CERPEN – Pagi dikagetkan dengan berita kematian seorang wanita yang gantung diri di kamar hotel 101. Mahasiswa S2 antropologi asal Papua di hotel Renesse Belanda. Malam Defe sudah mengirim dokumen Rene Wassing ke Gilbert melalui email.

Dokumen berisi nama Rene Wassing; pria asal Belanda yang ikut dalam tim expedisi antropologi ke Wamena hingga berakhir di pesisir laut Asmat bersama teman antropologi Michael Rockefeller_sebagai ahli perekam dan Rene Wassing sebagai juru potret.

Ada dokumen ditulis dengan bulpoint bertinta hitam tebal. Ada juga ditulis keyboard komputer_ada satu surat perintah dengan logo bendera Amerika Serikat dan Central Intelligence Agency ( CIA). Isi surat diperintah ke Papua dengan mematuhi beberapa poin khusus.

“Dokumen itu jaga baik Gilbert, publikasikan segerah ke orang-orang Papua. Sepertinya sa tidak akan pulang ke Papua sayang. Sa minta maaf. Sa sayang ko Gilbert,” tulis pesan yang telah terkirim pukul 02:40 WIT kepada Gilbert melalui email.

Pagi Gilbert baca di kamar kos Depok Jakarta Selatan. Gilbert calon suami Defe. Mereka berpacaran 10 tahun. Gilbert dan Defe berpisah karena kuliah setelah Defe lulus beasiswa luar Negeri ke Belanda.

Dosen Aryo Danusiri, Ph.D sudah dalam ruangan. Kuliah sudah di mulai. Gilbert terlambat 30 menit karena membaca dokumen yang dikirim Defe dari Belanda. Berita duka yang mengentarkan jiwa Gilbert, cinta Defe bunuh diri di kamar hotel. Jasadnya bergantung dengan tali nelon putih tebal.

Gilbert ditelfon beberapa kali oleh keluarga Defe saat berjalan menuju fakultas antropologi masuk kuliah. Langkah Gilbert berat. Jiwa tiba-tiba keluar saat dia dengar berita duka. Gilbert tetap melangkah hingga di ruang kuliah dengan jiwa yang berusaha mengendalikan dengan pikiran.

Defe wanita yang Gilbert kenal waktu masih duduk di sekolah menengah atas (SMA) di Jayapura Papua. S1-S2 bersama di Jakarta_lalui suka dan duka bersama mama kota Indonesia hingga mereka berpisah karena bersama sepakat lanjut S3. Gilbert dan Defe ikut tes beasiswa Studeren in Nederland (STUNED) untuk S3 ke Belada.

Gilbert menyukai senyum Defe yang manis. Sulit untuk Gilbert melupakannya senyumnya, selalu terbawa kemanapun pergi. Defe wanita pertama yang mencuri hati Gilbert. Bagi Defe juga sama, Gilbert orang pertama yang menyentuh seluruh jiwanya.

Berpisah setelah tiga bulan menunggu pengumuman hasil tes keluar di Jakarta. Gilbert tidak lolos. Hanya Defe. Defe berangkat tanpa Gilbert. Berjanji di bandar udarah Soekarno Hatta dengan pelukan yang tidak ingin berpisah. Entah kapan bertemu lagi.

Defe harus berangkat untuk meringankan beban orang tua untuk biaya S3; akan saling menunggu setelah janji fokus kuliah sampai selesai. Gilbert lanjut S3 di Universitas Indonesia (UI) dengan biaya orang tua yang sudah bekerja di Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Provinsi Papua Tengah.

“Gilbert kamu dua baku marah ka?” tanya keluarga Defe melalui sambungan telfon dari Papua.

“Sumpah tidak pernah. Kemaring kita dua baku telfon baik-baik,” jelas Gilbert tidak ada masalah dengan Defe.

“Tapi kenapa dia bisa bunuh diri gantung diri begitu? pasti ko ada masalah dengan dia, ko jujur saja, ko bikin apa dengan Defe?” kata menuntut keluarga Defe dengan suara tinggi bergetar sedih. Semua dalam telfon bersuara sumbang kata. Marah kepada Gilbert. Keluarga Defe mencurigai Gilbert penyebab utama Defe bunuh diri.

