FAKFAK, majalahkribo.com — Kepala Suku Besar Kembaran di Distrik Tomage, Kabupaten Fakfak, Abdul Rasah Urbon, kembali menyampaikan tanggapan terbaru terkait polemik survei PT Pupuk Kaltim di wilayah hak ulayat mereka. Ia menegaskan bahwa masyarakat adat mendukung kehadiran Pupuk Kaltim, namun menyesalkan proses survei yang dinilai tertutup, tidak transparan, dan tidak menghargai struktur adat.
“Statement saya tidak pernah menolak. Saya menerima. Syukur Alhamdulillah perusahaan masuk. Tapi mari kita buka diri, harus transparan,” ujarnya dalam pernyataan terbarunya Rabu, 11 Sebtember 2025.

Kepala Suku Besar Kembaran di Distrik Tomage, Kabupaten Fakfak, Abdul Rasah Urbon – Foto: Fakfakid
Abdul Rasah menegaskan bahwa masyarakat Suku Kembaran, khususnya Kampung Otoweri dan Wamosan, sangat mendukung keberadaan perusahaan, terutama karena peluang kerja bagi generasi muda.
Namun ia menilai proses survei justru dilakukan tanpa koordinasi yang jelas.
“Awalnya perusahaan sempat koordinasi, tapi begitu survei berjalan tidak ada keterbukaan. Ada kelompok tertentu jalan sendiri tanpa sepengetahuan saya sebagai kepala suku,” ungkapnya.
Ia menyayangkan komunikasi antara pihak adat dan pihak terkait terputus total, sehingga ia tidak dapat mengumpulkan para marga untuk musyawarah.
“Bagaimana saya mau kumpulkan beberapa marga untuk bicara proses ini, kalau komunikasi ke saya terputus? Saya merasa kami adat tidak dihargai,” tegasnya.
Menurut Abdul Rasah, masyarakat adat bingung karena proses survei berlangsung dari darat hingga laut, termasuk pengeboran langsung ke dalam tanah, tetapi tidak ada penjelasan tentang kompensasi.
“Kalau sudah ambil barang di dalam tanah, masa gratis? Minimal sampaikan kalau survei ini ada imbalannya atau uang assalamualaikumnya. Tapi yang disampaikan ke kampung hanya: ‘jalan saja, nanti terakhir baru ambil uangnya’. Ini kan tanda tanya,” ujarnya.
Ia menilai keterbukaan sangat penting agar masyarakat tidak merasa ditinggalkan.
“Masyarakat kampung itu tidak dapat apa-apa dan hanya menunggu hasil survei. Permisi masuk rumah orang saja wajib, masa survei di tanah adat tidak ada pemberitahuan?” katanya.
Menanggapi bantahan Pupuk Kaltim terkait isu penebangan 300 pohon, Abdul Rasah menegaskan bahwa penebangan benar-benar terjadi, meski bukan pohon besar jenis ekspor.
“Kayu itu memang ditebang untuk buat rakit dan anjungan pengeboran. Ukurannya tidak besar, tapi tetap pohon. Minimal sampaikan ke masyarakat, berapa nilai satu pohon. Ini tidak. Pohon ditebang saja,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa pemuda kampung hanya dibayar sebagai tenaga kerja harian, bukan untuk nilai kayu yang ditebang.
“Pemuda dibayar Rp200 ribu per hari untuk ikut kerja, tapi nilai pohon tidak dihitung. Padahal pohon itu punya masyarakat,” tegasnya.
Abdul Rasah menilai akar masalah terletak pada tidak adanya dialog formal antara perusahaan, pemerintah kampung, dan adat.
Ia menegaskan bahwa palang adat selama ini terjadi karena prosedur permisi tidak dijalankan.
“Pemalangan itu terjadi karena tidak disampaikan ke yang punya barang. Pemerintah harus turun, fasilitasi kami duduk dengan perusahaan. Sampaikan jelas apa yang mau disurvei, lewat mana, lahan mana,” katanya.
Ia mengaku berhati-hati agar masyarakat adat tidak mengalami kejadian seperti yang pernah terjadi di wilayah lain, termasuk Merauke.
“Ini tanah hak ulayat kami. Kami tidak mau terlanjur seperti kasus-kasus di tempat lain. Maka kami waspada,” ujarnya.
Meski begitu, ia kembali menegaskan bahwa masyarakat adat tidak menolak perusahaan.
“Pada intinya kami sangat mendukung. Tapi mari kita duduk bersama dan membicarakan ini secara terbuka. Komunikasi itu sangat perlu,” tutupnya.
Penulis & Editor: Ronaldo Josef Letsoin