MK – Melewati tepi darat dan laut. Teluk Cedrawasih National Park, nampak bukit hutan hijau alami, beberapa kampung tenggelam dalam pohon hijau di tepi pantai, beberapa rumah terlihat mata mulai mengecil, hanya menyala daun seng. Kurang lebih dua ratus meter lagi kami akan sandar di tepi pantai kampung Goni. Kami tolak dari pusat kota jam 08:00 wit. Sekitar seratus kilo lebih jarak tempu diatas kulit laut biru. Pergi ke Totoberi, naik Speatboat dari bibir muara Legari, melewati laut diantar pulau dan memasuki mata muara kali kabur Wapoga, tiga jam lebih dalam perjalanan hingga tiba Kampung Totoberi 100 meter lebih.
Tranportasi umum ke kampung Goni masih melintasi jalur laut, sama dengan pergi ke kampung Totoberi. Mungkin dua tahun lagi ada jalan darat, mungkin setelah Nabire resmi menjadi mama kota Papua Tengah. “Sementara hanya jalan setapak dari kampung Goni hingga tembus jalan utama,” cerita salah satu warga Goni,” Polisi ada tapi dong di distrik saja, dong biasa bisnis kayu,” lanjut cerita warga Goni. Totoberi jauh dari kampung Kamarsano, distrik induk, jauh dari akses pendidikan dan kesehatan.
Melewati dua pulau besar berpasir putih dan beberapa pulau kecil dalam perjalanan, diatas wajah laut yang indah tapi manakutkan. Melewati depan tiga pulau pergi ke kampung Totoberi, depan kampung Napan. Empat jam habis dalam perjalan pergi dan empat jam lebih pulang menabrak ombak yang membikin hati bergetar-getir. Tiga jam habis sampai di Totoberi. Motoris kaka napi (sebutan laki-laki asal Biak), Dia tenang mengekemudi speatboat buatan Papua New Gunea membela ombak. Tenang berpegalaman lintas diantara ombak besar. Ke Totoberi Speatboat kayu, motoris pemuda Wapoga tinggal di Kampung Totoberi, berpegalaman menghindari kayu melewati sunggai kabur.
Kata Soekarno, ”Berikan sepuluh pemuda, saya akan goyang dunia,” Muda Nabire bersama Twety Ten, komunitas yang menjadi alat untuk menyalurkan tangan-tangan warga kota ke beberapa pelosok yang jauh dari mata warga kota, menyalurkan bakti sosial ke kampung; salah satunya perjalan ini ke kampung Goni; kampung paling ujung dari Provinsi Papua dan Kabupaten Nabire. Sebelumnya Muda Nabire dan Twety Ten ke kampung Totoberi; kampung paling ujung timur Nabire dengan aksi sosial yang sama seperti dj kampung Goni.
“Bisa 4G, sa ada live di facebook ini,” kata Ande perlihatkan bibir pantai Goni melalui live facebook. Kampung Totoberi gelap dari dunia internet dan telekomunikasih. Semakin dekat batas darat dan laut kampung Goni, warna air laut sudah berubah seperti kopi susu, banyak ampas kayu, tanda batas laut dekat. Pasir lembe membikin air batas lutut, kaki terkubur dalam pasir. Kami angkat semua barang dari atas speatboat ke darat, ada kelambu,obat-obatan, baju layak pakai, alat mancing, senter baterai dan bola voli. Kami melewati kali kecil yang dingin. Ada beberapa perahu rakitan warga Goni untuk aktivitas di alam lautan memarkir di kali kecil yang bermuara ke laut dari bukit. Di Totoberi, perahu kayu panjang seperti ikan cakalan.
Hanya ada satu speatboat memarkir bibir pantai Goni dengan satu kelompok warga sedang berkumpul, sekitar delapan orang; sedang menyaksikan dua anak berumur SMA naik speatboat, sepertinya satu keluarga sedang antar anak-anak mereka pergi dari kampung untuk sekolah di kota setelah berlibur di kampung. Motoris berbaju biru, noken depan dada bersimbol bintang kejora, menarik gas lepas dari batas darat dan laut, membela ombak yang sedang menepih ke darat. Di Totoberi berbeda, di sungai yang kabur, anak-anak menikmati air menjadikan kolam renang.
Tangan orang tua dan keluarga melambai-lambai speatboot dan anak mereka hilang diantara puing-puing lautan diantara gelombang laut, kejauhan terlihat hanya bayang-bayang pulau yang melintang ditengah laut. Ada beberapa binatang anjing kurus di tepi pantai Goni, mencari makan dengan hidung, mungkin warga setempat tidak memiliki mitos yang mengikat kehidupan mereka dengan Anjing, seperti di kampung Totoberi di ujung timur.
Warga kampung Totoberi di bakti sosial pertama; disana warga begitu dekat dengan kehidupan Anjing. Anjing bagian dari hidup warga; di kampung Totoberi, orang tidak boleh mengusir atau melakukan aksi kekerasan kepada Anjing depan warga, sangat pamali dan ada cerita mitos yang mengikat mereka dengan binatang Anjing. Mereka akan marah. Tapi di kampung Goni, terlihat tidak seperti di kampung Totoberi. Warga Goni melihat Anjing hanya hewan yang biasa saja seperti hewan lain.