“Sa tidak tau, kami baik-baik saja. Sa kaget dengar Defe bisa begitu, sumpah!!. Tante, Defe itu sa sayang dia sekali. Sa juga terluka sekali, sakit hati!!!” balas Gilbert menutup telfon bercucur air mata. Pertama kali Gilbert menanggis sedih.

Duduk diruang kelas, seperti Gilbert bukan ada dalam ruangan mendengarkan materi. Gilbert benar-benar ada diruang lain. Ruang yang penuh dengan caruk-maruk rasa dan warna.

Gilbert izin pulang dari kampus dengan alasan sakit. Kos yang Ia tempati tidak jauh dari kampus. Hanya 100 meter. Sepanjang jalan Gilbert berpikir tentang dokumen Rene Wassing yang dikirim Defe.

”Semoga sa mampu buktikan tentang dokumen itu. Semampu sa, sa akan cari tau tentang kematian cintaku Defe,” janji Gilbert pada diri sendiri dalam hati.

Melangkah dengan berat. Gilbert mendekati lorong jalan diantara rumah warga. Lorong yang tembus hingga pintu pagar kos. Gilbert langsung melempar badan diatas kasur setelah membuka pintu kos.

Dalam alam pikir Gilbert, seperti terjadi keributan yang hebat; Ia memikirkan Defe tentang keputusan bunuh diri. Apa yang dipikirkan Defe? Gilbert jauh mengenal Defe. Gilbert melihat ada sesuatu yang ganjal dari waktu Defe mengirim Dokumen dan waktu Defe mati bergantung diri.

Gilbert bangun dari tidur yang gelisah_duduk membuka leptop. Mulai mempelari tentang dokumen hilangnya Michael Clark Rockefeller di Asmat Papua, dan beberapa catatan Rene Wassing yang dikirim. Gilbert mendapati surat elektronik dan beberapa buku. Gilbert benar-benar memburu informasi dan data.

Handphone (HP) berdering diatas meja belajar Gilbert, kamar kos. Setelah menarik napas panjang Gilbert merespon.

“Ipar Gilbert, Defe kenapa ka?” tanya Ani dengan nada suara tinggi, teman dekat Defe yang tinggal di Papua. Ani, wanita cerewet yang suka menolong orang lain. Gilbert kenal Ani karena Defe.

“Sa juga tidak tau ipar, sa juga kaget Defe dia begitu. Semua keluarga juga tanya seperti yang ko tanya ini. Mereka curiga sa yang bikin Defe begitu. Padahal kami dua baik-baik saja. Sa juga ada sakit hati sampe sa bolos dari kuliah ini,” jelas Gilbert, matanya berkaca sedih sambil berdiri depan jendela kos. Gilbert pria gunung Papua berhati lembut dengan pikiran yang keras, sulit dipengaruhi dan rasional, Gilbert suka belajar dan suka treveling.

“Wajar mereka bilang ko begitu Gilbert, dong hanya tau kamu dua to,” balas Ani.

“Truss sa harus apa ipar?!” tanya Gilbert gelisa tidak terima tuduan dari keluarga Defe.

“Terus kenapa Defe bunuh diri Ipar? Buktikan coba. Kalau tidak, ipar ko yang bikin Defe bunuh diri,” balas Ani minta Gilbert buktikan alasan Defe gantung diri.

“Ok, nanti sa cari tau, tapi kamu ingat e, sa tidak bikin Defe seperti yang kamu pikir itu. Kamu stop tuduh sa. Nanti kamu lihat saja, sa akan buktikan suatu saat nanti,” balas Gilbert dengan emosi bercampur sedih mematikan komunikasi dengan Ani. Kepala Gilbert tiba-tiba berat karena emosi_membuang badan diatas kasur tidur tebal.

”Adohh…. kimai seh!!!!” teriak Gilbert keras genggam rambut keritingnya.

Hiruk piruk kota depok mengurung Gilbert dalam kosnya. Satu minggu hanya dalam kos. Gilbert mempelari hilangnya Michael Rockefeller dan dokumen Rene Wassing yang dikirim Defe tengah malam. Pagi berita kematian Defe di kamar hotel 101 Renesse Belanda.

