FAKFAK, majalahkribo,com – Polemik terkait kegiatan survei Proyek Strategis Nasional (PSN) PT Pupuk Kaltim di Distrik Tomage, Kabupaten Fakfak, memunculkan pernyataan berbeda dari unsur pemerintahan kampung dan struktur adat setempat.
Kepala Kampung Otoweri, Daing Kutanggas, membantah keras tudingan bahwa PT Pupuk Kaltim telah menebang hingga 300 pohon tanpa izin saat kegiatan survei berlangsung. Bantahan itu disampaikan dalam jumpa pers bersama awak media di Kantor Dewan Adat Mbaham Matta, Minggu (14/12/2025).
“Kami perlu meluruskan informasi yang beredar. Tudingan penebangan 300 pohon itu tidak benar,” tegas Daing Kutanggas.
Ia menjelaskan, sejak awal kegiatan survei telah dilakukan koordinasi antara pemerintah, pemerintah kampung, tokoh adat, dan masyarakat di Kampung Otoweri serta Kampung Wamosan. Menurutnya, sebelum survei berjalan, telah dilakukan sosialisasi dan kesepakatan bersama untuk mendukung program pemerintah melalui PSN Pupuk Fakfak.
Daing mengakui memang ada penebangan pohon, namun jumlahnya jauh dari angka yang ditudingkan. Ia menyebut sekitar 110 batang pohon yang diambil, dengan total keseluruhan tidak lebih dari 130 batang.
“Penebangan itu atas sepengetahuan dan permintaan masyarakat, untuk pembuatan rakit dan para-para di laut dalam proses pengambilan sampel,” ujarnya.
Ia juga menegaskan seluruh proses survei dikawal lintas sektor dan berlangsung terbuka. Bahkan, kayu yang digunakan vendor dikembalikan kepada masyarakat.
“Kami punya bukti dan prosesnya transparan,” katanya.
Namun di sisi lain, Kepala Suku Besar Kembaran, Abdul Rasah Urbon, menilai persoalan utama bukan semata pada jumlah pohon, melainkan minimnya komunikasi dan transparansi dalam pelaksanaan survei di wilayah hak ulayat mereka.
“Saya tidak pernah menolak. Saya mendukung perusahaan masuk. Tapi harus terbuka dan menghargai adat,” ujar Abdul Rasah dalam pernyataannya, Rabu (11/9/2025).
Ia mengungkapkan bahwa koordinasi sempat dilakukan di awal, namun terputus saat survei berjalan. Akibatnya, struktur adat tidak dilibatkan secara penuh, dan ia mengaku tidak mengetahui secara detail aktivitas survei yang dilakukan di darat maupun laut.
“Ada kelompok tertentu yang jalan sendiri tanpa sepengetahuan saya sebagai kepala suku,” katanya.
Abdul Rasah juga menyoroti tidak adanya penjelasan mengenai kompensasi atas pemanfaatan sumber daya di wilayah adat, termasuk penebangan pohon meski berukuran kecil.
“Kayu ditebang untuk rakit dan anjungan pengeboran. Itu tetap pohon milik masyarakat. Minimal sampaikan nilainya,” ujarnya.
Ia menilai ketidakjelasan ini memicu kebingungan di masyarakat hingga berujung pada aksi pemalangan di lapangan. Menurutnya, pemerintah perlu memfasilitasi dialog formal antara perusahaan, pemerintah kampung, dan adat.
“Permisi masuk rumah orang saja wajib. Apalagi survei di tanah adat,” tegasnya.
Meski menyampaikan kritik, Abdul Rasah menegaskan masyarakat adat tidak menutup diri terhadap investasi. Ia hanya menekankan pentingnya komunikasi, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak ulayat agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.
“Pada prinsipnya kami mendukung. Tapi mari duduk bersama, bicara terbuka,” pungkasnya.
Editor: Ronaldo Josef letsoin