Majalahkribo.com – Selasa siang jam 11:09 Wit. Hujan belum jatuh, matahari mulai dingin dari panas pagi. Kota ini setiap hari ramai. Hari ini tidak. Nampak sunyi wajah titik kota kecil ini, hanya beberapa manusia sedang melakukan kegiatan normal (jaga toko, duduk dibalik para-para pinang dan sedikit ojek berparkir). Mobil Polisi parkir dipinggir jalan, depan perumahan dosen Uncen (Universitas Cendrewasih). Mungkin mencari ketakutan dan menunggu bayar. Saya hanya berpikir sambil melangkah ”Tanah ini harus baik, jangan lagi ada pertumpahan darah dan air mata”
“Oke sa jemput,” Kata Cido membalas chat saya. Saya sudah menunggu depan toko, baru sampai dari tempat tinggal.
Titik kota ini sepertinya sering digempur aksi demo yang berakhir dengan konflik antara Mahasiswa dan Polisi. Bunyi senjata sering kali terdengar di telingga warga sipil ketika membubarkan aksi demo. Beberapa ruko dan restauran sudah tutup lebih pagi. Mama Papua di pinggiran jalan masih menjual pinang, beberapa orang berdiri makan pinang sambil diskusi. Mungkin bagi pemilik ruko dan toko adalah masalah serius dengan aksi demo, tapi bagi mama Papua, baik-baik saja; tidak perlu takut dirumahnya sendiri, seperti sikap seorang perempuan dalam video yang viral di media sosial; melindunggi mahasiswa yang dipaksa keluar rumah oleh Polisi, namun dengan gagah berani perempuan itu melawan dengan kata,” kenapa, kamu mau apa, ini sa punya rumah, jang masuk sa rumah!!.” Tegasnya dalam video.
Langit tidak mendung tapi hujan turun. Seperti hujan buatan ketika kebakaran terjadi. Hujan tiba-tiba deras. Beberapa orang bertedu dengan cepat ke depan ruko dan kios. Saya sudah depan toko sembako sebelum hujan turun. Di kursi kayu, menunggu Cido. Pria tua datang dengan cepat, memarkir motor metic merah depan toko. Ia dengan cepat masuk, saya bergeser memberikan Ia duduk sambil berkata “mari bapa” pria tua itu kurus, berpakaian kemeja berwarna langit, kartu nama digantung saku baju, saya hanya melihat sekilas; Fakultas Ilmu Ekonomi. Saya tidak melihat nama. Mungkin Pria tua ini dosen. Mungkin tidak.
“Teman-teman lain?” Tanya pria tua kepada saya sambil duduk. Mungkin pria ini berpikir saya mahasiswa yang sedang bertedu karena hujan.
“Saya lihat di beberapa grub WA, ramai, aksi mahasiswa menolak DOB (Daerah Otonomi Baru) dihadang Polisi,” Respon saya kepada Pria tua.
“Hujan ini tanda alam menanggis dan tidak lama lagi manusia bersatu, sedikit lagi,” Jelas pria berumur 58-an ini. Wajahnya melihat putir hujan yang jatuh pada batu semen dan besi.
Lanjut Dia bercerita,” Pada akhirnya, negara ini akan menyesal pada dirinya sendiri, Ia sedang salah dari ketidak perkembanganya.” Saya hanya menyimak dan pria ini terus bercerita tentang apa yang Ia rekam dari indera. Ia bercerita ketika era Soeharto, masih kuliah. Ia ikut aksi. Di Papua, Ia dengan beberapa teman perna ditangkap lalu disiksa di koramil kerom. “Sampai hari ini tidak bisa lupa itu Korem 172 Padang Bulan Abepura,” wajahnya berubah sedih. Ia menunjukkan bekas luka di kaki pada saya.
Angin kecil meniup dari kiri, menampar posisi duduk kami dua, dingin masuk diantara pagar besi, melindunggi toko dari ancaman pencuri. Hujan tidak melipat para-para pinang dimata kami berdua. Pria tua itu memasang rokok dibibirnya yang sudah keriput. Rokok yang Dia menggambil dari Noken kecil, dikenakan ditubuh kurus, tinggi 168m (kira-kira). Ia menarik dan melepas asapnya dengan rileks, terlihat Ia menikmati asap rokok dan dinggin. Saya ikut membayangkan tapi saya hanya suka kopi. Semoga sebentar saya minum kopi.
