Oleh : Nomen Douw
CERPEN – Jam tujuh pagi. Tanjung Erari hampir tenggelam depan sa mata. Air laut sudah naik sebelum sa tiba. Sa tau ini kondisi alam yang biasa bagi orang pesisir, tapi bagi orang gunung kadang bikin kaget. Seperti air mata orang Papua setelah dewa horus menampung air diatas daratan membentu bukit menjadi pulau, persis seperti cerita dogeng orang-orang di dusun Telaga Yamor Nabire Barat kepada seorang pria fotografer, Jebulon Bunai.
Dia bercerita di pantai Tibalakukan satu minggu yang lalu. Tentu Tanjung Erari punya cerita dogeng atau cerita fiksi yang bisa dipakai untuk menjaga kelestarian lingkungan alam disekitar dengan kekayaan bercerita yang bagus seperti Ernest Hemingway,Haruki Murakami, As Laksana, Eric Weiner.
Tanjung Erari, beberapa orang sedang bersiap pulang setelah camping sepanjang malam tiba pagi. Ada yang baru datang untuk menikmati angin sejuk dan suasana pagi. Seperti sa, datang hanya ingin menikmati pagi dengan kopi saja, tapi ada pop mie. Ada bacaan yang sa bawah ”pencarian spiritual yang jenaka dan penuh dengan kebijaksanaan” buku milik pace botak, kepala jalan, Eric Weiner (Man Sekks God). Cocok baca di Tanjung Erari dengan sepih yang pass, tambah tulisan pace botak dengan gaya bahasa yang ringan, lucu dan berisi ilmu pengetahuan yang mudah ditelang.
Ibu non Papua ada bikin sa punya kopi dan pop mie setelah sa tanya, ”ada makanan ka ibu?, Ibu sebutkan yang ada; kacang rebus, pop mie, pentolan goreng dan kopi hitam. Sa duduk meja bulat kayu yang ada di teras pondok kayu putih tua dibalik ibu sedang siapkan pesanan depan teras. Sa dengar ibu bicara dengan orang yang datang, sepertinya ibu bercelana panjang bergambar boneka pokemon itu cukup lama di Papua, mungkin dari lahir atau saat bocah sudah di Papua, kental sekali bahasa Indonesia dialek Papua.
Anak ibu non Papua berpakean atribut motor, bercelana lepis kotak coklat abu-abu, rambut pirang merah campur hitam seperti bulu kucing dirumah sedang sibuk bermain hp sambil cas, duduk kepalanya sandar diatas meja bulat sepertinya anjing helder pangku dagu diatas lantai. Mamanya sibuk layani orang datang membeli dan pergi. Dua anak asli Papua berumur dua puluhan duduk disamping ibu non Papua, depan sa, mereka dua bicara tentang rokok yang cepat habis dan mengeluh.
“Anto tidak lama e..,” suara sedikit keras ibu non Papua kepada pria lokal rambut talingkar kecil bernama Anto meminjam motor ibu non Papua, katanya pergi petik buah nangka untuk dijual.
“Anto tunggu sa ikut.!,” teriak anak ibu non Papua yang sedang asik bermain hp dalam pondok kayu diatas kursi dan meja.”io, ko ikut cepat, nanti Dia lama-lama lagi, ”sambung ibunya ajak anaknya ikut Anto. Mungkin Anto perna pulang malam setelah pergi pagi. Ibu sudah antar pentolan goreng diatas pop mie depan sa diatas meja, menu baru, pentolang goreng besar-besar diatas pop mie, lumayan enak dengan bumbu olahan mesin pop mie. Setelah beberapa menit Anto dengan anak ibu non Papua kembali membawah buah nangka berukuran air gelong.
