Berdasarkan amanat Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 kemudian diubah pada tanggal 19 Juli 2021 telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dalam UU Otsus bagi Provinsi Papua Barat diamanatkan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat. Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat merupakan representasi orang asli Papua (OAP), yang memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Sebagai lembaga representasi kultural, Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri dari wakil-wakil adat, agama dan perempuan.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Papua Barat nomor 720/16/1/2023 tentang pembentukan panitia pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat periode 2023-2028 menetapkan 10 orang sebagai panitia pengawas dan panitia pemilihan untuk menjaring anggota MRP-PB 2023-2028. Panitia penjaringan anggota MRP-PB dilantik oleh Gubernur Papua Barat pada Senin ((6/3/2023) di Manokwari. Sepuluh anggota panitia penjaringan akan menyeleksi dengan transparan 33 anggota MRP-PB yang terdiri dari wakil adat sebanyak 11 anggota, wakil perempuan 11 anggota, dan wakil agama sebanyak 11 anggota sebagai representasi masyarakat asli Papua Barat. Penetapan jumlah anggota MRP-PB berdasarkan surat keputusan Gubernur Papua Barat Nomor: 200.1.1/54/2/2023 tahun 2023 tentang penetapan calon anggota dan anggota MRP-PB dari wakil adat, wakil perempuan, dan wakil agama.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 8 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua Barat. Pemilihan anggota MRP-PB dilakukan berdasarkan hasil musyawarah, baik adat, perempuan tingkat kabupaten/kota dan agama di tingkat provinsi. Pembagian wilayah pemilihan dilakukan berdasarkan pendekatan wilayah adat/budaya dan wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari sistem dan mekanisme pemilihan anggota MRP-PB untuk wakil adat dan perempuan dilakukan oleh lembaga adat, lembaga perempuan, sedangkan untuk wakil agama pengisian dilakukan oleh lembaga keagamaan tingkat provinsi.
Calon Anggota MRPB harus memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam Salinan Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Bab III mengenai Syarat Calon Anggota MRPB yang dipilih dalam pasal 4. Tentunya seluruh syarat yang disebutkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat menjadi rujukan oleh peserta maupun Panpil dalam proses perekrutan MRPB wakil adat dan wakil perempuan asal Kabupaten Fakfak.
Dinamika Politik Kotor Yang Terjadi Saat Pendaftaran Anggota MRP-PB Di Kabupaten Fakfak
Harapan dari masyarakat tentunya politik demokratis yang harus dimainkan, bukan money politic (politik uang) dan interest politics (politik kepentingan). Dari kacamata penulis saat mengamati hasil diskusi dan informasi yang didapat tentang calon anggota MRP-PB baik itu untuk perwakilan agama, adat dan perempuan semua ini ternyata berlangsung dengan irama politik yang sedikit mencurigakan bahkan ada kecurangan. Kecurigaan ini muncul dalam pengusulan nama untuk porsi Adat yang terdiri dari 11 orang diantaranya semua adalah rekomendasi Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dan untuk rekomendasi Dewan Adat tidak ada satu pun sesuai daftar yang ditemukan bahwa Dewan Adat sebagai lembaga pengusul.
Pada saat informasi awal dibukanya pendaftaran untuk porsi Adat, secara diam-diam LMA mulai bangun opini “pendaftaran sudah tutup.” Padahal nyatanya masih belum dan sangat jauh dari tanggal ditutupnya pendaftaran. Opini ini sengaja dilakukan untuk mengelabui pihak lain yang ingin mendaftarkan diri. Tetapi alhasil salah satu perwakilan murni masyarakat adat dapat mendaftarkan diri sebagai calon untuk porsi Adat MRP-PB. Selain itu juga, ada beberapa figur yang merupakan bagian dari partai politik yang sebenarnya tidak diizinkan kecuali yang bersangkutan melepaskan baju parpolnya atau sesuai prosedur yang berlaku. Jika tidak demikian dan mengikuti proses lebih lanjut maka perlu untuk dipertanyakan karena hal tersebut sudah melanggar aturan sebagaimana tercantum dalam persyaratan pendaftaran.