Marga Madai dalam Suku Mee mengganggap Anjing bagian dari hidup mereka. Menggusir atau memukul tidak bisa dilakukan, apalagi membunuh untuk makan, sangat tidak bisa. ”kalau kita (Suku Mee) kan ada marga Madai, orang biasa bilang dodi tuma (marga anjing), diluar Negeri juga banyak di masyarakat tradisional, malahan dulu waktu era zaman kerajaan itu, Anjing di pakai untuk perang, jadi sejarah manusia dan anjing itu cukup lama menjadi sahabat, bukan baru terjadi kepada Suku Mee dan Warga Totoberi ” Jelas Kris Dogopia, anggota tim bakti sosial yang ikut ke Goni dalam cerita di depan rumah pastori disore hari.
Waktu senja di kampung Goni, warga sudah berkumpul teras berpanggung setengga meter untuk memeriksa penyakit dan diobati tim dokter yang bergabung dalam komunitas Twety Ten. Ada dua dokter dan satu perawat. Di teras rumah panggung pastori jadi rumah sakit darurat. Di Kampung Totoberi, warga sedikit antusias untuk pengobatan tapi mereka berebut bantuan pakean yang kami bawah, nontong film dan bergoyang bersama dengan music. Malam ramai di Totoberi, di Goni hanya sore hari.
Gedung Gereja Goni, pastori, hanya beberapa meter kantor desa dengan bangunan setengga tembok, tidak ada kursi dan meja, depan ada lampu berdiri meneranggi jalan yang berbelok ke arah dermaga kayu diatas sungai dingin kecil bermuara ke laut. Kampung Totoberi, seratus meter dari sungai kabur ke tempat kami lakukan kegiatan. Di gedung sekolah,kami lakukan pengobatan dan pemeriksaan.
Jalan utama dan paritan sudah di semen, mungkin dana Desa. Jalan kampung Goni berbentuk huruf H, hanya sedikit sampah plastik. Gedung sekolah lebih bagus dari gedung desa. Di Kampung Totoberi, jalan batu semen yang tidak rapih, kering dan rumput panjang di jalan umum.
”Saya punya anak masuk juara sepuluh besar seluruh kabupaten Nabire,” Cerita kepala suku besar warga Goni di dapur pastori dipagi hari sambil minum kopi. Hanya guru di Kampung Totoberi, tidak nampak kepala suku, tidak ada kepala Kampung, gedung sekolah depan belakang rumput tinggi, kekurangan guru, guru hanya satu sekaligus Dia kepala sekolah dan pendeta di Jemaat Gidi. Anak asli Totoberi lebih suka bermain di alam, tapi ketika dipaksa bisa ke sekolah.
“Kalau dana desa datang semua kalangan duduk baru pengurus gereja yang atur, tidak ada yang bicara banyak. Di kampung sini tidak ada anak-anak muda mabuk sembarang, ada tapi bisa di kontrol,” Cerita lanjut kepala suku Goni. Pagi tanah sudah basah, jam 07:14 warga sudah keluar melaut dan naik gunung. Anak-anak murid sampai di sekolah, hanya kelas enam untuk memeriahkan perpisaan mereka dengan guru dengan warga Goni. SMP hanya di diskrik dan kabupaten, cukup jauh dari kampung Goni. Di Kampung Totoberi, baru satu pemuda masuk kuliah di kota, SMP hanya di distrik. SD di Kampung Totoberi tidak ada aktivitas belajar mengajar.
Duduk di rumah warga, menerang hanya mesin listrik diesel, rumah papan putih berdaun seng besi, air sumur yang bersih, kami disambut dengan pisang goreng kering dan teh hangat sebagai sarapan pagi dari warga tuan rumah, warga Goni sangat menghormati tamu, cool persaudaraan. Kami menikmati biskuit kelapa dan gabing dari satu-satunya kios milik seorang guru SD di Kampung Goni. Lingkungan yang sejuk, pagi sedikit dingin membuat teh hangat begitu menyenangka di rumah kayu. Di Totoberi, hanya beberapa pemuda datang di tempat kami tinggal di perumahan guru. Ngopi malam dan pagi. Warga cukup tertutup dan sulit berbaur dan komunikasih.
Jam 09:00, kami akan pulang kembali ke Nabire kota dari distrik dan kampung paling ujung barat provinsi Papua dan kabupten Nabire. Warga Goni bersama hewan Anjing dan segalah kehidupan alam kami tinggalkan; kami beri mereka salam, semoga kehadiran kami menjadi berkat untuk mereka. Melepas kembali dari dermaga yang sama, menabrak ombak teduh. Bersinggah di Pulau Nene dan menepih di bibir daratan kota Nabire. Di Kampung Goni, hampir semua aparat desa menggantar kami lepas dari kampung Goni. Di Kampung Totoberi, hanya sebagian mama dan pemuda ke dermaga sungai, kami tinggalkan warga Totoberi dengan segalah miskrik-mistik. Menghilang dalam lambayan tanggan.
“Mereka punya banyak pengetahuan yang kita perlu belajar, mereka hidup di dunia bebas control sepenuhnya. Kerja sama dan saling peduli lebih mahal dari mereka”
(Nomen Douw)