CERPEN – Hari rabu siang, panas membakar kota Jayapura dan orang-orang yang bergegas turun dan naik dalam Kapal Labobar yang datang dari dermaga Serui dan akan kembali ke Serui dan seterusnya sesuai jadwal. Pelabuhan seperti gegas pasar, orang-orang tenggelam dalam aktivitas, melupakan keringat basah untuk kebutuhan ekonomi, aktivitas bertahan hidup zaman ini sebagai manusia yang telah di paksa rezim kemenangan perang dunia-II (1945)

Setiap kapal yang datang dan pergi membawa datang jejak dan membawa pergi jejak. Ada jejak buruk dan baik. Tidak selalu soal cinta karena manusia sudah dipermudah dengan zaman komunikasi yang tersedia dan sebagian dapat menghapus rindu dengan cepat, saya ingat lagu lokal Papua berjudul ”Nggapulu Ko Jahat” (Cipta Yunus), lagu yang mengingatkan jejak yang pergi, ada juga lagu asal Asmat ”Piri Kaper” (Cipta Rufinus) juga sama untuk sesuatu yang pergi.

Pelabuhan memiliki sejarah yang panjang dalam aktivitas hidup manusia dari masa kerajaan hingga moderen. Misalnya di Indonesia era Sriwijaya dan Majapahit, banyak pelabuhan lokal menjadi tempat penghubung bangsa luar seperti China, India, Semenanjung Arab dan Madagaskar.

Bumi dikelilingi oleh lautan, manusia membutuhkan tempat untuk transaksi semua hal yang bermaterial dan non material. Papua pulau terbesar kedua dunia (786.000 km²) yang memiliki dua pulau besar, Biak ( 2.455 km²) dan Serui (2.432 km²), dikelilingi oleh lautan Samudera Pasific. Pelabuhan menjadi salah satu akses utama dalam sejarah hidup manusia memindahkan barang dan kenangan dalam sejarah, juga titik perginya kenangan dan barang.

Pelabuhan bukan hanya menjadi transaksi rempah-rempah yang dimulai sejak era kerajaan hingga kontemporer (modern), tapi dalam sejarah dunia yang panjang, pelabuhan perna menjadi titik penyebaran ilmu pengetahuan di beberapa daerah di dunia, salah satunya di sekitar wilayah kota Alexandria atau Al-Iskandariyyah, kota pelabuhan yang terletak di pesisir Laut Mediterania pada 331 SM.

Alexandria memiliki perpustakaan terbesar dunia zaman itu. Setiap kapal yang melintas harus sandar di dermaga Alexandria dan setiap dokumen diminta untuk dijadikan arsip di perpustakaan, namun perang saudara membuat kehancuran Alexandria dan perpustakaan.

Waktu datang membawa saya harus ikut perjalan pergi ke kota Jayapura dengan kapal laut dari Nabire. Kapal Labobar. Tujuan saya hanya satu. Diatas kapal saya tenggelam dalam aktivitas pribadi saya, minum kopi dan makan. Satu malam selesai dalam perjalanan yang membosankan tapi ada keasikan yang saya menikmati; nonton film, baca buku dan menikmati senja dari atas kapal dengan cangkir kopi.

Kapal Labobar sudah sandar di dermaga, kami sampai di kota Holandia Jayapura Papua, kota yang menyimpan banyak sejarah orang Papua. Kota Jayapura bagi saya tidak asing, ada banyak jejak yang tidak ingin saya ceritakan disini, banyak hal, tapi ada satu cerita dalam perjalanan kali ini membuat saya ingin bercerita. Tulisan ini semoga saya berhasil pertanyakan pada jejak sejarah dan manusia, atau tidak hanya sebuah pertanyaan yang saya pikirkan.

Ada ruang peninggalan Belanda atau Jepang di titik kecil diantara keramaian di pelabuhan. Sesuai data yang saya ketemu, Jepang di Papua pada tahun 1940-an dan Belanda 1960-an. Pelabuhan adalah salah satu pintu masuk sejarah setiap kota pulau di seluruh dunia. Ada jejak fisik yang aneh dengan orang-orang dalam sejarah. Manusia mengukir sejarah sekaligus menghapus.

Saya mengutip pidato Pidato Kebudayaan 2014, yang dibawakan Hilmar Farid. “Saat kota-kota pelabuhan di pesisir dikuasai asing, pribumi bergeser ke pedalaman. Sejak itu pula kontak dengan dunia luar terputus. Putusnya kontak dengan dunia luar, bersamaan dengan putusnya keberlangsungan sebuah kebudayaan yang selama ini menjadi kuat karena semangat mencari pengetahuan dan teknologi”

Ada bangunan yang kurang lebih dimakan tujuh puluh tahun di pinggir jalan; ada diantara keramaian manusia mencari makan minum untuk bertahan hidup. Saya terhimpit diantara keramaian di pelabuhan hendak keluar dari wilayah pelabuhan, seperti orang lain, bergerak seperti seorang asing yang bingung dengan peta pergi.

