Share

MEMOAR PERJALANAN – Saya terbangun pukul 07:12, di luar kamar hotel hujan gerimis sudah jatuh di atas daun pepohonan dan tanah. Saya duduk di ujung tempat tidur dan berpikir, hari ini saya harus pergi ke mana setelah kemarin di hari kedua saya di Biak pergi ke Goa Jepang di kampung Binsai. Hujan sudah berhenti kami bercerita depan pintu-pintu kamar sambil sarapan teh dan kopi, beberapa topik diskusi mengalir tanpa arah hingga pukul 09:34.

Tepat pukul 10:06, saya siap untuk berkunjung ke Monumen Perang Dunia II di kampung Parai, informasi kunjungan ini saya dapat di mama Google setelah saya cari dengan kalimat “Wisata Sejarah di Biak Papua”. Hasilnya Google menunjuk lima tempat: ada Goa Jepang, Monumen Perang Dunia II, Tugu Pepera, Goa Lima Kamar dan Tugu Tsunami.

Hari ketiga ini adalah hari terakhir saya di kota Biak, tidak mungkin saya bisa berkunjung semua tempat dalam satu hari saja, sehingga saya hanya memutuskan untuk berkunjung ke Monumen Perang Dunia II dan Tugu Pepera. Saya akan berkunjung ke Monumen Perang Dunia II di Parai dengan ojek.

Saya berdiri menunggu ojek di badan jalan Imam Bonjol setelah keluar dari Hotel Dahlia 50 meter—berdiri tepat di samping pos Polisi Lalu Lintas. “Semoga saya dapat ojek masyarakat Biak agar bisa ajak cerita-cerita,” pikir saya. Saya tolak beberapa ojek yang bertanya karena terlihat bukan masyarakat Biak.

Saya memanggil seorang pria kurus berhelm kuning, ia sedang berdiri menunggu penumpang depan pertokoan sambil menatap layar handphone. Tiba-tiba saya ragu kalau dia masyarakat Biak, tapi karena sudah terlanjur panggil, saya tetap berangkat walaupun bukan masyarakat Biak atau Napi Biak.

“Bapa, ke Monumen Perang Dunia II di Parai berapa?” tanya saya sebelum naik di atas motor Yamaha Mio M3. Saya sempat cari nama kampung “Parai” karena lupa.

“25.000,” balasnya.

“Oke bapa, kita pulang pergi,” balas saya setuju sambil naik di atas motor.

“Bapa orang Biak ka?” tanya saya langsung setelah sudah jalan sekitar 1 kilometer dari jalan Imam Bonjol.

“Io, saya Wambrauw,” balas dengan suara ringan dengan bangga sebagai Napi Biak. Saya senang karena saya akan bertemu banyak cerita dengan bapa Wambrauw.

“Bapa punya kampung bagian mana?” tanya saya untuk membuka diskusi.

“Di Biak Barat,” balas bapa Wambrauw dengan cepat. Dengar Biak Barat, saya langsung ingat cerita teman-teman Napi di Nabire dan Jayapura.

Sampai di lampu merah perempatan, kami berbelok arah Taman Mandouw, tinggalkan wilayah Imam Bonjol lebih jauh. Saya tanya bapa Wambrauw tentang marga Suku Biak.

“Bapa, marga Suku Biak yang terbesar itu apa saja?” tanya saya.

“Ada tiga marga besar di Biak, ada TNI-AU, TNI-AD dan TNI-AL,” jawab bapa Wambrauw dengan suara sedikit berat. Jawaban ini juga saya ingat beberapa teman Napi di Nabire dan Jayapura, mereka pernah menjawab yang sama seperti bapa Wambrauw.

Saya dan bapa Wambrauw lewati beberapa kampung yang saya tidak sempat lihat nama kampung di papan bicara di sepanjang jalan utama Bosnik. Kami belok kanan arah pantai, tinggalkan jalan utama Bosnik. Lewati kampung Mokmer di sepanjang Pantai Parai.

