Fakfak, majalahkribo.com — Di balik megahnya bangunan Hotel Grand Papua, tersimpan persoalan serius yang kini mencuat kembali ke publik. Hotel bintang tiga yang berdiri strategis di pusat Kota Fakfak itu ternyata dibangun di atas tanah milik Pemerintah Kabupaten Fakfak. Namun ironisnya, berdasarkan penelusuran dan rapat Pansus DPRD, tanah tersebut telah berubah status menjadi milik swasta dan bahkan digunakan sebagai jaminan bank selama bertahun-tahun.
Skema awal pembangunan Hotel Grand Papua dilakukan melalui pola Bangun Guna Serah (BGS) antara Pemerintah Daerah Fakfak dengan PT. Rimbun Menara Papua. Perjanjian kerja sama ditandatangani pada 26 Juni 2003, dan diatur bahwa Pemda Fakfak menyerahkan Hak Guna Bangunan atas tanah seluas 4.723 m² senilai Rp1,13 miliar untuk digunakan selama 30 tahun. Setelah masa itu berakhir, hotel dan seluruh asetnya akan kembali menjadi milik Pemda Fakfak. Pemda juga dijanjikan mendapat 5,4% bagi hasil dari laba bersih pengelolaan hotel, setelah tercapainya Break Even Point (BEP).
Namun fakta di lapangan berbicara lain.
Pada tahun 2004, tanah tersebut diubah statusnya menjadi Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Rimbun Menara Papua dan telah bersertifikat atas nama perusahaan tersebut. Bahkan sertifikat itu diketahui dianggunkan ke bank pada dua periode, yakni 2005–2009 dan 2017 hingga kini.
Yang menjadi persoalan, menurut pengakuan Kepala BPN Fakfak dalam rapat Pansus DPRD pada 1 April 2022, tidak ditemukan dokumen persetujuan DPRD Fakfak atas pengalihan tanah tersebut. Anehnya lagi, dokumen pengalihan aset ke HGU juga tidak tersimpan di BPPKAD, badan yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset daerah.
Rapat Pansus yang saat itu digelar melibatkan Bupati Untung Tamsil dan Wakil Bupati Yohana Hindom, namun tidak menghasilkan keputusan apapun, dan persoalan ini dibiarkan menggantung hingga kini.
Kini, warga berharap besar kepada Bupati Samaun Dahlan dan Wakil Bupati Donatus Nimbitkendik, yang baru memimpin, untuk menuntaskan masalah ini secara transparan dan tegas. Warga menilai, jika aset ini kembali dikelola oleh daerah, akan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan di masa depan.
“Kalau ini aset milik rakyat, kenapa bisa bersertifikat swasta dan jadi jaminan bank? Apa gunanya perjanjian kalau bisa diakali begitu?” ujar seorang tokoh masyarakat di Fakfak, 8 Juli 2025.
Kekesalan warga juga ditujukan pada DPRD Fakfak periode sebelumnya (2019–2024) yang dinilai tidak mampu menyelesaikan polemik ini, meski sudah membentuk Pansus. Kini, warga menantikan langkah konkret dari anggota DPRD periode 2024–2029 untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengusut dan mengembalikan status tanah hotel Grand Papua ke pangkuan daerah.
“Kita tidak butuh Pansus simbolik. Kita butuh keberanian politik untuk menyelamatkan aset daerah dari penyalahgunaan,” tegas warga lainnya.
Jurnalis/Editor: Ronald J Letsoin