CERPEN – Kedai tiga lante bersambung dengan rumah batu dan besi, seperti toko bisnis panjang di kota besar milik China di Papua. Saya dengan teman dosen sama-sama tidak merokok. Duduk berhadapan dalam ruang ac kecil, dingin keluar dari mesin seperti saya ada di Dagouto Paniai. Teman dosen beri alasan tentang rokok saat kami dua sepakat duduk ruang ac, saya bercanda setelah itu duduk.
“teman kamu punya muka itu cocok merokok,”wajah teman yang keras berubah aneh, tidak terima dengan ucapan saya. Di wajah teman dosen ada bekas luka jahitan di hidung, persis seperti penjahat tahanan, cocok juga jadi aktor film karakter penjahat.
“Merokok itu gampang saja teman, dan tidak masalah, hanya saja saya tidak suka kasi sibuk saya punya kepala dan bibir,” cerita teman sambil ketawa.
“Saya sama juga teman, tidak suka, tidak ada salah bagi mereka yang merokok dan tidak benar bagi mereka tidak merokok,” kata saya.
Balas teman katanya saya benar, saya balas juga sama, kamu yang benar teman. Kami berdua saling lempar kebenaran tentang siapa yang benar sambil menunggu pesanan kopi americano dan V60. Saling lempar makna kebenaran, seperti politisi berargumen tentang suatu kebenaran dan kebohongan.
Saya buat pertanyaan serius untuk teman karena dia sedang selesaikan study S3 diluar, sedang siapkan data untuk disertasi dan dia minta saya bantu bagian pengumpulan data, ”Saya akan membantu teman,” kata saya.
Coba teman jelaskan sedikit secara akademik soal kebenaran?
Mungkin teman baca tentang “Post Truth” Saya tidak serius belajar tentang kebenaran tetapi sedikit saya pernah singgah baca soal post truth, menarik dibahan topik ini. Kata orang-orang akademik sekarang ini zaman post truth, mungkin teman tau karena teman suka baca, post truth itulah era kebenaran.
Semua orang miliki kebenaran. Ini fenomena abab-21, zaman kita sekarang. Post truth lebih singkatnya, sesuatu yang benar jadi tipu, tipu jadi benar (baku tipu bicara kebenaran dan kebenaran jadi tipu-tipu)
Dari diskusi meja-meja kopi yang saya ikuti, kita sepertinya babigung dengan berdiri pada kaki yang benar-benar kebenaran, tambah lagi dunia media sosial hari ini membingungkan kita semua tentang kebenaran, setiap hari ada berita yang viral, tidak perna henti, ada saja setiap menit dan menit, kita bigung dengan semua itu. Dimana kebenaran yang sebenarnya. Apakah kebenaran ada dalam diri kita masing-masing.
Siapa yang benar dan apa yang salah, kita baku marah menjadi benar dan menyalahi sesama, apalagi kini ada politik, kita seakan mewujudkan misi baku tipu, kebenaran jadi mahal dan kebohongan jadi murah tapi itulah kontradiktif yang benar tapi kebenaran ada pada kita. Ketika ada politik, yang palsu dimanfaatkan kelompok tertentu menjadi kebenaran, kebenaran dibuat menjadi palsu. Saya pikir itu yang terjadi dan itulah yang dibahas oleh ”post truth”
Kata menteri propaganda Nazi namanya Paul Goebbels Dia bilang, ”kebohongan diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan jadi kebenaran,” Kita lihat misalnya, untuk menghilangkan kebudayaan suatu kelompok orang disuatu daerah dengan tujuan kekuasaan; kelompok tersebut bisa dikuasai dengan cara berulang kali menyebarkan narasi baru, seperti kata om Paul diatas.
Setiap orang memiliki otoritas atas persepsi masing-masing, kita harus sepakat itu. Di tahun 2016 ilmu post truth naik daun, tapi sudah di perkenalkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan ”The Government of Lies dalam majalah The Nation” (Kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan kita ingin hidup di dunia post truth)
Masalah kebenaran ini sudah lama membuat perdebatan dalam pemikiran eropa, kita belum tiba sampai disitu, contoh kecil debat kecil kita dua tadi, saling lempar siapa yang benar. Tapi lebih kacau setelah kehadiran politik buat para pemikir berpikir panjang lebar tentang kebenaran, tapi itu sebuah keramaian yang asik bagi mereka karena rasionalitas mereka yang tinggi.