Beberapa bulan ini saya bernafsu melirik sesuatu tentang sejarah. Terbawa kemana-mana memilih bacaan sejarah dan tertarik berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, mungkin saya seperti kata filsuf Michel Foucault, ”manusia modern hingga abad ke-20 adalah manusia yang terobsesi dengan sejarah”

Saya punya pikiran untuk menulis cerpen sejarah seperti Iksaka Banu dan Leila Salikha Chudori, tapi belum sama, masih jauh dari sedikit sama. Tapi, paling tidak saya perna belajar dan jatuh cinta sedikit dengan sejarah dan cara menulisnya. Melewati samping bangunan tua (gudang tua) saya kembali melihat dengan semangat penasaran tentang sejarah. Saya melihat gedung seperti gudang tua dengan atap bulat melengkung sampai tanah seperti gorong-gorong jembatan besar, warna coklat karat, beberapa bagian bocor dimakan waktu dan manusia.

“Tidak disini disana,” suara teriak kakek tua bikin saya kaget. Saya tidak tau ada orang dalam gedung tua. Saya bilang maaf sambil undur pelan-pelan. Dia (kakek tua) kaget melihat saya. Kekek tua kurus berbaju merah rapi, bercelana panjang. Dia duduk diatas kursi besi dengan topi hitam di kepala botak. Terlihat seperti seorang veteran tua yang sakit mental karena memori perang.

Di samping memarkir motor mega pro hitam. Melihat saya, kakek tua itu berdiri dari kursi dengan cepat perintah saya keluar dari gedung tua. “maaf bapa saya hanya mau lihat-lihat tempat ini,” balas saya dengan aneh melihat kakek tua itu benar-benar marah seperti anjing galak.

Mengusir saya pergi dengan cepat. Mendadak meledak kemarahan, seakan saya perna punya masalah dengan anak perempuannya. Kita baru jumpa dengan marah. Saya tidak punya niat apapun dengan isi gedung tua yang kosong itu. Maksud saya kesana karena penasaran dengan sejarah bangun, tapi kalau ada kesempatan untuk saya menulis, mungkin memotret.

Suasana berubah, saya seperti bertemu dengan anjing galak yang diikat dengan kursi besi. Kekek tua itu tidak bertanya langsung marah. “kamu keluar dari sini, daripada saya telfon polisi sekarang,” kata kakek tua itu sambil tangannya memeriksa kantong algoji di punggung kiri. Saya langsung membayangkan Polisi India dalam film.

Tensi marah semakin tinggi seperti air yang semakin mendidihkan dengan energi panas listrik 99%. Saya undur pelan-pelan dan pergi lewat saya masuk dalam gedung tua tadi. Saya tidak berkata pamit karena kakek tua mengusir tanpa saya buat sesuatu dengan gedung tua. Wajar ketika kakek tua itu marah setelah saya memotret atau merusak gedung tua, tapi tidak ada.

Banyak pertanyaan datang dalam kepala saya. Ada apa dengan gedung tua dan kakek tua. Sama-sama tua tapi gedung tidak marah pada waktu, tapi manusia marah kepada manusia, mungkin karena manusia bisa mengubah waktu dengan memaksa. Mungkin saja kakek tua khawatir manusia mengubah dengan paksa dengan menaruh kepercayaan kepada kebudayaan baru.

Melangkah pergi dari gedung tua dan kekek tua dengan sedikit panik dan aneh. Apakah sering ada transaksi gelap dalam gedung tua itu? Apakah ada orang yang perna merusak puing-puing sejarah yang menjadi cerita hidup kakek tua itu? atau karena kakek tua depresi karena siklus moderen yang menindas banyak nilai budaya? Atau bagimana menurut kalian?

Diantara orang-orang yang sedang berdiri pinggir gedung tua menunggu jemputan, saya minta izin memotret gedung tua yang dalamnya ada kekek tua tadi. Saya memotret dengan hati-hati dari mata kakek tua itu. Jika ketahuan, saya bisa dikejar seperti polisi kejar penjahat diantara kontainer pelabuhan. Dari dua arah saya memotret gedung tua. Beberapa orang melihat saya aneh, mungkin mereka berpikir untuk apa pria hitam ini memotret sesuatu yang sudah dilupakan waktu.

Mereka tidak tau kalau saya sedang lagi suka belajar sejarah, saya memikirkan untuk menulis, entah fiksi atau non fiksi, yang penting perjalanan ini ada catatan yang mungkin hanya saya saja yang memahami, entah ini apakah soal sejarah atau hanya sebuah catatan yang biasa.

“Akhirnya kita harus belajar menerima berpedahan, dan itu salah satu kekuatan di abad-20-21 untuk kemajuan. Saya terima kakek tua yang marah sebagai menghormati persepsi yang lain” ___mrnd

(Nomen Douw)

Share this Link

Comments are closed.