Gilbert alisa catatan Rene Wassing_teman Michael Rockefeller yang ikut dalam tim ekspedisi antropologi ke Wamena Papua. Perjalananya berakhir di perairan tepi Asmat Papua.

Gilbert mencatat beberapa poin penting. Kesimpulanya Gilbert harus pergi ke Asmat bertemu masyarakat asal kampung Otsjanep. Kebetulan bertepatan dengan penyusunan tesis doktoral. Gilbert akan meneliti misteri hilangnya Michael Rockefeller dan dokumen baru Rene Wassing yang berhasil ditemukan Defe di Belanda.

Gilbert anak tunggal dalam keluarga mereka. Bapaknya kepala dinas Pariwisata di Kabupaten Nabire Papua. Gilbert anak muda Papua yang agak berbeda dengan kebanyakan anak-anak muda Papua. Gilbert pria yang bertanggungjawab dan berjiwa sosial.

Gilbert suka belajar semenjak sekolah dasar (SD). Harapan bapaknya Gilbert harus menjadi doktoral Antropolagi seperti Dr. Benny Giyai_menulis tentang manusia Papua dengan perspektif satu bangsa yang memiliki hak yang sama seperti bangsa lain.

“Kamu serius mau ke Papua untuk tesismu Gilbert?” tanya Dr. Dian Sulistiawati, dosen pembimbin Gilbert di ruang dosen yang dingin berace.

“Serius Pak. Saya ingin mendalami misteri hilangnya Michael Clark Rockefeller di Asmat,” balas Gilbert meyakinkan dosen pembimbinnya untuk berangkat ke Asmat.

“Okey baiklah, kamu boleh pergi,” balas Dosen izinkan Gilbert berangkat.

“Besok saya cari tiket dan berangkat Pak,” balas Gilbert.

“Okelah Gilbert. Selamat menikmati perjalanmu. Sampai ketemu kembali. Ingat ikuti metode untuk pengambilan data dilapangan,” jelas Dosen mengingatkan Gilbert. Dosen Dr. Dian Sulistiawati cukup akrap dengan Gilbert semenjak tatap muka pertama ruang kuliah.

“Okey Pak, makasih. Saya akan telfon bapak jika perlu,” jelas Gilbert sambil berdiri tinggalkan ruang dosen.

“Okey, hati-hati,” tutup dosen. Gilbert tinggalkan kampus. Keluar dari wilayah Universitas Indonesia (UI). Gilbert pulang seperti hari-hari Ia pulang setelah kuliah. Gilbert berjalan santai gendong tas favorit berwarna hitam berisi buku bacaan antropologi dan buku catatan kuliah.

Bersabar dua hari menunggu uang tiket dari kedua orang tua di Nabire. Gilbert bertahan dalam duka yang pahit. Sulit menghapus senyum manis Defe dari memory Gilbert. Defe benar-benar meninggalkan luka yang dalam bagi Gilbert. Defe wanita sedikit kurus berambut pirang ombak, berwajah pucat_penyuka buku dan gila baca. Seperti Gilbert menyukai buku dan baca juga. Banyak orang berkata, Defe dan Gilbert adalah pesangan yang cocok.

Wajah Defe terbayang-bayang dalam ingatan Gilbert. Senyumnya pada kaca taksi expres putih menatap rindu pada Gilbert. Taksi menyepi teras panjang Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta. Lion air sudah menunggu setelah Gilbert check-in. Menunggu laporan naik pesawat tujuan Merauke. Sunyi bersama dingin memeluk Gilbert di ruang tunggu.

Wajah Defe selalu datang dengan sendiri disetiap ruang kosong semenjak Defe pergi dari bumi. Seakan pikiran Gilbert memanggil setiap sunyi. Gelap pada langit melukiskan senyum Defe. Defe datang yang ketiga kalinya_seperti pada kaca mobil tadi.

Bandar Udara Mopah menyambut wajah pagi yang buram bagi Gilbert. Tapi karena Papua, Gilbert beri senyum yang tulus. Besok pagi Gilbert berangkat ke Asmat Papua. Satu hari di Merauke, Ia berkeliling mencari informasih tentang hilangnya Michael Rockefeller. Jawabanya semua sama seperti informasih yang beredar di dunia internet: Michael Rockefeller dibunuh orang Asmat dan di makan.