Mungkin kita juga sering bertanya hal yang serupa tentang kebenaran dalam kehidupan hari-hari kita dengan politik. Saya pikir kita lebih kacau karena media sosial berikan kita banyak informasih yang tidak pasti, kita dibuat lari dari kebenaran kepada hal yang palsu dan palsu menjadi sebuah kebenaran.
Menurut saya, kita anak muda hari ini kurang belajar dan kurang diskusi untuk meluruskan pola pikir untuk solidaritas demi berdiri pada sebuah kebenaran. Kata seorang ahli filologi, pemikir pendahulu post truth,Friedrich Nietzsche, dia bilang, ”manusia menciptakan konsep-konsep yang melaluinya mereka mendefinisikan yang baik dan yang adil, sehingga menggantikan konsep kebenaran dengan konsep nilai, dan mendasarkan realitas pada kehendak dan keinginan manusia untuk berkuasa”
“Memang teman ini, calon dosen terbaik Papua,” pujian saya kepada teman setelah menjelaskan tentang kebenaran.
“Amin teman, namanya kan calon akademisi jadi harus belajar menjelaskan semua hal walaupun singkat. Teman tanya ini bagus untuk saya belajar, karena dosen harus mampu menganalisa sesuatu dengan lisan dan tulisan,” jelas teman sambil minum kopi americano dan saya V60.
Saya bertanya lagi, bagaimana dengan kita di Papua melihat post truth itu teman?
Yang saya ketemu era post truth adalah suasana politik yang mendukung seseorang untuk mengesampingkan fakta-fakta yang menunjukan kebenaran yang sebenarnya. Milsanya kata seorang filsuf Inggris, Anthony Clifford Grayling, ”era post truth bermula dari krisis ekonomi global yang buruk pada tahun 2008 yang memunculkan rasa benci ditengah masyarakat”
Saya pikir rata-rata orang Papua sudah banyak yang sekolah dan sudah memiliki pikiran yang kritis, era baku tipu dan benar atau post truth ini kita bisa deteksi, apalagi rata-rata kita Papua lebih banyak diskusinya seputar politik, kita semakin dewasa dengan dunia kebenaran dan kebohongan atau palsu karena post truth ini lahir dari kondisi politik suatu daerah, seperti kata Anthony Clifford Grayling diatas, lahir dari dari kritis ekonomi global 2008.
Dimomen politik kepalsuan sering menyamar menjadi sesuatu yang benar. Banyak politikus jalan kaki mencari suara dengan janji manis dengan pemikiran benar, tapi ketika menjadi pejabat daerah, tidak terlihat dan hanya dalam mobil ber-ac dan janji tinggal manis. Banyak informasih beredar di media masa, sebelum kita bagikan kita harus pastikan ke beberapa sumber lain dan berdiskusi.
Papua harus lebih hati-hati karena saya lihat mudah mengkomsumsi informasi dengan mentah-mentah, tidak filter. Kita (papua) rentang dimaafkan kelompok tertentu dengan isu, suatu kebohongan dijadikan hal yang kebenaran, apalagi kepalsuan diulang-ulang maka otomatis akan menjadi suatu kebenaran. Saya pikir benar, itu yang terjadi.
Mungkin itu saja yang saya bisa jelaskan terkait dengan teman punya pertanyaan tadi soal makluk aneh yang namanya ”post truth” di Papua. Saya memuji teman, ”memang dosenku hormat,” Dia ketawa dan saya ikut ketawa sama-sama. Kembali kami dua bersama minum kopi yang ada diatas meja. Dia minum americano atau espresso yang ditambah air panas dan saya minum V60 atau sudut corong seduh dari metode 60 derajat sehingga disebut V60.
Beberapa menit kami duduk menghabiskan kopi bersama beberapa topik diskusi lain. ”Teman, kita diskusi soal perkembangan pemikiran hingga isu kontektual itu pasti panjang, kita dua duduk disini sampai beberapa hari juga barang tidak selesai, jadi kayanya kita harus pulang, nanti kita cari waktu lain untuk diskusi lagi dengan beberapa teman lain,” kata teman dosen ingin kita akhiri diskusi dan pulang kerumah.
“hormat kawan, makasih untuk ilmunya,” balas saya bangga memiliki teman calon dosen terbaik suka bercanda dan mampu menjelaskan melalui lisan dan tulisan.
“Ilmu apa teman, teman juga pasti tau apa yang saya jelaskan itu. Saya tau teman suka baca, pastilah menentu dunia itu,” jelas teman dosen sambil berdiri bersama untuk pulang.
Tepat. Americano dan V60 sudah habis di telang waktu dalam dua mulut haus kopi. Pulang.
(Nomen Douw)