Share

REFLEKSI – Saya hanya kenal suaranya melalui lagu-lagu yang Imanuel Waromi nyanyikan. Tidak pernah saya duduk berdiskusi atau sekedar kenal. Bagi saya, hal yang luar biasa ketika melihat anak Papua membawakan lagu-lagu Papua dengan vokal internasional, apapun lagunya  yang Imanuel Waromi sampaikan, selalu enak didengar.

Foto Imanuel Waromi di teluk Port Numbay, terlihat mereka sedang pulang dari Pantai Base-G, usai duduk bersama teman-temanya, di sana mereka bernyanyi lagu ”Kayu Batu Urefang” (Rio Grime), “Apakah Tanah Ini Awalnya Eden” dan “Percuma” (DXH) Imanuel Waromi bernyanyi dan teman-temannya bermain Ukulele, Gitar dan Tifa.

Pasir yang putih, bukit yang hijau di tepi batu dan angin yang hampir merobek baju mereka terlihat sangat akrab, seakan semua hal yang ada di lingkungan mereka bernapas dalam lirik, beat dan suara Imanuel Waromi yang menyempurnakan suasana.

Mungkin, Imanuel Waromi berpikir, itulah eksistensi Papuakustik yang  keluar dari ratapan alam, manusia dan sejarahnya, yang ditanamkan oleh Mambesak 1978. Sebenarnya, Imanuel Waromi mampu bersain dalam dunia vocal dan meraih juara apapun.

Tetapi saya tidak tahu, kenapa Imanuel Waromi memilih musik tradisional dan lirik lokal menjadi dirinya? Mungkin dia pernah cerita pada teman-temanya di Pantai dan Gunung sebelum mereka bernyanyi? Entahlah.

Setelah pesisir pantai dengan beberapa lagu, saya bertemu Imanuel Waromi di antara tumbuhan hijau, pohon dan angin yang menyengat semua yang ada di atas gunung. Dia duduk seperti di Pantai Base-G, di antara teman-temanya yang memainkan ketukan akustik dengan wajah-wajah yang serius.

Suara emas dengan lagu ”Kehidupan Misteri” (Arnold App) membuat perenungan yang dalam, tenang pada raup wajahnya, cahaya matahari teduh, angin tampak kencang, seakan angin memiliki emosional, akan mereka tahu, Imanuel Waromi akan menjadi angin lebih dahulu dari teman-temanya.

Dia akan terbang pergi tinggalkan Papua yang dia cinta dengan cara memilih beat dan lirik sebagai kehidupan yang misteri. Tentu, teman-temanya akan rindu ketika mereka harus bermain Tifa, Ukulele dan Gitar di Pantai dan Gunung tapi suara Imanuel Waromi tidak lagi melengkapi petikan musik mereka.

Beberapa lagu diletakkan dalam kenangan, saat ujung bumi masih senja dan langit masih putih, mereka masih di atas gunung hingga malam datang menyalakan lampu kota Jayapura di kejauhan. Imanuel Waromi tarik suara emasnya ketika melodi gitar memberi kode.

Lagu dinyanyikan Imanuel Waromi sambil menutup mata; terasa makna lagu paling dalam,”Jauh di Mata Dekat di Hati” (Black Brothers) itu lagu saat Imanuel Waromi tidak lagi bersama teman-teman untuk bernyanyi lagi di bibir Pantai dan di atas Gunung.

Terakhir kalinya, Imanuel Waromi sudah bernyanyi di Pantai dan Gunung. Dia mengajak teman-temanya generasi muda Papua pergi ke Pantai dan Gunung. Saya pikir, itulah pesan terakhir Imanuel Waromi sebelum dia pergi dari teman-temannya, menjadi pesan terakhir yang disampaikan dengan simbolis”Persatuan”

“Hidup ada di sini, di dapur Papua, suara yang lahir dari mama Papua, tidak ada nilai yang perlu dipertanyakan tentang standar Nasional atau internasional. Kita (Papua) adalah musik tradisional untuk alam Pantai dan alam Gunung. Kita hanya satu di atas tanah ini, semua orang dilahirkan sama.”

Mungkin Imanuel Waromi pernah berpikir dalam hati sebelum mengajak teman-teman pergi ke Pantai dan Gunung untuk duduk bernyanyi hingga angin datang membawa gelap dan akhirnya, Imanuel Waromi berpisah dengan teman-temannya karena Tuhan membuka pintu firdaus.

(Nomen Douw)

Comments are closed.