Kotak Winn Gas diatas meja kayu bunyi sentuan tanggan ibu non Papua, mati menyala, ibu non Papua memasak air untuk kopi dan pop mie. Beberapa orang memesan pop mie dan pentolan goreng setelah mandi dan sebelum mandi. Depan sa mata, ada kelompok milenial bicara besar, tertawa seakan hanya mereka di Erari, seperti dalam hutan tapi Tanjung Erari cocok juga untuk membuang teriak pada hidup yang absurt. Tapi ada yang melepas aklak buruk dengan tidak berteriak, seperti orang-orang yang memahami ajaran Taoisme.
Tempat wisata, tempat yang banyak orang menikmati tamparan angin yang bisu dan dingin dengan merenung, tentu bukan saja dingin membuat kita duduk tapi ada hal lain yang membuat kita berkata, tidak hanya orang-orang mulut drum berteriak karena alkohol. Minggu pagi, Tanjung Erari banyak pengunjung yang ingin renang dan sekedar merendam air garam. Mungkin hanya sa, duduk menyepih menikmati suana Erari yang berbedah dari kebanyakan Pantai di Nabire, bukan karena sa sedang baca tentang agama tua, ajaran buddhisme dengan ritualnya.
Sebelum masuk pintu tanjung Erari, ada delapan aturan yang harus diikuti oleh setiap pengunjung selamah di Erari. Di pintu dermaga dengan tulisan merah, pemberitahuan larangan memancing wilayah Tanjung Erari. Hari minggu, pengunjung banyak non Papua. Banyak motor dan mobil diparkir ditempat yang disediakan keluarga Erari, pemilik Tanjung Erari.
Kaget pagi sudah lari hingga jam sembilan, lebih banyak orang-orang sedang bersiap untuk pulang, berganti pakean di kamar mandi daun seng biru, tiga pintu, depan pondok kayu yang sedang sa duduk menikmati suasana Erari bersama kopi hitam. Pop mie sudah habis, seperti cerita bersama mantan tadi pagi, Dia bilang ”selesai.” Duduk disini bukan untuk Dia, tapi ini aktivitas yang sa suka sebelum kita berkenalan, tidur hingga lepas tanggan. Setiap orang punya hak memilih hidupnya, sekalipun dengan anjing.
Kopi, pop mie, pentolan harga tiga puluh ribu, sa punya empat puluh ribu dalam saku, kembali sepuluh ribu, sa pesan lagi pentolan goreng biar pass, tapi sa pindah tempat karena semakin panas dan sa pikir harus mencari angin kecil yang bersahabat. Kursi papan dan meja yang sudah tua dibawah pohon-pohon. Bergegas duduk, sa melihat bar cafe Erari buka setelah hampir duduk tenang.
Sa ingin duduk disana karena sa datang ke Erari tujuan pertama ingin duduk menghabiskan bacaan mingguan dan sa belum pernah merasakan cafe kopi yang dekat dengan bibir pantai dengan udara yang sehat. Cafe Erari berwarna banyak ping, daun seng hijau, lantai batu semen cat kotak putih dan ping. Suasana baru di tanjung Erari dengan cafe dibawah pohon pinggir bibir pantai berbatu karang, sejuk dengan angin hangat yang merayap naik dari laut biru mengerakkan daun-daun hijau yang segar. Begitu bahagia dan nyaman, seperti pelukan nona Erari dimalam hari bagi pria yang jatuh cinta pada mereka.
Pentolan goreng harga sepuluh ribu sedang disiapkan ibu non Papua di pondok kayu, tapi sa pop mie lagi di cafe, sa kenyang tapi tidak enak meminjam duduk tanpa memesan.
“pagi dix,” sambut kaka Benni melihat sa selesai pesan di bar cafe.
“pagi juga kaka, hormat,” sa salam hormat.
Kaka Benni, senior di dunia sepakbola yang perna bermain klub profesional dan timnas Indonesia. Sa kenal karena sa juga perna bermain sepakbola, tapi sa tidak seperti kaka Benni, Dia hebat dan profesional. Rencana membaca Eric Weiner tidak jadi karena bertemu kaka Benni. Sa perbaiki kursi dan duduk diskusi bersama kaka Benni satu meja dua kursi.