Gilbert semakin penasaran dengan dokumen Rene Wassing, dan apa maksud kata Defe,”Dokumen itu jaga baik Gilbert, publikasikan segera ke orang-orang Papua. Sepertinya sa tidak pulang ke Papua sayang. Sa minta maaf. Sa sayang ko Gilbert,” tulis Defe sebagai kata terakhir untuk pria yang Ia cinta sepanjang hidup di bumi.

Jam 14:35 wit, sinar matahari picah diatas udara Asmat. Tanah becek bersemboyang”Ja Asamanam Apcamar”(maju dengan keseimbangan) Gilbert melihat tulisan Bandar Udara Ewer setelah turun dari pesawat Wins Air, ”Selamat Siang Asmat,” kata Gilbert dalam hati menginjak tanah Asmat.

Dari Jakarta Gilbert sudah hubungi teman lama waktu di bangku sekolah menengah atas (SMA). Bartol. Teman kelas dan teman sebangku Gilbert. Asal pulau Biak. Bartol menikah dengan perempuan Asmat peranakan Merauke. Bartol bertugas sebagai anggota Kepolisian Indonesia selamah 6 tahun lebih di Kabupaten Asmat. Bartol menyambut Gilbert di pintu keluar kadatangan dengan senyum lebar.

“Sob (sobat) kamu sudah dimana? sa ada turun dari pesawat ini,” tanya Gilbert kepada Bartol sambil melangka ke pintu keluar.

“Sa di pintu keluar sob,” balas Bartol sudah menunggu di pintu keluar.

Lima belas tahun lebih Bartol dan Gilbert berpisah karena tujuan pendidikan. Bartol masuk Polisi setelah tamat SMA. Gilbert lanjut kuliah di Jakarta. Wajah Gilbert dan Bartol tidak banyak berubah. Gilbert dan Bartol berpelukan depan pintu keluar penumpang. Canda tawa sama seperti waktu mereka masih SMA.

“Sob tinggal di sa rumah saja, dekat saja dari sini,” ajak Bartol dari atas motor KLX hitam milik dinas Kepolisian kabupaten Asmat.

“Adoh sob maaf, Sa sudah pesan hotel lewat online tadi dari Marauke,” balas Gilbert.

“Oke tidak papa sob, hotel mana?” tanya bartol.

“Hotel Asmat Permai ,”balas Giibert memberitau nama hotel yang sudah di booking.

“Oh, hotel bagus juga itu, aman bersih. Sob punya urusan disini sa akan kawal sampe pulang dengan aman dan sukses. Sa janji sob. Berapa bulan disini sob?” jelas Bartol dengan expresi yang tidak banyak berubah seperti waktu SMA. Bartol pria bertubuh tinggi hitam. Suka buat cerita lucu (mob) waktu SMA. Bartol berjanji akan bersama Gilbert selamah di Asmat.

“Satu minggu saja sob. Yang sa cerita lewat telfon itu sudah sob. Sa mau ambil data saja. Ketemu kepala suku dan ketemu masyarakat Otsjanep. Bagimana kalau besok pagi kita gas sob?” ajak Gilbert ingin cepat dalam satu minggu. Rencana Gilbert akan ke Jayapura setelah ambil data. Bertemu dengan keluarga besar Defe.

“Ok sob aman, besok pagi sa jemput tong gass. Sa kenal kepala suku juga, nanti kita langsung ke dia rumah. Masyarakat Otsjanep juga banyak di Asmat, tapi kalau mau ke kampungnya juga tidak papa dekat saja,” jelas Bartol dengan ringan.

“Oke sob makasih, sampai besok,” balas Gilbert setelah turun depan pintu hotel. Bartol pulang gas motor dengan gaya seorang polisi sombong. Ia berhenti di pos security hotel pintu pagar. Bartol berbisik sesuatu kepada salah satu petugas security sambil wajah dan tangan menunjuk arah Gilbert depan hotel.