Rumah-rumah sepanjang pantai tidak banyak yang mewah seperti perumahan yang saya lihat di Nabire dan Jayapura, tidak ada toko dan kios yang ramai orang duduk. Saya lihat perkampungan yang biasa saja, santai dan sunyi, tapi saya lihat orang-orang di sana terlihat bahagia dengan cara hidup mereka.

Bapa Wambrauw dan saya sampai di tempat tujuan. Hanya kami berdua, tidak ada wisatawan dan pemilik kampung Parai di wilayah Monumen rumah-rumah diam dan tenang, tidak ada orang yang sedang menanam di pinggiran rumah seperti yang saya lihat di beberapa sudut kota di Nabire.

Saya penasaran dengan tangga-tangga tua dekat bibir pantai, saya langsung bergeser dan berdiri di talud semen yang membatasi darat dan ujung lautan bergerak menjadi selimut ombak. Suara burung dalam pepohonan dan suara ujung air laut yang memukul bibir tepi dengan lunak mengusik sunyi yang terlihat diam namun bergolak.

Seorang mama Papua sedang mencuci di ujung rumah yang langsung bersandar di bibir pantai pasir putih campur batu karang. Pantai yang bening, tidak ada sampah plastik di atas kulit laut dan bibir pantai, dua bocah sedang mandi-mandi di ujung timur yang jauh dari titik saya berdiri. Dua ekor anjing berbaring lemah di rumah panggung yang terlihat seperti rumah pertemuan masyarakat Biak saat acara sosial.

Terasah alami udara bibir pantai Parai yang sejuk hening. Di kejauhan laut, saya melihat Pulau Yapen melintang seperti lintah raksasa sedang lewat. Monumen Perang Dunia II dan bibir pantai hanya 20 meter dari tangga-tangga tua yang masih bertahan puluhan tahun.

“Daerah pantai ini yang gunung agak jauh dari pantai, jadi tentara Jepang mereka ambil posisi pendaratan di sini,” jelas bapa Wambrauw sambil menunjuk arah bukit pepohonan.

“Bapa, kalau di Biak Barat ada cerita-cerita sejarah ka tidak?” tanya saya pada bapa Wambrauw.

“Ada satu cerita yang saya tidak akan pernah lupa, tahun 1970-an waktu saya masih kecil, umur sekitar 7 tahun. Di Biak Barat dulu tentara Indonesia kurung mati kami gara-gara mereka kejar OPM (Organisasi Papua Merdeka), jadi waktu itu seluruh kampung kelaparan dan bertahan hanya dengan kelapa saja. Suatu saat, saya punya bapa ajak saya dan mama pergi ke kebun untuk ambil makanan karena makanan sudah habis di rumah dan kami lapar. Kami pegang bendera Indonesia di tangan supaya bisa selamat dari tentara Indonesia. Pas di pertengahan jalan, tiga tentara Indonesia palang kami dan mereka tendang saya punya bapa dengan sepatu laras besi sampai kaki bapa berdarah. Mereka bilang kami pulang, tidak bisa ke kebun. Akhirnya, kami tidak jadi pergi ke kebun untuk ambil makanan, kami lapar tapi bertahan,” cerita bapa Wambrauw dengan wajah sedih, bola matanya berair menyimpan banyak cerita yang menggelisahkan batin.

“Kisah-kisah itu sangat membekas sekali ya, bapa? Rasanya sedih?” balas saya dengan nada rendah, ikut terbawa energi kesedihan bapa Wambrauw.

