Manokwari, Majalahkribo.com- Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap empat Penatua asal Papua dalam perkara dugaan makar sebagai langkah hukum yang paradoksal dan tidak proporsional.
Tim Advokasi Keadilan Untuk Rakyat Papua LP3BH Manokwari, yang bertindak sebagai kuasa hukum Penatua Abraham Goram Gaman, Penatua Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek, telah menerima dan mempelajari empat surat tuntutan masing-masing dengan Nomor Register Perkara:
PDM-82/R.2.11/Eoh.2/08/2025 atas nama Penatua Abraham Goram Gaman;
PDM-83/R.2.11/Eoh.2/08/2025 atas nama Penatua Piter Robaha;
PDM-84/R.2.11/Eoh.2/08/2025 atas nama Nikson May; dan
PDM-85/R.2.11/Eoh.2/08/2025 atas nama Maksi Sangkek.
Seluruh surat tuntutan tertanggal 4 November 2025 itu ditandatangani oleh JPU Steevan Mc Lewis Malioy, SH, MH dan Harlan, SH dari Kejaksaan Negeri Sorong, dan telah dibacakan secara resmi di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus.
Dalam surat tuntutannya, JPU menyatakan keempat terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP — yaitu tindak pidana makar terhadap negara yang ancaman hukumannya dapat mencapai penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun.
Namun, secara mencolok, JPU justru menuntut keempat terdakwa dengan pidana penjara hanya 8 (delapan) bulan, dikurangi masa tahanan sementara.
“Inilah yang kami pandang sebagai sebuah paradoks hukum,” tegas Koordinator Tim Advokasi Keadilan Untuk Rakyat Papua LP3BH Manokwari, dalam pernyataannya, Rabu (5/11).
“Jika benar JPU menyatakan unsur Pasal 106 KUHP terbukti, maka semestinya ancaman hukumannya berat. Tetapi menuntut hanya delapan bulan penjara jelas memperlihatkan ketidakkonsistenan logika hukum dan kelemahan pembuktian dalam perkara ini,” lanjutnya.
Sidang pembacaan tuntutan terhadap Penatua Abraham Goram Gaman dan Penatua Piter Robaha dipimpin oleh Hakim Ketua Herbert Harefa, SH, MH, sedangkan perkara atas nama Nikson May dan Maksi Sangkek dipimpin oleh Hakim Ketua Hendry Manuhua, SH, M.Hum.
Menurut LP3BH, perbedaan antara dakwaan yang berat dan tuntutan yang ringan menunjukkan bahwa unsur makar sebenarnya tidak pernah terbukti secara meyakinkan. Karena itu, LP3BH Manokwari akan mengajukan Nota Pembelaan (Pledoi) dalam sidang lanjutan yang dijadwalkan pada Selasa, 11 November 2025 mendatang di Pengadilan Negeri Makassar.
> “Kami akan menegaskan dalam pledoi nanti bahwa keempat klien kami bukan pelaku makar. Mereka adalah tokoh-tokoh gereja dan masyarakat adat Papua yang memperjuangkan keadilan dengan cara damai. Tuduhan makar adalah bentuk kriminalisasi terhadap ekspresi politik dan hak asasi mereka sebagai warga negara,” tambah LP3BH.
LP3BH Manokwari menyerukan agar pengadilan bertindak independen dan objektif, serta memastikan perlindungan hak-hak hukum para terdakwa yang saat ini masih ditahan di Rutan Makassar.
“Kami mendesak agar seluruh proses hukum berjalan secara adil dan transparan, serta menghentikan pola kriminalisasi terhadap warga sipil Papua yang menggunakan hak berekspresi secara damai,” tutup LP3BH Manokwari dalam rilis resminya.
Pewarta : Charles Fatie