Malam di kamar hotel. Rumah-rumah diluar jendela semua diatas panggung. Termasuk hotel yang Gilbert menginap. Setelah makan malam berlalu, Gilbert membuka leptop. Ia kembali membaca dokumen Rene Wassing dan menulis catatan baru. Besok pagi Gilbert dan Bartol akan pergi ke rumah kepala suku besar Asmat dan berkunjung ke Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat.

Asmat telah malam. Jam 11:22 wit. Handphone berdering. Pangilan masuk dari Ani. Gilbert tarik napas dalam-dalam dengan keras sambil berkata, ”Ani mau bilang apalagi-apalagi, adohh!!”

“Hallo ipar malam,” respon Gilbert setelah meredahkan napas jengkel. Malas.

“Defe pu keluarga mau masalah dengan ko Ipar. Mereka semua tau kalau Defe bunuh diri karena ko,” jelas Ani memberitau Gilbert setelah Ani mendengar hasil kesepakatan keluarga Defe di Jayapura.

“Ani sa mau bicara apa lagi, sa sudah bilang to, sa juga ini ada sakit hati. Sa dengan Defe itu baik-baik saja, kami tidak perna ada masalah. Sa kaget dan sampai hari ini sa ada pelajari sesuatu yang mungkin sa bisa perlihatkan ke semua orang nanti,” jelas Gilbert dengan resah, menyesali tindakan keluarga Defe yang ingin urus masalah dengan Gilbert.

“Baru ipar dimana ini? suara putus-putus ini,” tanya Ani aneh kepada Gilbert.

“Sa sudah di Asmat ini, sa ada ambil data untuk sa pu tesis doktoral. Dan juga ada data yang Defe kirim yang sa curiga bisa jadi jalan masuk untuk membuktikan Defe gantung diri atau Dia di bunuh. Ipar sa bicara begini karena sa tau, Defe punya otak yang paling dalam, Defe itu perempuan nekat-nekat, sa tau ipar!!,” jelas Gilbert memberitahu alasan terselubung ke Asmat. Bukan saja untuk keperluan tesis doktoral. Gilbert tau semangat belajar Defe untuk sesuatu yang baru.

“Io, sa tau Defe juga ipar, jadi ipar curiga Defe dibunuh ka?” tanya Ani kaget dengan penjelasan Gilbert.

“Io, itu dugaan sa sementara. Nanti sa buktikan ipar, lihat saja!. Oke sudah ipar, sa tidur dulu, besok sa harus bangun pagi jadi,” balas Gilbert percaya diri.

“Io, buktikan ipar, sa mendukung ko. Info saja kalau perlu bantuan ipar. Oke selamat istrahat ipar,” balas Ani mendukung Gilbert mencari proses pembenaran dokumen Rene Wassing.

“Oke ipar,” balas Gilbert menutup telfon.

Pagi terasa cepat. Gilbert melewati malam begitu singkat. Sebelum tidur Gilbert gelisa mengingat wajah Defe yang ayu memanjakan. Seakan senyum Defe membuat Gilbert tertidur hangat.

“Gilbert…Gilbert!!!!, ayo bangun bongkar cepat, jangan lambat Gilbert sayangku, ayo, Gilbert!!!,” bisik Defe dalam telingga berulang kali. Gilbert kaget bangun dengan suara teriak.

”Defe!!!!!!” teriak Gilbert kaget bangun jam 06:01 wit.

Pagi Jam 07:00 wit. Gilbert duduk di teras, minum teh dan biskuit roma kelapa sambil Ia memikirkan mimpi malam dan metode mengumpulkan informasih tentang kematian Michael Rockefeller. Gilbert menyiapkan beberapa pertanyaan:

Apakah masyarakat Asmat pernah melihat atau mendengar tentang Michael Rockefeller? Kalau pernah, apakah Michael Rockefeller dibunuh atau hilang? Kalau tidak, bagaimana dengan informasi tentang Michael Rockefeller di makan suku Asmat yang informasinya sudah mendunia melalui buku dan dunia internet?

“Sob selamat pagi,” sapaa Bartol sudah melihat Gilbert sedang sarapan depan ruang kamar hotel dengan santai.