Dari perwakilan unsur adat yang terhitung 11 calon tersebut, di perwakilan unsur perempuan juga terhitung 16 orang yang direkomendasi dari beberapa organisasi perempuan di antaranya Yayasan Henggi Totora, Lembaga Perempuan Adat Papua, Yayasan Henggi Kombah, BKMT/Fatayat Nu dan Komunitas Perempuan Natotoin.
Dalam proses pendaftaran ini ada terjadi penggiringan yang sengaja dirancang untuk mengalihkan proses ini melalui satu jalur. Cipta kondisi yang diusung bukan dari siapa-siapa melainkan dari LMA dengan tujuan menyeimbangi Dewan Adat sekaligus memberikan citra yang baik terhadap publik agar tujuan dari para elit politik dalam LMA ini dapat menempati posisi aman.
Terlepas dari propaganda yang dibangun oleh LMA ternyata ada salah satu calon dari perwakilan perempuan yang sebenarnya sudah pernah berada dalam keanggotaan MRP-PB periode sebelumnya yang saat ini kembali direkomendasi oleh Yayasan Henggi Kombah yang juga mendaftar di periode sekarang. Figur seperti ini menunjukan citra monopoli peluang terhadap generasi muda, tidak memberikan kesempatan, seakan tidak ada pengganti atau penerus sehingga dirinya harus kembali mengejar keanggotan dalam MRP-PB. Pertanyaannya selama menjabat di MRP-PB periode sebelumnya apa yang sudah dilakukan khusus untuk suku besar Mbaham Matta Fakfak ? kemudian saat ini ingin maju kembali dan tentu ada indikasi kepentingan, mengapa tidak memberikan kesempatan terhadap generasi Mbaham Matta yang lain.
Dari antara LMA dan LAPEPA ini mencerminkan sikap Politik Monopolistik, sebab dalam rekam jejak ini sangat jelas apa yang mereka lakukan. Sebagai calon mereka punya tujuan yang sama untuk harus tembus masuk dalam keanggotaan MRP-PB namun tentu memiliki kepentingannya masing-masing. Hal ini seperti yang dimaksudkan dari politik monopolistik yaitu bentuk ruang politik dimana ada banyak calon yang saling berkompetisi dengan kekuatan yang hampir serupa namun memiliki perbedaan mencapai tujuannya masing-masing.
Sikap LMA terlihat sedang mendorong kepentingan mereka dengan memasang salah satu dari mereka pada kursi MRPB kemudian kemenangan tersebut menjadi landasan untuk mendorong satu figur yang mereka persiapkan pada kursi DPRK. Kepentingan inilah yang secara diam-diam sedang dibangun opini publik dan saling menjatuhkan antara satu dan lainnya. Dewan Adat yang merupakan payung resmi masyarakat adat sendiri merasa bahwa pertarungan politik MRPB ini sangat tidak sehat dengan memainkan peran tipu muslihat menjatuhkan satu dan lainnya yang dilakukan oleh LMA saat ini. LMA berusaha untuk mengakomodir semua proses ini sehingga tidak salah jika persepsi tentang politik kepentingan itu menjadi jelas bahwa manuver-manuver ini bertujuan untuk figur-figur yang telah dipersiapkan menduduki MRPB untuk kepentingan DPRK nanti.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri sampai saat ini kalangan orang tua tidak mau kalah saing dengan generasi muda. Oknum-oknum yang sudah dan pernah memposisikan diri pada jabatan-jabatan spesial ini bahkan kembali lagi merebut posisi tersebut dan tidak ingin berikan cela atau peluang terhadap generasi muda. Padahal jika dilihat kembali pada masa kerja (mereka yang sudah menjabat) sebelumnya itu tidak ada sesuatu yang benar-benar dilakukan terhadap masyarakat adat, yang ada hanya kepentingan diatas kepentingan, uang dan jabatan. Hal inilah yang tidak mengurangi semangat mereka-mereka yang sudah pernah berada dalam posisi tersebut tetapi masih ingin kembali lagi untuk mencalonkan diri. Mereka yang menjabat pada lembaga lain atau pernah terlibat dalam kepentingan politik lain, tanpa berpikir terhadap generasi muda hari ini untuk melanjutkan tongkat estafet dalam pembangunan dan secara khusus terhadap eksistensi masyarakat adat.
