukumonline.com)

Kekerasa main Hakim sendiri ini dimungkinkan ada dua basis asumsi. Pertama, TNI belum memiliki pengetahuan hukum dan ham yang cukup dan menomorsatukan dalam menangani kasus-kasus di Papua. Sehingga dalam ketidaktahuan, mereka bertindak sekehendaknya. Kedua, TNI dengan sikap dan pemikiran arogansi yang kental dengan bernuansa rasialis, sehingga orang asli Papua dijadikan hewan percobaan melampiaskan hasrat kekerasan. Dua asumsi ini manakala dikontestasikan dalam judul bukunya, alm Filep Karma aktivis Papua, Kitong Setengah Binatang. Maka Asumsi poin kedua dibenarkan. Ini justru menjustifikasi pemikiran rasis yang akhirnya memandu alat kekerasan negara, bertindak meminggirkan kedudukan harga diri dan martabat manusia Papua.

Pandangan Hukum

Tindak kekerasan sudah diatur dalam berbagai rumusan, deklarasi dan instrumen hukum. Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia tahun 1975. Pasal 1, ayat pertama menerangkan, Penyiksaan merupakan suatu bentuk perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan dilakukan secara sengaja dan kejam.

Lebih lanjut dalam pasal 2 menjelaskan setiap tindakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia dan akan dikutuk sebagai pengingkaran terhadap tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dinyatakan dalam  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Selain itu, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia tahun 1984 (Convention Against Torture /CAT) dan mengatur dalam statuta Roma. Kemudian Indonesia meratifikasi melalui UU No 5 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, tidak manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Terlepas dari itu, diatur juga dalam UU No 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut pasal 1 Ayat 4 menerangkan, Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmasi maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh

pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau

untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.

Menurut Amnesty Internasional Indonesia seperti dijelaskan dalam alaman Amnesty.Id bahwa tindakan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah tindakan yang dilarang secara hukum. Tidak ada pembenaran apa pun untuk penyiksaan. Termasuk upaya untuk melakukan penyiksaan, serta tindakan keterlibatan atau partisipasi dalam penyiksaan, membantu negara lain untuk melakukan penyiksaan, atau kebijakan dari pejabat publik untuk menghasut, menyetujui, atau menyetujui penyiksaan, juga dilarang.

Negara punya mekanisme hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku untuk melakukan tindak tegas terhadap pelaku korban kekerasan. Oleh karenanya, pelaku yang diduga TNI AD Non Organik Kodam III Siliwangi Yonif 300 Rider Bra Wijaya, dilakukan tindakan pembuktian secara tepat dan imparsial. Negara, sesuai dengan kewenangan untuk menegakkan hukum, wajib melindungi warga dari kekerasan, dan mencegah terjadinya kekerasan di waktu mendatang berulangnya pelanggaran HAM.

Dengan penjelasan yang ditunjukkan di atas, maka negara dengan segala kewenangan dan prosedur hukum yang ada, segera harus melakukan tindakan investigasi yang tepat, benar, imparsial dan transparansi. Ketika terbukti adanya penyiksaan, baik kasus Kekerasan yang terjadi di Puncak ataupun Yahukimo, segera menindak tegas, segera memberikan hukuman yang setimpal. Sedangkan dua siswa SMP di Yahukimo yang ditahan Polda Papua, harus dibebaskan karena mereka belum terbukti, secara fakta dan data yang tidak dapat dibuktikan.

Negara berkewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi rasa keadilan bagi korban tindakan kekerasan.

Dugaan pelaku kekerasan adalah TNI non organik yang bertugas dengan dukungan kebijakan operasi militer, maka negara berhenti penyaluran dan ekspansi pendudukkan militer di Papua. Satuan-satuan militer non organik segera ditarik kembali karena justru menghadirkan situasi kemanusiaan yang mengganggu naluri kemanusiaan. Bahkan sampai kini upaya penanganan dengan pendekatan militer tidak menghadirkan kepuasan terhadap kebebasan masyarakat sipil di Papua. Keamanan sipil semakin sempit dan meningkatkan angka kekerasan yang termasuk dalam rekaman jejak kekerasan negara melalui fasilitas aparat militer Indonesia.

Oleh: Marselino W Pigai

Penulis adalah aktivis Papua dan mantan koordinator Amnesty Internasional Chapter Universitas Papua periode 2021-2023

Share this Link

Comments are closed.