“Sobatku pagi. Ayo sarapan dulu,” sambut Gilbert ceriah memberi Bartol tempat duduk.

“Kita dua ketemu kepala suku Asmat dulu baru ke Museum Kebudayaan Asmat” jelas Gilbert untuk perjalanan di hari pertama.

“Oke sob aman,” balas santai Bartol sambil minum teh.

Markas Central Intellgence Agency (CIA), Langley, Virginia ramai dengan dokumen rahasia Rene Wassing yang berhasil di kirim ke atas nama email gilbert90@gmail.com oleh Defe dari Belanda. Baru ditemukan. Setelah beberapa hari ramai di kantor CIA.

Kantor BIN (Badan Intelijen Negara) Indonesia di kagetkan dengan anggota Intelijen dari Amerika (CIA) yang tiba-tiba memerintahkan kejar warga negara Indonesia bernama Gilbert. BIN perintah semua keamanan RI mengejar Gilbert di seluruh Indonesia. Tim BIN turun ke kampus UI, mengejar jejak Gilbert.

“Gilbert sudah satu minggu yang lalu berangkat ke Asmat untuk mengambil data tentang misteri hilangnya Michael Rockefeller sebagai tesis doktoralnya pak,” jelas Dosen Dr. Dian Sulistiawati kepada tim BIN di ruang dosen.

“Ini berbahaya!!!. Hubunggi Kapolda Papua, perintahkan tangkap atas nama Gilbert di Asmat,” tegas ketua tim BIN dalam ruangan dosen.

“Tolong telfon sekarang, tanya dia dimana? Beri dia waktu yang singkat untuk proses pengambilan datanya, jangan sampai Dia lari ke pelosok kampung,” perintah tegas kepada Dosen Dr. Dian Sulistiawati.

Dua hari berlalu di kota diatas papan penuh lumpur. Gilbert sudah bertemu dengan Kepala suku besar Asmat dan pengelola (kurator) Museum Budaya Asmat. Gilbert sudah memiliki data hasil wawancara yang sama sekali berbedah jauh dengan informasih yang selama ini beredar dibuku-buku, media asing di internet.

Kepala suku dan kepada badan pengelola museum Asmat meneteskan air mata sambil berkata, ”Kami tidak memakan manusia, tidak pernah masyarakat kami membunuh Michael Rockefeller, apalagi memakanya. Kami tidak pernah dengar cerita tentang Michael Rockefeller itu di Asmat sini”

“Sa dosen telfon dari kampus,” ucap Gilbert melihat handphone yang berdering di kamar hotel. Bartol sedang duduk santai isap rokok di kursi sambil otak atik handphone memantau grub whatsapp (WA) Kepolisian Daerah Asmat.

“Sob!, jangan bilang ko di Asmat,” perintah Bartol kepada Gilbert.

“Sob ini sa dosen pembimbing,” balas Gilbert santai.

“Io angkat sudah tapi kasi speaker,” balas Bartol. Dunia Kepolisian sudah ramai dengan informasih pencarian Gilbert di seluruh Indonesia. Bartol belum beri tahu Gilbert. Bartol ambigu, harus bagaimana. Menjalankan perintah Negara atau melindungi sahabat terbaik SMA.

“Siang Pak Dosen,” jawab santai Gilbert setelah merespon telfon.

“Gilbert bagaimana kabar Asmat? Sudah sampai dimana kamu ambil datanya,” tanya dosen pembimbin dengan santai diruang dosen bersama tim BIN sedang melotot mendegarkan.

Gilbert merasa aneh dengan pertanyaan melalui telfon. Biasanya Dosen tidak mungkin menelpon kecuali Gilbert menelponnya setelah chat.

“Jangan bilang ko di Asmat!!” suara bisik tegas dari Bartol setelah mendekat dekat Gilbert.

“Kasi mati telfon sekarang!!!” suara tegas Bartol sambil berdiri memerintah Gilbert.

“Keluarkan kartu dan kasi pata buang keluar jendela cepat sob,” suara cemas Bartol memerintah Gilbert.

“Kenapa Sob? ada apa ini?,” tanya Gilbert melihat tindakan aneh Bartol. Bartol terlihat kawatir dan gelisah. Ambigu dalam dua pilihan yang berat. Sahabat atau Perintah Negara.