Modal SK Terus Menunjukan Taring
Persaingan dan egoisme dalam politik ini muncul dari pihak yang mengatasnamakan masyarakat adat namun tidak diakui statusnya dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, karena yang menjadi hak penuh dalam mengakomodir sekaligus melegitimasi kepentingan masyarakat adat adalah Dewan Adat Papua bukan Lembaga Masyarakat Adat.
Legalitas LMA itukan berdasarkan Surat Keputusan Mendagri bukan mengacu pada suatu perundang-undangan yang berlaku sah. Hanya berpegang pada kekuatan SK saja lalu kemudian melakukan hal yang sama seperti Dewan Adat, jadi apa yang dikerjakan Dewan Adat menurut LMA itu sama saja, padahal LMA tidak punya kewenangan penuh untuk berbicara tentang Masyarakat Hukum Adat. Hal ini merupakan kekeliruan yang sebenarnya sudah berlangsung lama tapi sengaja dibiarkan. Karena fakta ini LMA sangat terbukti mereka adalah lembaga tandingan yang diciptakan oleh Pemerintah berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Mendagri sehingga berdasarkan SK tersebut mereka berupaya kerja diatas kepentingan pemerintah, bukan untuk Masyarakat Hukum Adat (OAP).
Untuk Dewan adat sudah sangat jelas dasar hukumnya itu mengacu pada UUD 1945 pasal 18B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, serta hak-hak tradisionalnya sepanjang itu masih ada. Itu Undang-Undang Dasar, itu deklarasi negara terhadap pengakuan masyarakat hukum adat.
Dinamika politik seperti ini layak untuk dikritik, bahkan harus dibasmi agar tidak menjamur dan tumbuh subur untuk menguasai hak-hak masyarakat adat atau kepentingan orang asli Papua.
LMA tidak berhak menentukan langsung siapa yang harus mencalonkan diri karena secara tidak langsung telah melecehkan posisi Dewan Adat. Berdasarkan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus bahwa kepentingan masyarakat adat semuanya berada dibawah payung Dewan Adat Papua. Jika sampai hari ini LMA masih diyakinkan untuk kepentingan masyarakat adat Mbaham Matta, tentu masa depan masyarakat adat tidak akan ada jaminan khusus sebab LMA merupakan lembaga tandingan versi pemerintah untuk kepentingan negara bukan kepentingan orang asli atau anak negeri Mbaham Matta.
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) harus sadar bahwa kalian dibentuk atas kepentingan pemerintah (negara) untuk menguasai kepentingan masyarakat adat atas ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sikap ini terjadi karena pemerintah melahirkan Otsus hanya untuk melengkapi kepentingan Jakarta bukan Papua. Sehingga kepentingan masyarakat adat di bawah akomodir Dewan Adat Papua menjadi lemah karena dikuasai oleh LMA.
Jangan hanya karena kepentingan politik (uang dan jabatan) akhirnya semua sikap positif itu berubah menjadi persaingan yang tidak sehat. Kita harus berpikir untuk masa depan generasi dan eksistensi Mbaham Matta bukan masa depan kepentingan-kepentingan yang sebenarnya adalah menguntungkan orang lain, orang asli Papua sendiri hanya dipakai sebagai jembatan untuk melengkapi kepentingan jakarta hari ini.
Jika egoisme politik ini masih terus dipelihara maka sampai kapanpun negeri Mbaham Matta dan secara keseluruhan di tanah Papua akan tetap mengalami persoalan diatas persoalan. Peraturan di atas peraturan, pembangunan di atas pembangunan yang diusung pemerintah, tetapi masih tetap sama dan terbukti tidak ada yang didapat dan dirasakan oleh orang asli Papua.
Akhir kata dari penulis bahwa Dewan Adat adalah yang memiliki Legalitas karena diakui oleh Undang-Undang secara nasional dan juga Internasional, sementara LMA hadir hanya untuk me-Legitimasi kepentingan Pemerintah di mata Masyarakat Hukum Adat karena hanya berlandaskan SK bukan UU.
Ditulis oleh : Elias Hindom
Sumber Referensi :
Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021.
Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Salinan Tata Cara Pemilihan Anggota Majelis Rakyat Papua Barat.
Hasil Diskusi.