“Saya dari Meepago bapak,” Terang saya kepada Pria tua.
“Saya Mamta. pesisir dan gunung harus bersatu. Saya percaya Roh sedang bekerja dan pasti ada waktu kita bersatu,” Jelas Pria tua itu sambil Ia memandang keluar, menunggu hujan pergi. Saya hanya menjawab ”Setuju bapak”
Angkutan umum tidak melintas dari hujan belum datang hingga hujan redah. Kendaraan hanya satu dua. Truk Polisi melintasi dengan cepat, matanya menyimpan rahasia dendam, namun apa boleh buat; Ia sudah lanjut usia; Ia hanya bisa memberikan motivasi sebagai vitamin bagi generasi muda. Mungkin salah satunya saya, Ia tidak bertanya langsung cerita apa yang Dia pikir kepada saya. Saya curiga dengan cara dia menyapa, tapi tidak salahnya saya merekam cerita-cerita yang baik.
Ada beberapa pengalaman yang Ia cerita. Masa kuliah hingga usia muda. Ia hampir mati di siksa militer karena ikut terlibat demo di orba, masa Soeharto berkuasa selamah 32 tahun, Ia ikut bersuara Soeharto lengser. Hujan tinggalkan semen dan besi, basah dan sunyi. Mobil Polisi pulang pergi dengan bunyi Sirene yang mengkagetkan warga dan mahasiswa, persis seperti bunyi Ambulance dari rumah sakit atau rumah duka. Hujan tinggal tetes, seperti harapan Pria tua ini melawan kekerasan. Ia pamit pergi. Terlihat jiwanya muda, geraknya tubu yang muda, tidak kakuh dan bongkok. Cido belum datang, saya menunggu selamah 30 menit di kursi kayu, lamahnya saya berdiskusi dengan pria tua.
Hujan sudah berhenti, Polisi yang menjaga titik sasaran aksi demo belum pulang. Pintu Gapura Uncen Perumnas tiga. Mungkin menunggu titik lain berhenti setelah mahasiswa membacahkan pernyataan sikap di jalan aspal,” Penolakan DOB (Daerah Otonomi Baru) Provinsi dan Kabupaten Kota.
Pulang lewati mobil intel dan Mobil dinas Polisi. Saya sudah tenang di kamar. Hujan datang lagi, syukur saya sudah duduk di meja dan kursi kayu. Seperti hujan ini tau kalau saya harus dirumah baru turun lagi. Duduk membaca buku “The Journey” Penulis wartawan RCTI Jakarta, namanya Gola Gong; Ia bercerita hidupnya sepanjang Ia berkeliling beberapa Negara Asia, Ia menulis kisah kematian ayahnya dari sakit, terharu. Waktu dan Manusia, setiap orang pasti menghilang dari bumi sesuai waktu. “Waktu tidak pernah bisa dipisahkan dari ruang.” Kata fisikawan teoretis kelahiran Jerman, Albert Einstein.
Pria tua yang saya ketemu ini seperti Allan Karlson dalam buku “The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared” di tulis oleh Jonas Jonasson, penulis laris asal Swedia; dalam novelnya, seorang pria tua penggila Vodka yang kabur dari tempat tinggalnya di rumah lansia pada hari ulang tahunnya yang ke 100. Ulang tahun Allan yang ke 100 dirayakan dengan spesial, dan turut dihadiri oleh Walikota disertai pers yang akan meliput momen tersebut. Sayangnya hanya yang berulang tahunlah yang tidak berkenan hadir pada pesta itu. Allan kabur melalui jendela dan memutuskan untuk pergi ke stasiun bus untuk menjauhi kota dengan menaiki bus sesuai dengan bekal uang yang dibawanya.
Seperti Pria tua yang saya bertemu pada selasa siang, setelah hujan turun dan ketika kota sedikit sunyi. Dikejar air hujan. Pria tua itu menyimpang beberapa cerita yang kelam, ketika Ia menyampaikan kepada saya; wajahnya menyimpan amarah dan duka. Semoga Pria ini seperti Allan Kharlson, usianya akan mencapai 100 tahun dan dimeriahkan Pemerintah di Kota dan Polisi, jika saya berada disana saat itu, saya akan berbisik kepada pria tua ini dengan diam-diam untuk menceritakan pengalamanya kepada semua orang yang hadir.
(Nomen Douw)