Hari kedua Gilbert di Asmat. Bartol sudah mendengar informasi pencarian Gilbert di kantor Polisi Wilayah Asmat. Semua divisi sudah bergerak cari Gilbert. Bartol termasuk Polisi yang di tugaskan mencari Gilbert untuk menangkap. Tapi karena Gilbert teman SMA yang sudah menjadi sahabat baik_Bartol lindungi Gilbert. Bartol sudah berjanji jauh hari setelah Gilbert sampai di Tanah Asmat. Akan lindungi Gilbert di Asmat sampai pekerjaannya tuntas.

Bartol ajak Gilbert berpindah hotel dengan identitas Gilbert yang lain. Diatas motor menuju hotel lain, Bartol sudah beritahu soal Gilbert di cari Polisi Indonesia setelah ada tekanan dari negara asing. Mereka di hotel Sang Surya. Hanya 100 meter dari hotel pertama. Gilbert sudah panik, namun Bartol akan bekerja keras melindungi Gilbert sesuai janji pada sahabat terbaik.

“Sob kita jangan tinggal disini, kita harus pergi. Kita harus pergi ke Kampung Otsjanep, bersembunyi disana,” kata ajak Gilbert panik kepada Bartol depan hotel Sang Surya.

“Ok sob, kita akan ke Otsjanep, tapi sama saja,” balas Bartol tidak setuju mereka berangkat ke kampung Otsjanep.

“Sob, mereka kejar sa karena dokumen rahasia Rene Wassing, sa ke Asmat untuk membenarkan dokumen itu dan membongkar ke publik,” jelas Gilbert percaya Bartol bisa menjaga rahasia.

“Sob sudah dapat data dari kepala suku to, bongkar sudah!. Biar sa yang pura-pura tangkap ko dan sa juga aman dan sa bisa naik pangkat. Kan intinya ko bongkar dokumen itu to,” ajak Bartol segera bongkor dokumen Rene Wassing.

“Tidak sob, sa harus ke Kampung Otsjanep, melihat keadaan disana dan ketemu masyarakat disana,” balas Gilbert tidak ingin mengubah tujuan yang Ia atur sebelum ke Asmat. Gilbert menolak permintaan Bartol.

“Ia tapi Sob lihat keadaan ini!!, sob dicari dan akan di tangkap. Lebih baik ko bongkar baru dapat tangkap sob. Mereka sudah perintahkan semua personil di seluruh Indonesia. Sob aman disini karena ada sa depan ko ini,” tegas Bartol coba beri jalan keluar depan Gilbert dengan wajah memohon. Tapi Gilbert tetap menolak dengan keras.

“Sob tidak perlu temani sa!! sa akan ke Kampung Otsjanep. Sob pulang saja, sa bisa pergi sendiri. Sa akan lari jauh dan bongkar dokumen Rene Wassing ini. Sob ko pulang sudah!!” balas Gilbert dengan marah, Gilbert merasah dibujuk dengan Bartol dengan tujuan yang lain. Duga Bartol punya rencana lain.

“Tidak sobatku!, sa akan tetap bersama ko. Okei besok pagi kita akan ke kampung Otsjanep,” balas Bartol akan bersama Gilbert kemana pun pergi sesuai janjinya.

Sore Bartol keluar dari hotel setelah mereka dua berdebat panjang. Bartol ikut kemauan Gilbert. Bartol keluar mengamankan speatboat untuk besok subuh berangkat ke Kampung Otsjanep mencari data, dan bersembunyi dari pengejaran Polisi Indonesia. Bartol kembali ke hotel setelah mampir ke rumah ambil pistol dan pekean. Malam bersama Bartol dan Gilbert di hotel. Besok pagi buta mereka dua harus keluar dari hotel menuju dermaga papan dibibir laut Asmat.

