Share

Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebasan. Namun di Fakfak, jalan itu kini tampak berliku dan gelap. Para mahasiswa Fakfak di berbagai kota studi kini hidup dalam kecemasan, harus berutang, menjual barang kos, bahkan menunda kuliah karena janji pemerintah soal Program Beasiswa 1.000 Mahasiswa tak kunjung ditepati.

Lebih dari empat bulan sejak berkas pendaftaran diserahkan pada Mei 2025, belum ada kejelasan kapan dana beasiswa itu benar-benar akan cair. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Fakfak tampak tak serius mengelola program yang digadang-gadang sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap generasi muda daerah. Bahkan, mahasiswa mengaku tak pernah mendapat sosialisasi atau klarifikasi resmi dari pihak dinas.

Salah satu Mahasiswa Fakfak, menuturkan bahwa mereka telah berulang kali menghubungi pihak dinas tanpa hasil. Janji pencairan “dalam satu minggu” pun tinggal janji.

Sementara di lapangan, mahasiswa harus meminjam uang untuk membayar SPP atau menjual barang pribadi agar tetap bisa kuliah.

Ironis, sebuah program yang seharusnya menjadi penyelamat, justru menambah beban psikologis bagi mereka yang memperjuangkan masa depan di tengah keterbatasan.

Lebih menyedihkan lagi, muncul kabar adanya penurunan nilai beasiswa, dari Rp6 juta menjadi Rp2 juta per mahasiswa dan berkurangnya total anggaran dari Rp6 miliar menjadi Rp4 miliar.

Pemangkasan anggaran bisa saja terjadi karena penyesuaian fiskal nasional. Namun yang absen adalah transparansi. Pemerintah daerah tidak pernah menjelaskan secara terbuka mekanisme seleksi, jumlah penerima, dan jadwal pencairan.

Dalam ruang hampa informasi seperti ini, rumor tumbuh, kepercayaan publik menurun.

Kasus keterlambatan ini menjadi semakin getir jika kita mengingat bahwa baru dua bulan lalu, publik Fakfak juga diguncang oleh kabar dugaan penggelapan dana beasiswa ADiK senilai Rp420 juta di lingkungan dinas yang sama.

Seorang oknum pegawai berinisial R disebut-sebut sebagai pelaku utama dengan alasan “terhipnotis”. Alasan yang terdengar absurd, tetapi tampaknya diterima begitu saja oleh sebagian pejabat.

Kejaksaan Negeri Fakfak telah mengonfirmasi bahwa laporan masyarakat sedang diproses, tetapi “masih bersifat rahasia”. Artinya, belum ada tersangka, belum ada progres nyata, belum ada kejelasan hukum.

Padahal uang itu bukan milik pejabat, melainkan hak mahasiswa yang menggantungkan harapan hidupnya pada beasiswa itu.

Jika benar dana sebesar itu bisa “hilang” begitu saja, maka tidak cukup berhenti pada satu nama “R”.

Rantai kelalaian itu pasti panjang: ada pejabat pembuat komitmen, ada bendahara, ada kepala bidang, bahkan mungkin plt. kepala dinas yang menutup mata. Semua harus diperiksa.

Dua kasus ini, keterlambatan penyaluran Beasiswa 1.000 Mahasiswa dan dugaan korupsi dana ADiK, sesungguhnya saling terhubung oleh satu benang merah: lemahnya tata kelola dan ketiadaan transparansi di tubuh Disdikpora Fakfak.

Ketika data mahasiswa tidak terbuka, mekanisme tidak jelas, dan pengawasan publik diabaikan, maka ruang untuk penyimpangan terbuka lebar.

Kita tidak sedang bicara soal “uang beasiswa”, melainkan tentang moralitas dan kepercayaan publik.

Bagaimana mungkin pemerintah bicara soal “investasi sumber daya manusia” jika dana untuk membiayai pendidikan anak-anak daerah justru tersendat, atau lebih buruk, diselewengkan?

Bupati Fakfak dan Kejari Fakfak yang baru, Toman Epy Lazarus Ramandey, harus menjadikan ini momentum bersih-bersih.

Pemerintah perlu segera membuka data penerima, jadwal pencairan, serta hasil audit penggunaan anggaran pendidikan tahun berjalan.

Sementara aparat penegak hukum wajib memastikan kasus Rp420 juta itu tidak tenggelam di meja birokrasi.

Mahasiswa tidak menuntut lebih. Mereka hanya ingin kepastian dan keadilan.

Keadilan atas hak yang dijanjikan, dan kepastian bahwa uang mereka tidak raib di tangan orang yang “terhipnotis”. Pendidikan seharusnya memberdayakan, bukan memperdaya.

Jika pemerintah Fakfak benar-benar ingin melahirkan generasi emas, maka langkah pertama bukan membuat program baru, tapi membersihkan luka lama.

 

Oleh:

Ronald 

Pimpinan Redaksi 

About Author

Comments are closed.