“Semua cerita-cerita itu saya tidak akan pernah lupa sampai saya mati. Di Biak Barat itu ada kuburan massal juga, tidak tahu apa itu OPM atau warga biasa. Masyarakat Biak Barat mulai bebas setelah pergantian pasukan Indonesia, komandan di bawah perintah Patimura dari Ambon saat itu memihak pada masyarakat. Hanya karena membela masyarakat, dia sampai tembak tangan sendiri pakai pistol supaya pasukan baru yang datang percaya dia kalau di Biak Barat sudah tidak ada OPM lagi dan tidak perlu ada pasukan baru masuk lagi. Orang Ambon itu berjasa bagi masyarakat dan dia sudah buat kampung baru di Biak Barat, dia menikah dengan perempuan asli Biak, anak-anaknya masih ada sampai sekarang,” cerita lanjut bapa Wambrauw sambil kunyah pinang yang dia sudah mulai makan saat kami dua tiba tadi.

Bapa Wambrauw dan saya menyeberang dari pesisir pantai setelah bercerita tentang beberapa kejadian yang pernah ada di Biak Barat. Saya coba lihat dan rasa, ada dua meja dan beberapa tempat duduk dari batu marmer putih di bawah atap putih yang terlihat seperti tengkorak rahang manusia.

“Beberapa potongan batu yang ditanam—yang terlihat seperti tempat duduk ini mungkin sesuai para korban tentara Jepang di wilayah kampung Parai,” pikir saya sembari melihat-lihat batu-batu bulat yang ditanam di wilayah Monumen.

Rasanya santai walaupun ada energi yang pekat. Monumen ini diresmikan 24 Maret 1994 dan menjadi wisata dengan prasasti dalam tiga bahasa: Inggris, Jepang, dan Indonesia. Desain monumen ini dirancang oleh Hiroshi Ogawa.

Pintu makam tentara Jepang seperti goa yang dikunci dengan pagar besi. Saya melihat beberapa tulisan Jepang digantung pada makam, ada juga bendera Jepang—mungkin dari anak cucu tentara Jepang yang mati dalam perang yang pernah berkunjung.

Hari sudah pukul 11:18, cuaca masih mendung setelah pagi hujan gerimis. Sekitar 15 menit kami dua cerita di bawah atap yang terlihat seperti tengkorak dagu manusia. Sementara kami dua gegas mau jalan, seorang wanita berumur 39 tahun datang minta bayar 30.000.

Bapa Wambrauw dan saya kembali ke wilayah jalan Imam Bonjol setelah tinggalkan jalan Bosnik. Langit Pulau Biak masih bersahabat di hari ketiga—tidak panas, tidak hujan, seperti selalu ada payung.

Sebentar lagi bapa Wambrauw akan turunkan saya depan wajah Hotel Dahlia. Saya bayar 100.000, bapa Wambrauw ingin kembalikan 50.000, tapi bagi saya 100.000 masih kurang jika dihitung dengan apa yang bapa Wambrauw cerita tentang sejarah.

“Sudah bapa,” ucap saya.

“Makasih banyak, Tuhan memberkati,” balas bapa Wambrauw merasa saya baik sama dia.

Pukul 12:17, saya menutup pintu hotel nomor 11—duduk berbaring sebentar sebelum pergi ke Swiss-Belhotel Cendrawasih untuk kegiatan. Insos Sarakan membuka pintu dan langsung dia masuk tanpa ragu, saya hanya terpaku di atas tempat tidur dalam posisi tidur. Dia tutup semua bahasa dengan tangan beraroma pinang, kelapa dan ikan bakar.

Insos Sarakan tidak tutup pintu, saya ketakutan mereka melihat dia dan saya bermain kata dalam media sosial. Beberapa kali saya ingin bangkit menutup pintu dan jendela, tapi pelukan Insos Sarakan lebih kuat dari kekuatan gelisah. Akhirnya, saya hanya diam dengan respon mata yang hampir kehabisan napas.

“Besok terlalu cepat sayangku. Kalau ingat kembali,” kata Insos Sarakan sembari keluar dari kamar 11. Dia membanting pintu dan saya terbangun kaget pukul 13:00. Ternyata saya hanya mimpi Insos. Sudahlah, lupakan mimpi. Saya bersiap untuk berangkat ke Swiss-Belhotel Cendrawasih dan saya bertemu teman-teman di sana.

(bersambung)

Comments are closed.