Malam sebelum tidur, Gilbert cerita semua tentang dokumen Rene Wassing yang dikirim Defe dari Belanda malam itu. Gilbert cerita tentang kematian Defe sampai air matanya keluar. Bartol berpendapat setelah Gilbert bercerita; sepertinya Defe bukan bunuh diri tapi dibunuh. Gilbert semakin yakin setelah Bartol perlihatkan Intelijen asing memerintahkan Intelijen Indonesia cari Gilbert melalui grub whastapp khusus Kepolisian Indonesia dan Asmat.

“Benar sob, itu yang sa pikir juga,” balas Gilbert sependapat dengan Bartol kalau Defe dibunuh karena dokumen Rahasia Rene Wassing.

“Hallo Ani, sa mau bilang kalau Defe itu di bunuh dengan motif gantung diri,” jelas Gilbert kepada Ani melalui sambungan telfon. Harapan Gilbert, Ani lanjutkan cerita pada keluarga Defe.

“Akh…!!! Io ka ipar? siapa pelakunya?” balas Ani kaget bertanya.

“Io Ani, gara-gara dokumen Rene Wassing tentang hilangnya Michael Rockefeller di Asmat. Sa ada cari informasi yang cukup mendukung dengan Dokumen itu. Sa akan bongkar nanti. Dokumen ini Defe kirim tengah malam, paginya Defe mati gantung diri. Terus sekarang ini polisi ada kejar sa lagi ini. Mungkin mereka mau bikin sa seperti Defe lagi ka? tapi tidak, sa akan bongkar. Cukup mereka bunuh sa pu cinta Defe,” jelas Gilbert kepada Ani yang sudah terbawa emosi dan sedih di Jayapura.

“Tidak ada kata lagi ipar. Tuhan lingdungi ko Gilbert,” balas Ani dukung Gilbert.

Pagi seperti biasa di kota Asmat. Matahari sudah keluar. Cuaca lumayang cerah diatas hotel Sang Surya. Gilbert dan Bartol bangun terlambat. Pagi jam 07:00 wit. Bartol membagunkan Gilbert untuk bersiap pergi ke bibir pantai, tempat Bartol memarkir Speatboat. Tidak sarapan dan bersantai seperti malam pertama Gilbert di hotel pertama. Suasana telah berubah. Tegang dan cemas. Gilbert harus membongkar dokumen Rene Wassing_catatan rahasia tentang hilangnya Michael Rockefeller di wilayah kampung Otsjanep. Selangkah lagi.

“Angkat tangan kalian!!!” suara megapone Polisi wilayah Asmat sudah sergap hotel Sang Surya dari subuh. Dari banyak arah mulut senjata keluar ke arah Gilbert dan Bartol. Tepat depan pintu keluar hotel saat melangkah pergi. Bartol tidak bisa berkata-kata walaupun Dia juga Polisi yang bertugas lama di Asmat. Gilbert ekor mata ke Bartol dengan penuh harapan. Bartol hanya melihat dan membalas tatap Gilbert sambil tarik napas dalam-dalam. Gilbert dan Bartol diborgor besi.

“Sob tidak ada kata-kata lagi sampai disini,” kata Bartol dalam mobil Polisi yang tertutup kuat kepada Gilbert.

“Sob, ko luar biasa, sa tidak tau persahabatan ini akan sampai dimana,”balas Gilbert tidak berdaya dalam genggaman borgor besi. Gilbert akui Bartol memang sahabat sejatih.

“Bagaimana dengan dokumen itu?” tanya Bartol menatap sedih wajah Gilbert.

“Mereka sudah sita semuanya sob. Tapi sa sudah kirim ke Ani dan teman-teman Antropologi Papua tadi malam,” jelas Gilbert dengar santai. Gilbert dan Bartol diseret dari dalam mobil ke kantor Polisi.

“Turung kau penghinat Negara,” kata Polisi menyeret Bartol keluar dari mobil.

Bartol senyum melihat teman Polisi yang memperlakukanya seperti tidak perna bersama dalam tugas Negara. Gilbert sudah menyerahkan apapun yang akan terjadi, seperti juga Bartol dalam pikirannya. Gilbert percaya dokumen rahasia yang berhasil ditutupi akan terbongkar dimata publik. Gilbert dan Bartol dalam penjara. Bercerita kembali kisah-kisah masa SMA. Ceriah.

(Oleh: Nomen Douw)

Share this Link

Comments are closed.