Kaka Benni termasuk keluarga besar pemilik tanjung Erari dan Cafe Erari; adik laki-laki bungsu dari beberapa saudarah tua. Banyak hal tentang sepakbola kaka Dia cerita, dari yang membahagiakan sampai kecewa dan marah, semua tentang bergelut dalam dunia sepakbola dari pengalaman bermain hingga membawah tim terakhir. Sepakbola bagian dari kehidupan yang tidak terlepas dari kehidupan normatis manusia.
Bukan hanya sepakbola, kaka Benni bercerita tentang kehidupan manusia sebagai seorang laki-laki Papua yang lebih dari dunia sepakbola. ”sa bapa punya beberapa anak yatim, walaupun kami hidup juga susah tapi bapa berusaha melihat mereka. Setelah bapa meninggal, kami anak-anak semua dapat berkat yang lebih banyak,” cerita kaka Benni.
Matahari sudah lebih panas dari pagi, tanjung Erari terang terik, air laut semakin memperlihatkan batu dan bibir pantai yang hilang dengan air laut tadi pagi. Kaka Benni bercerita sambil makan pisang goreng dan minum teh. Sa makan pentolang goreng dan air putih, kopi sudah habis pagi tadi, air putih sebagai menetralkan kopi tubruk yang sudah masuk dalam tubuh.
”ade bikin saja, tong punya tanah ini masih luas,” ajak kaka Benni, energi sa berubah menjadi semangat. Sa melihat kedua kali quotes yang digantung sebelah kiri sa duduk, dalam bingkai kecil, digantung seperti foto keluarga” Jangan Sombong Diatas Bubur Ayam Masih Ada Kerupuk”
Setiap tempat dan setiap orang yang kita bertemu adalah bermanfaat, seperti kata bapak pendidikan bangsa Indonesia Ki Hadjar Dewantara, ”Setiap orang adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah,”. Sementara diskusi, Sa melihat quotes yang lain digantung diposisi yang lain dalam bingkai hitam seperti bingkai photo berukuran agak besar ”Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Orang Lain”
Tanjung Erari dari pagi hingga siang tidak mengusir orang-orang melakukan aktivitas melepas dan menerimah apapun, juga tidak tidak usir sa. Waktu yang berfaedah bersama kaka Benni Erari dan tanjungnya, sebagai dusun yang memberi hidup. Pagi yang terlalu cepat untuk tempat yang nyaman bagi sa. Berlalu dalam waktu yang belum memastikan pergi, seperti cerita baru pagi tadi sebelum ada pikiran untuk berlari kepada tanjung Erari merasahkan kenyaman untuk hati berganti energi. Sa bilang ”Hormat Tanjung Erari sudah memeluk hangat. Terbaik dari sebelumnya”
Kehangatan alami Tanjung Erari tetap terjaga melewati zaman moderen kapital, tetap seperti pagi ini, siang ini dan malam, seperti kata Haruki Murakami, ”Mungkin mengerjakan hal-hal kecil dengan taat dan jujur yang kita bisa adalah bagaimana kita tetap waras ketika dunia sedang berantakan.”
Menjaga karakter budaya lokal dan identitas bangsa adalah salah satu kehidupan dengan cara menjaga lingkungan yang sehat alami,” Kelemahan lain dalam karakter manusia adalah bahwa semua orang ingin membangun dan tidak ada yang ingin melakukan pemeliharaan,” kata Kurt Vonnegut dalam buku Hocus Pocus. Semoga kita menjadi dewasa dalam hidup bersama zaman yang terus berubah. Menjaga tetap terjaga hingga kita menjadi banyak lalu mati.
(Sebuah perjalanan kecil waktu pagi sebelum berganti hari. Belajar menjadi Eric Weiner seakan menulis autobiografi)